Oleh : Jumi Yanti Sutisna
Ada pepatah bilang “Guru terbaik adalah pengalaman orang lain” bukan pengalaman diri sendiri.
Jika pepatah itu diejawantahkan dalam kehidupan sehari hari, misalkan karyawan, bagaimana menjadi karyawan yang sukses, apa yang harus dilakukan, apakah harus membuat pola sendiri yang belum teruji, atau mencari role model karyawan yang telah sukses dan mengikuti pola ia menjadi sukses.
Contoh lain menjadi pengusaha, bagaimana menjadi pengusaha yang sukses, apa yang harus dilakukan, apakah harus membuat pola sendiri yang belum teruji, atau mencari role model pengusaha yang telah sukses dan mengikuti pola ia menjadi sukses.
Dapat dibayangkan jika pilihannya adalah mencari pola sendiri, yang belum teruji, tetap ada kemungkinan untuk sukses, namun berapa waktu yang terbuang untuk coba-coba. Bukankah Allah pun mengajarkan dalam kitab sucinya yang didominasi dengan kisah-kisah, itu pertanda Allah ingin agar manusia belajar dari pengalaman orang lain.
Belajar dari pengalaman orang yang gagal agar tidak melakukan langkah serupa, sehingga tidak ikut-ikutan gagal. Belajar dari pengalaman orang yang sukses, agar dapat mengikuti jejak langkahnya, mencontek langkahnya, sehingga pun meraih kesuksesan juga.
Didalam Al-Quran, diceritakan kisah bagaimana Habil dan Qabil mempersembahkan sedekahnya, siapa yang sedekahnya diterima dan siapa yang tidak. Di Al-Quran pun diceritakan kisah keluarga Ibrahim yang santun, sehingga memiliki anak-anak yang santun, cerdas serta shalih. Bukankah dengan begitu Allah ingin agar manusia belajar dari pengalaman orang lain? Maha Baik Allah dengan kesempurnaan ilmu Nya.
Kemudian, membentuk sebaik-baik pemimpin dan sebaik-baik tim, bagaimana caranya?
Mari melihat kepada hadist,
“Sungguh, kalian akan menaklukkan Konstantinopel. Sungguh, sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin yang menaklukkannya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya” (HR. Ahmad)
Siapakah yang menaklukkan Konstantinopel?
Ia adalah Sultan Mehmed II pada 20 Jumadil Awal 857 H bertepatan dengan 29 Mei 1453 M bersama pasukannya berhasil menaklukkan Konstantinopel. Setelah penaklukan itu ia pun diberi gelar dengan nama Muhammad Al-Fatih yang kemudian nama ini lebih terkenal dari nama aslinya.
Bagaimana bisa seorang pemuda berusia 21 tahun Muhammad Al-Fatih menjadi sebaik-baik pemimpin dan memiliki sebaik-baik pasukan (tim) ?
Tidak lain dikarenakan ada perjalanan panjang orangtua Muhammad Al-Fatih dalam mendidiknya sehingga dalam usia muda Muhammad Al-Fatih mampu menjadi sebaik-baik pemimpin dan memiliki sebaik-baik pasukan. Bukankah indahnya berlian terbentuk dari tempaan proses yang panjang, dan Rasulullah pun bersabda “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, lalu kedua orang tuanya lah yang menjadikannya sebagai seorang yahudi, nasrani & majusi (penyembah api). (HR. Muslim No.4807)
Lalu bagaimana orangtua Muhammad Al-Fatih mendidik?
Rupanya bagian inilah yang berperan besar selain kemudahan dari Allah yang membentuk Muhammad Al-Fatih menjadi sebaik-baik pemimpin dan memiliki sebaik-baik tim (pasukan)
Bagian inilah yang patut dipelajari dan diteladani oleh para orangtua dan calon orangtua. Berikut intisari pendidikan orangtua Muhammad Al-Fatih yang dapat dirangkum oleh penulis :
-
Memiliki motivasi yang kuat dan menyusun misi dalam mendidik.
Sultan Murad II ayah dari Muhammad Al-Fatih, bukan tanpa motivasi dan latar belakang sehingga dapat membentuk seorang anak yang merupakan sebaik-baik pemimpin dijamannya. Hadist Rasulullah yang mengabarkan pembebas konstantinopel adalah pemimpin terbaik itulah yang menjadi motivasi dan latar belakang sang ayah menempa anaknya agar menjadi pemimpin terbaik yang dikabarkan oleh Rasulullah. Membentuk sebaik-baik pemimpin dan sebaik-baik tim menjadi misi Sultan Murad II dalam mendidik anaknya.
-
Menjalin bonding dengan anak.
Sultan Murad sangat dekat dengan anaknya. Ia tampaknya paham bahwa ikatan emosi akan sangat mempengaruhi anak untuk ikut atau tidak dengan misi yang diembannya. Ia paham untuk dapat menguasai hati anak maka ia harus menjalin bonding dengan anak. Bukan untuk memanjakan atau menjadikannya sebagai ‘anak ayah’ kemudian akan mengakibatkan ketergantungan anak pada ayahnya.
