Sekjen MUI Dorong Percepatan Pemetaan Modus Operandi Aliran Sesat Demi Ketahanan Nasional

JAKARTA (jurnalislam.com)– Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Buya Amirsyah Tambunan, menegaskan pentingnya mempercepat langkah pemetaan terhadap berbagai modus operandi aliran sesat yang berkembang di Indonesia.

Ia menilai, keberadaan aliran-aliran menyimpang tersebut memiliki dampak besar terhadap ketahanan nasional yang menjadi pilar utama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Kalau kita ingin menjaga ketahanan nasional, maka pemetaan terhadap aliran-aliran sesat harus dilakukan sejak dini. Pemetaan ini merupakan proses untuk menggambarkan atau memvisualisasikan data, baik secara geografis maupun non-geografis,” ujar Buya Amirsyah kepada MUIDigital di Kantor MUI, Menteng, Jakarta, Sabtu (8/11/2025).

Buya Amirsyah menjelaskan bahwa proses pemetaan mencakup pengumpulan, analisis, serta penyajian informasi guna membangun hubungan antara berbagai elemen data agar pola, tren, dan keterkaitannya dapat dipahami secara menyeluruh.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa ketahanan nasional adalah fondasi utama bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Dalam era globalisasi yang penuh tantangan, pemahaman terhadap konsep dan komponen ketahanan nasional menjadi kunci penting untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.

“Ketahanan nasional harus mampu menciptakan kondisi dinamis yang menunjukkan keuletan dan ketangguhan bangsa dalam mengembangkan kekuatan nasional untuk menghadapi ancaman, tantangan, dan hambatan. Dengan begitu, negara tetap kuat dalam mencegah dan memberantas aliran sesat,” jelasnya.

Buya Amirsyah menambahkan, maraknya aliran sesat di suatu negara merupakan sinyal melemahnya ketahanan nasional.

“Hal ini seolah menunjukkan bahwa negara belum memiliki aturan yang tegas mengenai boleh tidaknya suatu aliran. Kalaupun aturan itu sudah ada, penegakan hukumnya terhadap aliran sesat masih lemah,” pungkasnya.

Sumber: muidigital

Gaza Terima 15 Jenazah Palestina yang Diduga Dimutilasi dari Israel

GAZA (jurnalislam.com)– Kementerian Kesehatan Gaza menyatakan telah menerima 15 jenazah warga Palestina yang diserahkan oleh otoritas pendudukan Israel melalui Komite Palang Merah Internasional (ICRC) berdasarkan kesepakatan gencatan senjata.

Dalam pernyataannya pada Sabtu (8/11), otoritas kesehatan Palestina menyebut bahwa banyak jenazah yang dikembalikan menunjukkan tanda-tanda penyiksaan. Sejumlah tubuh ditemukan dengan kondisi tangan terikat, mata tertutup, wajah rusak, serta luka-luka parah lain yang mengindikasikan adanya kekerasan sebelum kematian.

Jenazah-jenazah tersebut juga dikembalikan tanpa identitas. Dengan pemulangan terbaru ini, total 300 jenazah warga Palestina telah diserahkan oleh Israel sejak gencatan senjata diberlakukan pada 10 Oktober lalu.

Tim forensik Gaza sejauh ini telah berhasil mengidentifikasi 89 jenazah dan masih melanjutkan pemeriksaan sesuai prosedur medis yang disetujui sebelum jenazah diserahkan kepada keluarga masing-masing.

Akibat blokade Israel selama bertahun-tahun dan hancurnya laboratorium medis di Jalur Gaza, keluarga korban terpaksa mengidentifikasi kerabat mereka melalui tanda fisik atau pakaian yang masih melekat.

Sebelum gencatan senjata, Israel dilaporkan menahan sedikitnya 735 jenazah warga Palestina di lokasi yang dikenal sebagai “kuburan angka”, menurut data Kampanye Nasional Palestina untuk Mengambil Jenazah Martir.

