“Kemerdekaan itu bukan soal main-main. Merdeka berarti harus mampu mengurus diri sendiri. Yang diurus segala macam kehidupan.”
JURNALISLAM.COM – Pada hari itu, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dilakukan di Jakarta oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Baru di kemudian hari Ibnu Sutowo, seorang tokoh sentral dan hebat pada zamannya mengetahui betapa dramatisnya proklamasi kemerdekaan kita itu. Peristiwa Rengasdengklok, penyusunan teks proklamasi di rumah Laksamana Maeda, dan lain-lain peristiwa yang terkait, tidak begitu ia ketahui.
Tetapi ia gembira dan bangga karena Mas Diro yang ia kenal akrab cukup berperan dengan Barisan Pelopornya yang mengawal peristiwa proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56. Kelak ia mendapat kesempatan mendengar cerita sekitar hari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu.

Berita Proklamasi Kemerdekaan itu baru beberapa hari kemudian -kalau tidak salah pada tanggal 20 Agustus- sampai di Martapura. Kami sudah mengenal bendera Merah Putih sebab Jepang juga sudah pernah menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Bahkan bendera Merah Putih sudah pernah dikibarkan di samping kiri bendera Jepang waktu ada acara tertentu.
Kemerdekaan itu bukan soal main-main. Merdeka berarti harus mampu mengurus diri sendiri. Yang diurus segala macam kehidupan.
Cerita Martapura
Meskipun Martapura daerah kecil di Pulau Sumatera tetapi Martapura adalah juga Indonesia, yaitu Indonesia yang sudah merdeka. Martapura dilintasi perjalanan kereta api yang datang dari Tanjungkarang, Lampung, menuju Palembang.
Berita Indonesia Merdeka itu kami ketahui dari orang-orang kereta api. Kereta apinya juga dihias dengan bendera Merah Putih, gerbongnya ditulisi “Indonesia Merdeka” dan macam-macam slogan.
Kami, para pemuda Martapura, juga menyambut kemerdekaan itu dengan menganjurkan orang memasang Merah Putih. Ibnu Sutowo mempunyai kain lambang Palang Merah yang besar untuk keperluan tanda perlindungan dalam keadaan perang. Lambang Palang Merah itu kami rombak, kami sulap, menjadi berpuluh-puluh bendera Merah Putih, antara lain untuk dipasang di rumah kami sendiri.
Ekspresi Kemerdekaan
Perubahan situasi yang mendasar bagi kehidupan ini tercium juga oleh masyarakat luas. Mereka mulai bergerak merdeka semau sendiri dengan melakukan kerusuhan kecil-kecilan dan perbuatan lainnya. Barisan pemuda yang kemudian memilih ia sebagai pemimpinnya mengambil tindakan tegas sehingga kekacauan tidak berlarut. Untunglah kekuasaan dan kewibawaan Pasirah tetap memancar. Ketertiban masyarakat terjaga oleh barisan anak muda yang dengan cepat mulai mengerti apa itu Indonesia Merdeka.
Sementara itu, di berbagai tempat pergolakan mulai merebak. Di pulau Jawa kesatuan-kesatuan tentara Jepang mulai dilucuti oleh para pemuda yang membentuk laskar-laskar perjuangan. Para bekas prajurit Pembela Tanah Air (PETA) dan Heiho, bersama-sama dengan masyarakat, membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Kabar itu sampai di daerah kami walaupun terlambat.
Maka di Sumatera Selatan BKR pun bertindak mengamankan tentara Jepang. Ia tahu kemudian bahwa kerajaan Jepang telah menyatakan menyerah terhadap sekutu setelah Hiroshima dan Nagasaki dihujani bom atom.
Kekalutan sementara terkait pelucutan senjata tentara Jepang boleh dikatakan sudah reda. Disaat pemerintah Republik mulai berjalan dengan perangkat apa adanya, masalah baru muncul, yaitu kedatangan tentara Sekutu yang disebut Allied Forces, sebagai sang pemenang Perang Dunia II.
Tentara Sekutu ini berkewajiban mengambil kekuasaan dari tangan Pemerintahan Jepang, melucuti tentara Jepang dan merepatriasikannya. Selain itu juga merawat dan menyelesaikan urusan orang interniran yang ditawan.
Arti Merdeka
Bagi masyarakat kita, kedatangan tentara asing membuat kita berwaspada. Bukankah kita sudah merdeka sehingga segala masalah di negeri ini adalah menjadi tanggung jawab kita? Pemikiran yang benar seperti itu bagi rakyat banyak masih belum jelas merata. Di antara orang kebanyakan masih banyak yang berpandangan samar-samar.
Yang tidak samar-samar hanyalah kenyataan Indonesia Merdeka, artinya bangsa Indonesia sudah tidak dijajah lagi oleh bangsa lain manapun juga. Untuk masalah selanjutnya, kita tunggu saja arus yang bakal tiba.
Namun, sebagai kaum intelektual kita menunggu sambil berpikir mengenai konsekuensi menjaga kemerdekaan yang sudah ada di tangan dan menjadi tanggung-jawab kita bersama. Kami menyadari bahwa semangat rakyat cukup besar, namun mereka memerlukan pimpinan oleh bangsanya sendiri. (Semua cerita ini diambil dari penggalan di buku yang ditulis oleh Ramadhan KH dengan judul Ibnu Sutowo: Saatnya Saya Bercerita!)