Fenomena “Confess” dalam Perspektif Islam: Antara Menjaga Hati, Adab, dan Privasi Perasaan

Fenomena “Confess” dalam Perspektif Islam: Antara Menjaga Hati, Adab, dan Privasi Perasaan

Oleh: Rika Arlianti DM

Tren sosial media hari ini sering mendorong orang untuk confess, yakni mengakui perasaan kepada seseorang secara langsung atau publik. Bagi sebagian anak muda, hal ini dianggap sebagai bentuk keberanian. Namun, dalam perspektif Islam, pengungkapan perasaan kepada lawan jenis tidak hanya soal “berani atau tidak”, tetapi menyentuh wilayah adab, menjaga diri, dan menghindari pintu kemudaratan.

Islam menawarkan sudut pandang yang lebih dalam, bahwa perasaan adalah amanah, dan cara kita mengekspresikannya pun diatur agar tetap menjaga kehormatan diri dan orang lain.

Dari sinilah muncul kelompok yang memilih untuk tidak confess. Bukan karena minder atau gengsi, tetapi karena mempertimbangkan etika dalam Islam. Dan pilihan ini sangat mungkin, bahkan lebih sesuai dengan nilai moral yang dianjurkan agama.

Menjaga Hati adalah Bagian dari Menjaga Diri

Dalam Islam, menjaga hati adalah bagian dari menjaga kehormatan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Ketahuilah, di dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, itu adalah hati.” (HR. Bukhari & Muslim).

Hadis di atas menjelaskan bahwa hati adalah pusat dari segala perilaku manusia. Jika hati baik, maka seluruh tindakan tubuh akan baik; sebaliknya, jika hati rusak, seluruh tindakan tubuh juga akan rusak. Ini berarti kebaikan atau keburukan moral seseorang berasal dari hatinya, dan perlu dijaga dengan baik,

Mengungkapkan perasaan secara terbuka, apalagi di ruang publik atau tanpa tujuan yang jelas, berpotensi mengganggu ketenangan hati, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Bagi sebagian orang, memilih untuk tidak confess adalah cara untuk menjaga hati dari kegelisahan, fitnah, dan dinamika yang tidak perlu.

Islam Mengajarkan Adab Pergaulan yang Tidak Menimbulkan Fitnah

Allah Suubhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan janganlah kalian mendekati zina…” (QS. Al-Isra: 32).

Ulama menjelaskan bahwa “mendekati” itu mencakup segala interaksi yang dapat membuka pintu fitnah. Entah dengan goda-godaan, isyarat perasaan, atau kedekatan emosional tanpa komitmen yang jelas.

Fenomena confess sering kali menempatkan dua orang dalam situasi canggung. Hubungan jadi ambigu, muncul rasa berdua yang tidak jelas, bahkan timbul kedekatan emosional yang rentan fitnah.

Banyak ulama menyebut keadaan seperti ini sebagai khathar al-qalb kondisi di mana hati menjadi rawan, bukan karena maksiat yang nyata, tetapi karena situasi yang membuka peluang ke sana.

Orang yang memilih anti-confess justru sedang menghindari pintu fitnah, bukan menahan sesuatu yang seharusnya diumbar.

Menjaga “Malu” (Hayā’) dan Kehormatan Diri

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Malu adalah bagian dari iman.” (HR. Muslim)

Dalam Islam, malu bukan kelemahan, melainkan kualitas spiritual yang menjaga seseorang dari tindakan yang tidak semestinya. Bagi sebagian orang, confess kepada lawan jenis terasa tidak sesuai adab. Bisa memunculkan rasa canggung, membuka aib di masa depan, juga melanggar prinsip menjaga kehormatan.

Di sinilah ḥayā’ berperan. Seseorang memilih diam bukan karena takut ditolak, tetapi karena ingin menjaga kehormatan diri dan hubungan sosialnya.

Bahkan Imam Nawawi menyebut hayā’ sebagai “penghalang dari segala keburukan”, termasuk tindakan spontan yang dapat menimbulkan malu atau penyesalan.

Privasi Perasaan adalah Bagian dari Menjaga Aib

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa menutupi aib seorang Muslim, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim).

Ulama memperluas makna “aib” tidak hanya pada dosa, tetapi juga segala perkara pribadi yang jika diumbar dapat memicu masalah di kemudian hari.

Mengungkapkan rasa suka kepada seseorang bisa menimbulkan cerita yang menyebar. Bisa diungkit teman sejawat, menjadi bagian “aib sosial”, kemudian mempengaruhi reputasi dua belah pihak.

Banyak anak muda yang sekarang menyesal karena confess yang dulu dianggap lucu, menjadi bahan lelucon bertahun-tahun kemudian.

Memilih untuk tidak confess justru sering menjadi bentuk kedewasaan spiritual. Menahan diri dari hal yang tidak membawa maslahat.

Lebih Baik Diam daripada Confess

Diam bukan berarti tidak ada perasaan. Justru dalam Islam, diam sering dianggap lebih terhormat ketika belum waktunya. Para ulama dalam Adab al-Khitbah (etika menuju pernikahan) menekankan bahwa perasaan boleh tumbuh, tetapi tidak dianjurkan untuk diungkapkan tanpa tujuan serius. Interaksi sebaiknya dijaga hingga ada niat yang matang.

Jika suatu hari ingin melangkah lebih jauh, Islam sudah menyiapkan jalur yang jelas, yakni ta’aruf, khitbah, lalu pernikahan. Bukan confess tanpa arah yang hanya menambah rumit pergaulan.

Tidak Confess Adalah Pilihan yang Sah

Fenomena confess yang sedang FYP boleh saja menjadi hiburan. Tetapi tidak semua orang merasa cocok, dan dalam Islam, tidak semua hal yang viral patut diikuti.

Memilih untuk menjaga perasaan, menghindari fitnah, mempertahankan hayā’, menghormati pergaulan, dan menjaga privasi, bukan tanda ketakutan atau kurang percaya diri.

Sering kali, itu adalah bentuk ketaatan, kedewasaan, dan pemahaman terhadap adab dalam Islam. Sudah sepatutnya muslim dan muslimah merasa bangga karena tidak pernah confess, sebab itu wajar. Bahkan ia berhasil menjaga sesuatu yang sangat dihargai dalam agama; kehormatan diri dan ketenangan hati.

Bagikan