Sementara itu, harian Israel Haaretz mengungkap bahwa Israel juga menahan sekitar 1.500 jenazah warga Gaza di pangkalan militer Sde Teiman, sebuah lokasi yang dikenal sebagai pusat penahanan dengan kondisi kejam di wilayah selatan Israel.

Sejak agresi militer dimulai pada Oktober 2023, Israel telah menewaskan lebih dari 69.000 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Lebih dari 170.600 orang terluka, sementara sekitar 9.500 lainnya dilaporkan hilang, banyak di antaranya diduga masih tertimbun di bawah reruntuhan rumah yang hancur akibat serangan udara. (Bahry)

Sumber: TRT

PBB: Akses Bantuan ke Gaza Masih Dibatasi Israel, Produksi Pangan Nyaris Lumpuh

GAZA (jurnalislam.com)– Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan pada Jumat (7/11/2025) bahwa akses kemanusiaan ke Jalur Gaza masih sangat dibatasi oleh Israel meskipun telah diberlakukan gencatan senjata. Pembatasan ini menyebabkan lahan pertanian terbengkalai dan produksi pangan hampir sepenuhnya terhenti.

Mengutip laporan Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), juru bicara PBB Farhan Haq mengatakan kepada wartawan di New York bahwa “kebutuhan mendesak rakyat masih sangat besar,” seraya menambahkan bahwa “hambatan tidak diatasi dengan cukup cepat sejak gencatan senjata dimulai.”

Menurut Haq, hingga Senin lalu, PBB dan mitra-mitranya telah mengumpulkan lebih dari 37.000 metrik ton bantuan, sebagian besar berupa bahan makanan, melalui penyeberangan menuju Gaza.

Namun, ia menegaskan bahwa akses masuk masih sangat terbatas, hanya melalui dua penyeberangan, tanpa jalur langsung dari Israel ke Gaza utara maupun dari Mesir ke Gaza selatan.

Haq juga mengungkapkan bahwa pasokan penting dan personel organisasi kemanusiaan tertentu masih ditolak masuk, sehingga memperlambat operasi bantuan di wilayah yang dilanda krisis tersebut.

“Sebagian besar pengungsi masih tinggal di tempat penampungan sementara yang penuh sesak, banyak di antaranya dibangun di area terbuka atau tidak aman,” kata Haq, menambahkan bahwa produksi pangan lokal saat ini ‘sangat menantang’.

Analisis PBB menunjukkan bahwa hanya 13 persen lahan pertanian di Gaza yang masih utuh, namun sebagian besar tidak dapat diakses karena pengerahan militer Israel.

Selain itu, antara 79 hingga 89 persen rumah kaca, sumur pertanian, dan infrastruktur pertanian telah rusak, sementara hampir 89 persen pohon buah-buahan termasuk kebun zaitun telah hancur atau mati.

Kondisi ini memperburuk krisis kemanusiaan di Jalur Gaza, di mana jutaan warga sipil kini bergantung sepenuhnya pada bantuan internasional untuk bertahan hidup di tengah blokade dan kehancuran akibat agresi militer Israel. (Bahry)

Sumber: TRT

Hamas Serahkan Jenazah Tambahan Tawanan Israel kepada Palang Merah di Gaza

GAZA (jurnalislam.com)– Militer Israel menyatakan bahwa Komite Internasional Palang Merah (ICRC) telah menerima jenazah tambahan seorang tawanan Israel di Jalur Gaza berdasarkan kesepakatan gencatan senjata yang sedang berlangsung.

Sebelumnya, sayap militer Hamas, Brigade Al Qassam, menyampaikan bahwa mereka bersama kelompok Jihad Islam Palestina akan menyerahkan jenazah tersebut pada Jumat malam (7/11/2025), setelah ditemukan di bawah reruntuhan bangunan di Khan Younis, wilayah Gaza selatan.

