Buya Hamka dan Halal bihalal yang Dikhianati

Buya Hamka dan Halal bihalal yang Dikhianati

Oleh: Budi Eko Prasetiya

Halal bihalal adalah sebuah tradisi yang mengiringi perayaan Idul Fitri umat Islam di Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), halal bihalal berarti hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan. Biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dan sebagainya) oleh sekelompok orang. Sebuah tradisi kental dengan nilai kebaikan berupa silaturahmi, saling bermaafan dan ukhuwah.

Ada beragam versi tentang sejarah asal muasal halal bihalal. Ada yang menuliskan halal bi halal dikenalkan oleh interaksi pendiri NU KH Wahab Chasbullah dengan Bung Karno di tahun 1948. Di mana saat itu kondisi bangsa sedang genting akibat perseteruan politik.

Sejarah halal bihalal pun tidak bisa dilepaskan dari sosok Buya Hamka, tokoh Muhammadiyah dan Masyumi kala itu. Selepas Ramadhan di tahun 1963, beliau diundang oleh Bung Karno ke Istana Negara. Saat berjabat tangan dengan Bung Karno, beliau berucap “kita halal bihalal” yang kemudian dibalas denga cukup lantng pula oleh Bung Karno “halal bihalal” sehingga terdengar oleh yang hadir di ruangan Istana Negara tersebut.

Hubungan Buya Hamka dan Bung Karno memang merenggang sejak tahun 1960. Hal tersebut akibat provokasi PKI hingga terbitnya Keppres nomor 200 tahun 1960. Dalam Keppres tersebut disebutkan bahwa dalam 30 hari sesudah keputusan itu terbit, pimpinan Partai Masyumi harus menyatakan pembubaran partai. Jika menolak, maka Masyumi akan dinyatakan sebagai partai terlarang.

Akhirnya, PKI pun bertepuk sorak karena merasa di atas angin. Ulah mereka pun semakin menjadi-jadi menyudutkan Islam dan umat Islam. Akibat provokasi PKI para tokoh Islam ditangkapi, hingga muncullah desas-desus Buya Hamka juga akan ditangkap. Buya Hamka sempat menepis rumor tersebut karena sebelumnya sudah berikrar halal bi halal dan bersilaturahmi dengan Presiden Soekarno

Desas-desus itupun akhirnya terbukti. Pada 27 Januari 1964 bertepatan dengan 12 Ramadhan 1383 Hijriyah beliau bersama aktivis Masyumi ditahan dengan tuduhan  melakukan makar dan merencanakan pembunuhan atas Presiden Soekarno.

Dalam buku “Perjalanan Terakhir Buya Hamka, halaman 155” dituliskan: “Buya Hamka yakin dia tidak bersalah, sebab laporan itu palsu. Semua punya alibi. Tetapi “scenario” sudah diatur dan mereka harus mengaku. Ada yang sampai batuk berdarah karena pukulan, atau disetrum listrik.

Meskipun yakin tidak bersalah, tapi Buya Hamka akhirnya memilih putusan sulit untuk mengaku. Dia memilih “mengaku” daripada disiksa, karena merasa lebih membutuhkan tangan dan otaknya agar tidak rusak. Jika tangan dan otaknya rusak, maka beliau tidak akan bisa menulis dan berpikir lagi.

Manusia bisa saja membuat makar, tetapi makar Allahlah yang paling hebat. Akhirnya selama dua tahun di penjara beliau bisa merampungkan karya fenomenal beliau, tafsir Al Azhar.

Sejarah pun menjadi saksi, setelah 2 tahun beliau dipenjara, Presiden Soekarno lengser dan PKI dibubarkan dan dinyatakan menjadi partai terlarang.

Sejarah Buya Hamka akan selalu menjadi pengingat bagi kita semua bahwa penguasa dan musuh-musuh politik Islam dapat melakukan tindakan-tindakan keji dan tak beradab, memenjarakan merekayasa, bahkan menghalalkan berbagai cara demi tercapainya tujuan duniawinya.

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.