WASHINGTON (jurnalislam.com)- Menanggapi laporan warga Gaza mengenai Hamas yang memungut biaya atas sejumlah barang impor dan aktivitas lainnya, seorang juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menegaskan bahwa praktik tersebut menjadi alasan mengapa “Hamas tidak dapat dan tidak akan memerintah di Gaza.” Pernyataan itu dikutip dari The New Arab (14/11/2025).
Menurut juru bicara tersebut, pemerintahan baru di Gaza dapat dibentuk setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui rencana Presiden Donald Trump. Ia menambahkan bahwa kemajuan telah dicapai dalam pembentukan pasukan keamanan multinasional yang menjadi bagian dari rencana tersebut.
Kelompok-kelompok Palestina mendorong agar Otoritas Palestina (PA) memiliki peran dalam pemerintahan baru Gaza, meskipun Israel secara tegas menolak kembalinya PA untuk memerintah wilayah tersebut. Fatah dan Hamas juga masih berbeda pandangan mengenai bentuk dan mekanisme pembentukan otoritas pemerintahan yang baru.
Münther al-Hayek, juru bicara Fatah di Gaza, mengatakan tindakan Hamas saat ini “memberikan indikasi jelas bahwa Hamas ingin terus memerintah,”
Di wilayah yang dikuasai Israel, kelompok-kelompok kecil Palestina yang menentang Hamas disebut mulai mendapatkan pijakan sebuah tantangan tersendiri bagi Hamas. Sementara itu, kondisi kehidupan warga Gaza tetap memprihatinkan meskipun jumlah bantuan kemanusiaan yang masuk meningkat sejak gencatan senjata dimulai.
Seorang importir makanan senior di Gaza mengatakan bahwa Hamas belum kembali menerapkan kebijakan perpajakan penuh seperti sebelum perang, namun mereka “melihat dan mencatat semuanya.”
Menurutnya, otoritas Hamas memantau ketat seluruh barang yang masuk melalui pos pemeriksaan, menghentikan truk, serta menginterogasi para pengemudi. Pedagang yang menaikkan harga disebut langsung dikenai denda, yang sempat membantu menurunkan sebagian harga di pasar. Meski demikian, harga barang-barang di Gaza tetap jauh lebih tinggi dibandingkan masa sebelum perang, dan warga mengeluhkan tidak memiliki cukup uang untuk membeli kebutuhan dasar.
Sebelum perang, pemerintahan Hamas mempekerjakan hingga 50.000 orang, termasuk aparat kepolisian. Juru bicara pemerintah Hamas, Ismail Al-Thawabta, mengatakan ribuan pegawai telah gugur, namun mereka yang tersisa siap bekerja di bawah struktur pemerintahan baru jika dibentuk.
Hamas disebut tetap membayar gaji para pegawai sepanjang perang berlangsung, meskipun memotong gaji tertinggi dan menyeragamkan upah menjadi 1.500 shekel (sekitar Rp7.849.000 per bulan). Para diplomat dan ekonom yang mengetahui masalah tersebut menduga Hamas menggunakan cadangan uang tunai untuk membiayai pembayaran gaji.
Sumber-sumber dekat Hamas juga menyebut bahwa kelompok tersebut telah menunjuk empat gubernur baru menggantikan pejabat yang tewas, serta mengganti 11 anggota politbiro Gaza yang gugur selama perang.
Aktivis sekaligus pengamat politik Gaza, Mustafa Ibrahim, mengatakan Hamas tengah memanfaatkan mandeknya implementasi rencana Trump “untuk memperkuat kekuasaannya.” Ia menilai kondisi ini kemungkinan akan terus berlangsung hingga terbentuk pemerintahan alternatif yang disepakati. (Bahry)
Sumber: TNA