“Brigade Al-Quds dan Brigade Izzuddin al-Qassam akan menyerahkan jenazah seorang tahanan Israel yang ditemukan hari ini di Khan Younis, Jalur Gaza selatan, pukul 21.00 waktu Gaza” tulis Hamas dalam pernyataan resminya.

Dengan penyerahan ini, Hamas telah menyerahkan 24 jenazah dari total 28 tawanan, di samping 20 tawanan Israel yang telah dibebaskan hidup-hidup sejak gencatan senjata diberlakukan pada 10 Oktober.

Namun, pihak Israel mengklaim bahwa salah satu jenazah yang diterima sebelumnya tidak sesuai dengan daftar resmi tawanan mereka.

Israel mengaitkan dimulainya tahap kedua negosiasi gencatan senjata dengan penyerahan seluruh jenazah tawanan. Sementara Hamas menegaskan bahwa proses tersebut membutuhkan waktu karena kerusakan besar-besaran di Gaza akibat serangan Israel.

Tahap pertama kesepakatan gencatan senjata mencakup pembebasan tawanan Israel dengan imbalan hampir 2.000 tahanan Palestina.

Rencana lanjutan juga mencakup pembangunan kembali Gaza dan pembentukan mekanisme pemerintahan baru tanpa Hamas, sesuai tuntutan Israel dan sekutunya.

Sejak agresi militer dimulai pada Oktober 2023, serangan Israel di Jalur Gaza telah menewaskan hampir 69.000 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak, serta melukai lebih dari 170.600 orang lainnya. (Bahry)

Sumber: TRT

Intelijen AS: Pengacara Militer Israel Akui Ada Bukti Kejahatan Perang di Gaza

WASHINGTON (jurnalislam.com)– Amerika Serikat dilaporkan telah mengumpulkan informasi intelijen bahwa para pengacara militer Israel telah memperingatkan adanya bukti yang dapat mendukung tuduhan kejahatan perang terhadap Israel atas genosida di Jalur Gaza termasuk serangan yang dilakukan menggunakan senjata yang dipasok oleh Amerika.

Lima mantan pejabat AS mengatakan kepada Reuters pada Sabtu (8/11/2025), bahwa intelijen tersebut, yang sebelumnya tidak pernah diungkapkan, disampaikan pada tahun lalu dan digambarkan sebagai salah satu laporan paling mengkhawatirkan yang pernah dibagikan kepada para pembuat kebijakan di Washington.

Informasi itu disebut mengungkap adanya keraguan internal di kalangan militer Israel terhadap legalitas taktik yang mereka gunakan dalam operasi di Gaza.

Dua pejabat AS menyebutkan bahwa laporan tersebut mulai beredar lebih luas di dalam pemerintahan hanya pada minggu-minggu terakhir masa jabatan Presiden Joe Biden, menjelang pengarahan kepada Kongres pada Desember 2024.

Pengungkapan ini meningkatkan kekhawatiran di kalangan pejabat Washington seiring melonjaknya jumlah korban sipil di Gaza. Beberapa di antara mereka menilai bahwa dukungan militer dan politik AS terhadap Israel dapat membuat Washington turut terseret jika kejahatan perang tersebut kelak terbukti.

Informasi itu juga memicu pertemuan Dewan Keamanan Nasional AS, di mana para pejabat memperdebatkan langkah yang seharusnya diambil Washington dalam menanggapi temuan tersebut.

Sesuai hukum AS, apabila terbukti bahwa Israel melakukan kejahatan perang, Washington diwajibkan menghentikan pengiriman senjata dan pembagian informasi intelijen kepada Tel Aviv.

Namun, meskipun terdapat kekhawatiran hukum, para pejabat AS akhirnya menyimpulkan bahwa mereka tidak memiliki bukti langsung bahwa Israel secara sengaja menargetkan warga sipil. Kesimpulan ini menjadi dasar bagi kelanjutan dukungan AS terhadap Israel.

