Belajar Dari KH Mas Mansyur, Sang Pelopor

Belajar Dari KH Mas Mansyur, Sang Pelopor

Oleh : M. Arsyad Arifi
Koordinator Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Republik Yaman

Siapa yang tak kenal KH Mas Mansyur? Kiai kharismatik yang menjadi tokoh “Empat Serangkai” pemimpin PETA (Pusat Tenaga Rakyat) bersama Soekarno, Hatta, dan Ki Hajar Dewantara.

Kyai yang pandai berpotret, suka memakai sarung dan peci ini lahir dari pasangan K.H. Mas Ahmad Marzuki dan Raudah di Surabaya, 25 Juni 1896 tepatnya di kampung Sawahan, Surabaya. Beliau tumbuh dalam lingkungan religius, mengingat ayahnya sendiri merupakan bagian dari keluarga Pondok Pesantren Sidoresmo Surabaya.

Murid Kyai Khalil Bangkalan dan Kyai Muhammad Thaha Sidoresmo ini terkenal cerdas, gemar membaca, dan suka mendengarkan nasehat. Bakat kepemimpinannya, menurut Muslihat (kakaknya), sudah terlihat sejak kanak-kanak. “ Ketika masih kanak-kanak, ia sering bermain sekolah-sekolahan dan ia seakan menjadi guru, bantal-bantal itu diibaratkan para murid” terang Muslihat.

Maka dari itu orang tuanya menyarankan beliau untuk naik haji dan berguru kepada Syekh Mahfudz Termas di Makkah. Di tengah-tengah pembelajarannya, terjadi pergolakan politik yang membuatnya harus pindah dari Saudi Arabia. Akhirnya turunlah sauh KH Mas Mansyur di negeri Firaun. Beliau melanjutkan pembelajarannya di Universitas Al-Azhar Cairo. Pada saat inilah beliau bertemu dengan banyak tokoh pembaharu seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha terkenal dengan tafsirnya “Al-Manar”, Kasim Amin, Muhammad Haykal yang terkenal dengan karyanya “Hayatu Muhammad”, Abbas M. Akkad hingga Saad Zaghlul yang dikenal sebagai bapak kemerdekaan Mesir

Jiwa pelopor KH. Mas Mansyur mulai tumbuh dan terpatri dalam sanubarinya. Kalau Albert Camus mengatakan, “Aku memberontak maka aku ada“, dapat dikatakan KH Mas Mansyur, “Aku membaharu maka aku ada.”

Seusai menuntut ilmu, pulanglah ia ke tanah air pada tahun 1915. Sepulangnya di rumah, ia mendapati pertumbuhan pergerakan nasional terjadi di berbagai tempat, yang pada pada akhirnya mempertemukan ia dengan Persyarikatan Muhammadiyah karena kecocokan visi dan misi.

Tak butuh waktu lama semenjak perkenalannya beliau langsung jatuh cinta dengan Muhammadiyah. Maka beliau masuk ke dalamnya pada tahun 1921. Setelah masuk, jiwa pelopornya yang didapatkan saat di Mesir pun berkobar. Setelah mendapat izin dari KH Ahmad Dahlan maka dengan penuh semangat KH Mas Mansyur mendirikan Muhammadiyah Cabang Surabaya di tahun itu juga. Tak hanya itu, ia pun mengusulkan berdirinya Majelis Tarjih pada Kongres Muhammadiyah yang ke-16 di Pekalongan tahun 1927. Alasannya adalah guna mencegah timbulnya percekcokan dan perselisihan masalah-masalah agama di kalangan Muhammadiyah. Sebab hal itu akan menghambat jalannya kemajuan organisasi, serta akan meretakkan ukhuwah islamiyah. Di samping itu, untuk mencegah timbulnya penyalahgunaan hukum agama demi kepentingan pribadi.

Pengaruhnya yang sangat berarti di tubuh Muhammadiyah inilah yang membuatnya akhirnya terpilih menjadi Ketua PB Muhammadiyah pada tahun 1937-1943. Beliau menjadi nahkoda bahtera Muhammadiyah yang ketiga setelah KH Ahmad Dahlan dan KH Ibrahim.

Kepeloporannya tak hanya di lingkungan Muhammadiyah saja, bersama HOS Cokroaminoto, KH Mas Mansyur ikut menahkodai Sarekat Islam yang menjadi satu-satunya wadah perjuangan umat Islam di bidang politik kala itu. Beliau juga tergabung dalam MIAI atau Majelis Islam A’la Indonesia yang menjadi cikal bakal Masyumi yang sangat masyhur pengaruhnya. Juga melalui PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) yang dipimpinnya ia membentuk BKR yang bertransformasi menjadi TKR yang kini menjadi TNI.

Selain peran di politik pemerintahan, tokoh Muhammadiyah ini sangat akrab dengan semua kalangan, termasuk juga dengan Nahdhatul Ulama. Tercatat setelah kepulangannya dari timur tengah, bersama KH Wahab Chasbullah mempelopori berdirinya kelompok diskusi “Taswirul Afkar” di Surabaya. Lalu mereka membentuk suatu perkumpulan yang bergerak dalam bidang pendidikan yang diberi nama “Djami’ah Nahdhatul Wathan” dari perkumpulan inu kemudian didirikan sekolah yang cukup modern kala itu dengan “Khitabul Wathan” di Surabaya. Perkumpulan ini berkembang pesat hingga muncullah cabang-cabang di berbagai tempat. Selain itu beliau ikut mempelopori berdirinya STI yang menjadi Sekolah Tinggi Islam pertama dan satu-satunya di Indonesia kala itu.

Tinta emas prestasi yang diukir oleh KH Mas Mansyur membuat pada puncaknya beliau meraih gelar Pahlawan Nasional yang disematkan oleh Presiden Soekarno melalui surat keputusan Presiden RI no. 590 th. 1961 tertanggal 19 November 1961.

Sekian banyak prestasi yang ditorehkan oleh KH. Mas Mansyur memberikan kesimpulan bahwasannya beliau adalah sosok ulama yang tak menyukai stagnasi dan kebekuan ide maka dari itu beliau mendobraknya dengan pembaharuan di segala, tempat, waktu dan dengan siapapun kawannya. Jiwa kepeloporan inilah ibrah yang harus kita ambil dari beliau karena Rasulullah SAW bersabda, yang artinya:

Barangsiapa mencontohkan dalam Islam contoh yang baik maka baginya mendapat pahala dari amal itu sendiri dan mendapat pahala dari amalan orang yang mengamalkannya dengan apa yang telah ia contohkan tanpa berkurang pahalanya sedikitpun dan barangsiapa mencontohkan dalam Islam contoh yang buruk maka baginya mendapat dosa dari amal itu sendiri dan mendapat dosa dari amalan orang yang mengamalkannya dengan apa yang telah ia contohkan tanpa berkurang dosanya sedikitpun (H.R. Muslim)

Maka dari itu, mari kita menjadi pelopor dalam kebaikan untuk diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Wallahua’lambishawab

Mukalla, 1 Mei 2019

Pukul 23.30 WPT

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.