Hubungan Muslim-Kristen di Singkil Baik Saja, Tapi Gereja Liar Persoalan Klasik

SINGKIL (Jurnalislam.com) – Berbeda dengan pemberitaan sejumlah media nasional, ternyata tak semua warga Kristiani mengungsi keluar Kabupaten Singkil, ketika terjadi kerusuhan dan pembakaran undung-undung di Kampong Suka Makmur, Kecamatan Gunung Meriah, Kabupaten Aceh Singkil.

Mayoritas penduduk kampung memilih bertahan dan tidak mengungsi. Kalaupun ada yang mengungsi hanya sebagian kecil dari golongan lansia dan anak-anak.

Ditemui Jurnalis Islam Bersatu (JITU) di area undung-undung yang dibakar massa, pada Senin (19/10/2015), Roka, salah seorang warga Kampong Suka Makmur mengaku tidak mengungsi ketika terjadi pembakaran undung-undung HKI (Huria Kristen Indonesia).

“Sebagian warga Kristen di Aceh Singkil memang ada  yang mengungsi setelah bentrokan terjadi di Dangguran, Kecamatan Simpang Kanan. Kami memang tidak diusir, kami hanya ketakutan saja. Ketika itu ada korban luka tembak dari pihak muslim hingga tewas. Kami takut ada pembalasan kepada kami. Karenanya sebagian dari warga Kristen ada yang mengungsi ke wilayah lain,” ungkap Roka.

Perihal hubungan umat beragama di Kampong Suka Makmur, Kecamatan Gunung Meriah, Roka menjelaskan hubungan umat Islam dan Kristiani selama ini baik-baik saja. Meski peristiwa serupa pernah terjadi sebelumnya.

“Yang jelas rumah ibadah ini sudah ada sejak tahun 1962. Saat ini, kami selalu dikunjungi oleh Bapak Pendeta dari luar Aceh Singkil tiga bulan sekali. Kami ingin mendengar firman Tuhan. Karenanya kami minta pendeta mengunjungi kami,” klaim Roka.

Dikatakannya, jumlah jemaat yang beribadah di gereja ini sekitar 200-300 orang. Setiapkali ada kegiatan Natal dan Tahun Baru, Wafat dan Kebangkitan Yesus, gereja ini selalu membludak. “Kami yang di dalam sampai kesempitan,” kata dia.

Ketika terjadi pembakaran gereja oleh massa, Roka berkilah, warga Kristen di kampung ini tidak melakukan perlawanan. Kaum bapak dan ibu-ibu serta anak-anak menyaksikan sendiri dibakarnya gereja, tempat ibadah mereka.

“Oleh pendeta, kaum ibu dan anak-anak disuruh mingggir. Pendeta juga tidak menyuruh kami untuk melawan,” demikian menurut Roka.

Kendati demikian, di lokasi berbeda, saat warga berupaya membongkar GKPPD di Desa Dangguran Kecamatan Simpang Kanan, sejumlah orang terluka terkena senapan. Salah satunya terbunuh di lokasi kejadian.

Persoalan Izin

Sejauh ini, seperti dikatakan Roka, pihak gereja telah berulangkali mengajukan permohonan izin, namun mereka mengaku tidak direspon oleh pemerintah daerah. Ia tak menjelaskan apa yang menjadi alasan kenapa gereja sulit mendapat izin untuk mendirikan rumah ibadah.

Senada dengan Laher Manik, warga Katolik di Kampong Suka Makmur, hubungan umat beragama di Singkil sebenarnya berlangsung baik. Hanya saja persoalan izin pendirian rumah ibadah Nasrani tidak pernah selesai sejak 1979. Sehingga jika tidak ada izinnya harus  dibongkar.

“Itu urusan pemerintah. Yang jelas, aku lahir disini sejak tahun 1980-an ketika mengungsi dari wilayah lain dengan kasus yang sama. “

Laher Manek kepada JITU juga mengaku tidak ikut mengungsi. “Selama kami umat Kristiani dikawal aparat, kami tidak akan mengungsi kemana pun.  Kami gembira Pemerintah Daerah menjaga kami sebagai umat Kristiani,” ungkap Laher Manik senang.

JITU juga menemui umat Kristen di Kampung Dangguran Kecamatan Simpang Kanan, lokasi terbunuhnya Syamsul bin Idal. Bruto, remaja tanggung ini mengaku usai meletusnya kerusuhan ia segera mengungsi ke Tapanuli Tengah.  Bruto mengaku takut jika ada serangan balasan dari pihak umat Islam di Aceh Singkil.

Info yang diperoleh JITU dari sesama rekan wartawan yang meliput ke daerah pengungsian, kabarnya tak ada warga Kristen yang berada di lokasi dibakarnya gereja ikut mengungsi. Hanya sebagian kecil saja. Ternyata efek ketakutan itu justru terjadi di wilayah perbatasan Aceh Singkil, sehingga memutuskan mereka harus mengungsi.

Rusli, Imam mukim di Kampong Siompin yang beragama Islam, mengaku hubungan Muslim-Nasrani sejauh ini hidup berdampingan, tidak ada masalah. “Ketika menjadi Sekretaris Desa, saya selalu diundang saudara kami yang beragama Kristen untuk merayakan kebahagiaan mereka setiap kali peringatan Natal. Tapi ketika rumah ibadah mereka tak berizin itu dibongkar, mereka legowo, dan hubungan kami tetap baik dan bisa ngopi bareng,” kata Rusli.

Reporter: Desastian/JITU | Editor : Ally | Jurniscom

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.