Sejumlah pejabat senior bahkan mengkhawatirkan bahwa penghentian bantuan militer justru dapat membuat kelompok perlawanan Hamas semakin berani dan menggagalkan upaya perundingan gencatan senjata.

Sebelumnya, para pengacara di Departemen Luar Negeri AS juga telah memperingatkan Menteri Luar Negeri Antony Blinken bahwa operasi militer Israel kemungkinan besar melanggar hukum humaniter internasional.

Sebuah laporan dari Washington pada Mei 2024 juga menyebutkan bahwa Israel “mungkin telah melanggar” hukum internasional dalam penggunaan senjata buatan AS, meskipun laporan itu tidak sampai pada kesimpulan resmi.

Israel sendiri membantah tuduhan kejahatan perang di Gaza dan menolak yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional (ICC), yang telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan sejumlah pejabat tinggi Israel lainnya. (Bahry)

Sumber: TRT

Akhiri Perang Saudara di Sudan dengan Tegaknya Institusi Islam

Oleh: Djumriah Lina Johan
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Sudan menjadi topik hangat yang wajib untuk diikuti akhir-akhir ini. Dikutip dari Aljazirah, RSF yang berperang melawan militer Sudan untuk menguasai negara itu, menewaskan sedikitnya 1.500 orang selama tiga hari terakhir, ungkap Jaringan Dokter Sudan pada hari Rabu. Kelompok tersebut, yang memantau perang saudara di Sudan, menggambarkan situasi itu sebagai “genosida yang nyata”.

“Pembantaian yang disaksikan dunia saat ini merupakan perpanjangan dari apa yang terjadi di el-Fasher lebih dari satu setengah tahun lalu, ketika lebih dari 14.000 warga sipil terbunuh akibat pemboman, kelaparan, dan eksekusi di luar hukum,” kata kelompok Jaringan Dokter Sudan.

Serangan dilakukan sebagai bagian dari “kampanye pembunuhan dan pemusnahan yang disengaja dan sistematis”. Pernyataan ini muncul ketika bukti baru pembunuhan massal di wilayah strategis tersebut muncul dari Humanitarian Research Lab (HRL) Yale, yang melaporkan bahwa citra satelit el-Fasher, yang diambil setelah RSF masuk, menunjukkan kumpulan objek yang sesuai dengan ukuran tubuh manusia. Serta area perubahan warna merah yang luas di tanah.

RSF telah terlibat dalam perang saudara berdarah dengan tentara Sudan sejak tahun 2023. Pasukan paramiliter menyerbu el-Fasher, benteng terakhir tentara di Darfur, pada hari Ahad setelah 17 bulan pengepungan.

Analisis

“Seorang pejabat diplomatik pada Kamis kemarin menegaskan bahwa negara-negara Kuartet (AS, Saudi, UEA dan Mesir) akan berkumpul pada hari ini di Washington dengan perwakilan dari Militer Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat untuk mendorong kedua pihak ke gencatan senjata kemanusiaan selama tiga bulan. Ia mengatakan bahwa tujuannya adalah “menekan secara bersatu untuk mengokohkan gencatan senjata dan mengizinkan masuknya bantuan-bantuan kemanusiaan ke warga sipil” (al-‘Arabiya, 24/10/2025).

Ini bermakna bahwa bersamaan waktunya penyerbuan al-Fasyir oleh Pasukan Dukungan Cepat dan pengosongan Militer Sudan dari kota tersebut dengan pertemuan di Washington menunjukkan bahwa keputusan penyerahan kota strategis tersebut kepada Pasukan Dukungan Cepat telah diambil di Washington dan kedua belah pihak Sudan segera melaksanakannya.

