Heboh Gender Netral. Berbahayakah?

Heboh Gender Netral. Berbahayakah?

Oleh: Sinta Kasim

Beberapa hari yang lalu, heboh di jagat maya tentang pengakuan mahasiswa baru di salah satu universitas terkemuka di Makassar terkait ‘Gender Netral’ yang tidak mengaku laki-laki maupun perempuan.

Mengutip dari detik.com, pada saat itu mahasiswa bernama Nabil sedang mengikuti Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PPKMB) Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin (Unhas). Akibat pernyataan terkait Gender Netral.

Hal ini pun menimbulkan reaksi beragam tak terkecuali oleh pihak kampus. Terkait kasus ini pula muncul petisi yang dikaitkan dengan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender/transeksual (LGBT) serta penolakan berkembangnya komunitas tersebut di Unhas.

Hingga tulisan ini dibuat, kurang dari 24 jam, lebih dari 11.000 telah menandatangani petisi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa banyak masyarakat yang menolak.

Namun, apa sebenarnya Gender Netral tersebut? Mengapa hal ini dikaitkan dengan penyimpanan seksual atau hal yang berkaitan dengan LGBT?

Gender netral sendiri merupakan gerakan yang muncul di mana jenis kelamin tidak memengaruhi kegiatan seseorang, baik bahasa, profesi yang dilakukan, hingga jabatan. Gender netral merupakan singkatan dari ‘Netralitas Gender’.

Sebenarnya gender netral ini bisa kita ambil contoh yaitu fashion busana dengan istilah ‘unisex’. Namun jika melihat persoalan yang terjadi terkait Gender Netral di Unhas tentu kita harus bertanya. Mengapa seorang mahasiswa yang dikenal intelektual bisa tak mengakui jenis kelamin yang dimilikinya. Tentu ini adalah persoalan serius baik dari norma sosial, maupun agama.

Dalam sebuah jurnal terkait konsep gender dalam Al-Qur’an oleh Abd Halim menyampaikan istilah gender ini, selalu merujuk pada adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, dan hal tersebut antara lain ditemukan dalam QS. Al-Nahl (16): 97 dan QS. Al-Hujurat (49): 13.

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Terjemahnya: “Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu.” (QS. Al-Hujurat: 13).

Ayat ini pada dasarnya menegaskan bahwa ajaran Islam tidak menganut paham the second sex yang memberikan keutamaan kepada jenis kelamin tertentu, atau first ethnic, yang mengistimewakan suku tertentu, apalagi tidak mengakui jenis kelamin laki-laki maupun perempuan.

Term gender dalam beberapa ayat Al-Qur’an mengandung interpretasi tentang persamaan kedudukan antara perempuan dan laki-laki dalam melakukan segala aktivitas sesuai dengan kodratnya masing-masing.

Sehingga konsep gender dalam Al-Qur’an adalah adanya persamaan kedudukan perempuan dan laki-laki dalam melakukan segala aktivitas terutama dalam melakukan amal saleh. Sehingga setiap orang memiliki hak yang sama dalam ibadah.

Olehnya, jika tidak mengakui adanya gender baik laki-laki maupun perempuan, maka ini sama saja seseorang tidak sepakat dengan yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Lalu mengapa Gender Netral ini bisa dikaitkan dengan LGBT? Maka jawabannya adalah pada persoalan penyimpangan yang terjadi. Memahami tidak adanya gender laki-laki maupun perempuan sama halnya pengakuan terhadap gender-gender yang lain. Padahal telah jelas hanya dua gender yang diakui oleh agama maupun pemerintah. LGBT sendiri merupakan jargon yang digunakan untuk gerakan emansipasi di kalangan non-heteroseksual.

Tentu hal ini merupakan persoalan serius apalagi menyangkut kampus. Di mana tempat tersebut adalah wadah terbentuknya pemimpin masa depan yang kelak menjadi orang-orang penting di negeri ini. Jika seorang calon pemimpin telah memiliki paham yang keliru tentu ini akan berdampak pada kemajuan bangsa dam generasi selanjutnya. Ini bukan masalah sepele, maka seorang pemuda pun harus terlibat untuk mencegah pemahaman ini.

Peran birokrasi kampus terkait pencegahan penyimpanan ini tentu sangat dibutuhkan, mengingat kampuslah yang paling berpengaruh besar terhadap mahasiswa dan bagaimana mereka memperbaiki pemahaman dan sikap yang keliru.

Ketika persoalan ini muncul tentu masih ada mahasiswa lain yang mungkin memiliki pemahaman serupa, maka perlu adanya pendampingan agar tidak ada lagi masalah yang dapat merusak moral. Hal ini juga akan berdampak positif jika seorang yang dikenal Intelek memiliki akhlak yang baik.

Editor: Rika Arlianti DM

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.