Menjalin bonding dengan anak pun membuat kebutuhan hati anak akan kasih sayang, perhatian, kepedulian dan cinta menjadi terpenuhi, sehingga anak merasa dihargai dan dicintai, yang kemudian membuat anak percaya bahwa bimbingan-bimbingan orangtuanya adalah demi kebaikan anaknya, dan anak pun tak ragu untuk mengikuti orangtua. Jika kita melihat banyak anak jaman sekarang, membangkang kepada orangtua, bisa jadi tidak ada bonding diantara mereka.
Bagaimana upaya Sultan Murad II menjalin bonding dengan anaknya?
Salah satunya adalah selepas bangun tidur Sultan Murad II mengajak anaknya shalat subuh kemudian berjalan-jalan menikmati fajar sembari bercengkrama dengan suasana yang menyenangkan. Selama berjalan-jalan itu tangan Sultan Murad II tidak lepas dari menggenggam tangan Muhammad Al-Fatih.
-
Membiasakan kalimat positif dan doa untuk anak.
Perkataan bisa menjadi doa. Ungkapan ini sering kita dengar bukan?
Apalagi perkataan dan doa orangtua untuk anaknya.
Banyak kisah yang membenarkan ungkapan diatas, salah satu contoh terdekat adalah perkataan ibu Imam As-Sudais yang menyumpahi anaknya menjadi imam Masjidil Haram, dan terbukti sudah.
Ini pun yang dilakukan oleh ayah Muhammad Al-Fatih jauh sebelum ibu imam As-Sudais. Bedanya ayah Muhammad Al-Fatih tidak menyumpahi, namun menyampaikan sebuah impian kepada anaknya.
Setiap hari Sultan mengajak anaknya duduk di puncak menara masjid yang tertinggi, lalu Sultan menunjuk tangannya jauh di sebuah cakrawala dan menyampaikan impiannya kepada anaknya yang masih sangat kecil.
“Mehmed, lihatlah! Di depan, jauh di depan sana, di sanalah Konstantinopel. Kota itu adalah salah satu pusat dari kekufuran. Ibu kota Romawi Timur yang sangat kuat. Kota itu akan jatuh ke dalam kekuasaan Islam. Dan engkaulah, Insyaallah, yang akan menaklukkannya kelak.”
Setiap hari kalimat itu disampaikan pada anaknya, tentu kalimat ini masuk dalam alam bawah sadar Muhammad Al-Fatih sehingga ia tergerak dan percaya diri untuk mampu mewujudkan impian itu.
Jika sebaliknya kini banyak para orangtua dalam amarahnya sering mengucapkan kata “bodoh” “nakal”, apakah itu yang diharapkan orangtua?
-
Memberi teladan yang baik dan khususnya yang menuju ke arah misi pendidikan.
Misi ayah Muhammad Al-Fatih untuk menjadikan anaknya seorang penakluk konstantinopel, bukan sekedar impian tanpa langkah nyata. Sultan Murad II pun disebut sebagai salah satu sultan dari Bani Utsman yang paling banyak memperkokoh sendi-sendi daulah dan memperluas penaklukan-penaklukan daulah di tanah Eropa kecuali Konstantinopel. Sultan Murad II memberi contoh langsung kepada anaknya bahwa ia seorang penakluk dan mengikut sertakan Muhammad Al-Fatih dibeberapa peperangan. Bahkan saat Sultan Murad II memimpin peperangan menghadapi pasukan gabungan Eropa, ia didampingi oleh Muhammad Al-Fatih yang akhirnya pasukan Sultan Murad II meraih kemenangan gemilang yang gema kemenangannya membahana ke penjuru dunia Islam, ini sebagai salah satu upaya pendidikan seorang ayah dalam mempersiapkan anaknya untuk menjadi sebaik-baik pemimpin.
- Memberikan Guru Terbaik.
Guru pun memegang peran penting dalam membentuk kepribadian dan keilmuan seorang anak. Ini dipahami betul oleh Sultan Murad II. Meski diawal sang ayah membangun pondasi pendidikan dengan kolaborasi bonding dan disiplin (tegas), kemudian ayahnya pun memilihkan guru dari ulama-ulama terbaik dan terkenal pada masanya, dan ulama-ulama terbaik inilah yang mempengaruhi wawasan, politik dan seni militer dalam kepribadian Muhammad Al-Fatih sehingga mampu menaklukkan Konstantinopel.
Salah satunya adalah Syekh Amid Syamsudin merupakan guru yang paling tegas dan paling berpengaruh bagi Muhammad Al-Fatih seperti penuturan Muhammad Al-Fatih setelah menjadi sultan “Penghormatanku terhadap Syekh itu (Amid Syamsuddin) adalah penghormatan yang menarik seluruh sisi jiwaku. Saat berada dihadapannya, aku dan kedua tanganku gemetar”
*Penulis adalah Jurnalis Jurnalislam.com
Para Panglima Islam Penakluk Dunia oleh Muhammad Ali
Dan literasi lain tentang Muhammad Al-Fatih