Al-‘Arabiya pada 12/9/2025 mengutip dari pernyataan yang keluar dari pertemuan itu: “Dinyatakan di dalam pernyataan bersama: “dengan undangan dari Amerika Serikat, para menteri luar negeri Amerika Serikat, Mesir, Saudi dan UEA menggelar konsultasi mendalam mengenai konflik di Sudan, mengingat bahwa konflik tersebut telah menyebabkan krisis kemanusiaan terburuk di dunia dan menimbulkan risiko serius bagi perdamaian dan keamanan regional. Para menteri menegaskan komitmen mereka terhadap seperangkat prinsip bersama untuk mengakhiri konflik di Sudan”.

Poin keempat pernyataan tersebut menyatakan: “Masa depan pemerintahan di Sudan akan ditentukan oleh rakyat Sudan melalui proses transisi yang inklusif dan transparan yang tidak tunduk kepada kendali pihak yang bertikai”.

Salah satu poin pernyataan tersebut juga menyatakan: “Segala upaya akan dilakukan untuk mendukung penyelesaian konflik melalui negosiasi dengan partisipasi efektif Angkatan Bersenjata Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat”.

Dari teks pernyataan di atas menunjukkan pengakuan kepada kedua pihak yang bertikai di Sudan dan secara setara dan meminta keduanya untuk berpartisipasi. Artinya bahwa pernyataan tersebut tidak menunjuk kepada Pasukan Dukungan Cepat dengan sifatnya sebagai pasukan separatis dan pemberontak dan tidak menyerunya untuk menghentikan pemberontakannya secara khusus dan bahwa ia membentuk pemerintahan separatis untuk memecah belah Sudan. Hal itu berarti pengakuan Amerika atas kontrol Pasukan Dukungan Cepat dan eksistensi legalnya di wilayah Darfur dan kota terpentingnya, al-Fasyir.

Langkah selanjutnya dari rencana Amerika untuk Sudan, yaitu gencatan senjata, yang berarti menutup jalan sepenuhnya bagi Militer Sudan untuk merebut kembali al-Fasyir dan membuat kontrol Hamidati atas wilayah tersebut menjadi stabil dan tidak terganggu oleh bentrokan apa pun.

Amerika dengan hampir jelas dan tegas, melanjutkan rencananya dan mempercepat langkahnya untuk memecah belah Sudan dan memisahkan wilayah Darfur dari Sudan, sebagaimana sebelumnya telah memisahkan wilayah selatan Sudan.

Sungguh termasuk hal yang menyakitkan, Amerika kafir penjajah mampu mengatur perang yang menewaskan ribuan orang di Sudan dan menggunakan agen-agennya untuk menjalankan hal itu secara terbuka bukan secara rahasia, terangan-terangan bukan tersembunyi.

Al-Burhan dan Hamidati bertarung menggunakan darah warga Sudan bukan untuk apa-apa kecuali untuk melayani kepentingan-kepentingan Amerika yang mana Amerika ingin mengulangi pembagian Sudan seperti yang telah dilakukannya pada pemisahan Sudan selatan dari Sudan. Dan Amerika kafir penjajah sekarang mengerahkan segenap usaha dalam memisahkan Darfur dari Sudan yang masih tersisa.

Upaya yang dilakukan oleh Amerika di atas tidak terlepas dari Sudan yang memiliki signifikansi geopolitik yang sangat besar. Yakni, dibentuk oleh daratannya yang luas, sumber daya alam yang melimpah, dan lokasi di jantung beberapa jalur perdagangan dan politik paling vital di dunia.

Posisi geografis Sudan merupakan salah satu aset strategis terbesarnya. Yaitu, terletak di timur laut Afrika, Sudan berbatasan dengan tujuh negara, yakni Mesir, Libya, Chad, Republik Afrika Tengah, Sudan Selatan, Etiopia, dan Eritrea. Hal ini menjadikannya penghubung utama antara Afrika Utara, wilayah Sahel, dan Afrika Sub-Sahara.

Sudan juga memiliki garis pantai yang signifikan di sepanjang Laut Merah, tepat di seberang Jazirah Arab dan dekat Selat Bab al-Mandeb, salah satu titik kunci maritim paling penting di dunia.

Selat Bab al-Mandeb menghubungkan Laut Merah dengan Teluk Aden dan Laut Arab, menjadikannya koridor vital bagi perdagangan internasional dan pengiriman minyak. Hampir 10% minyak dunia yang diangkut melalui laut melewati jalur sempit ini.

Kedekatan Sudan dengan jalur air ini menjadikannya sebagai lokasi yang strategis dan diinginkan bagi kekuatan-kekuatan global yang ingin menguasai rute laut dan logistik angkatan laut. Kendali atau aliansi dengan Sudan dapat memberikan pengaruh yang signifikan dalam mengelola keamanan Laut Merah dan arus perdagangan antara Asia, Eropa, dan Afrika.

Tidak hanya itu, Sudan kaya akan sumber daya alam (SDA) yang secara signifikan meningkatkan nilai geopolitiknya. Negara ini merupakan salah satu penghasil emas terbesar di Afrika dan kekayaan mineralnya meliputi kromium, mangan, seng, bijih besi, dan uranium.

Dengan demikian, wajarlah bila Amerika sebagai negara adidaya sangat bernafsu ingin menguasai Sudan melalui agen dan antek-anteknya. Dengan watak kapitalisme-nya, Amerika siap mengerahkan segala kekuatan dan dominasinya serta tentu dengan menghalalkan segala cara. Sebagaimana yang selalu ia lakukan, baik di Irak, Afghanistan, Palestina, maupun negara kaum muslimin lainnya.

Solusi Tuntas

Genosida di Darfur membuktikan bahwa sejak diruntuhkannya Khilafah Islam pada 1924, umat Islam terpecah belah menjadi lebih dari 50 negara dan terus menjadi objek kekejaman. Solusi terbaik dan paripurna adalah menegakkan persatuan dan kepemimpinan global di bawah naungan Khilafah.

Khilafah bukan sekadar sistem politik, tapi perisai umat. Dengan khilafah, darah kaum Muslim dilindungi, kehormatan dan harta dijaga, serta hukum Allah ditegakkan secara sempurna.

Sebaliknya tanpa khilafah, negeri-negeri Islam hanyalah seperti tubuh tanpa kepala, seperti hidangan yang diperebutkan oleh kaum yang tamak dan rakus. Tanpa khilafah, umat Islam terus terombang-ambing bagaikan buih di lautan.

Rasulullah Shalallahu alaihi wa Sallam bersabda dalam riwayat Ibnu Majah, “…. Jika para pemimpin mereka tidak memerintah berdasarkan Kitab Allah dan tidak mencari kebaikan dari apa yang diturunkan Allah, niscaya Allah akan menjadikan mereka berperang satu sama lain.” Wallahu a’lam bish shawab.

Digitalisasi Tanpa Landasan Syariah, Bumerang Bagi Umat

Oleh: Devi Ramaddani
Aktivis Muslimah

Maraknya modus penipuan berkedok aktivasi Identitas Kependudukan Digital (IKD) di Kalimantan Timur menjadi peringatan serius bagi masyarakat. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kaltim bahkan telah mengingatkan warga agar lebih waspada, sebab kasus serupa dilaporkan di berbagai daerah dengan pola yang sama. Fenomena ini menandakan bahwa di balik kemudahan digitalisasi, tersembunyi ancaman besar berupa kejahatan siber yang menyasar data dan identitas masyarakat. (Tribunkaltim, 31 Oktober 2025).

Di tengah era digitalisasi saat ini, tidak bisa dipungkiri bahwa teknologi membawa banyak manfaat dan kemudahan dalam kehidupan manusia. Segala urusan menjadi cepat dan efisien. Namun, ketika teknologi tidak dibangun di atas pijakan nilai yang sahih, ia dapat berubah menjadi alat kejahatan. Akibatnya, keberadaan teknologi yang seharusnya memberi manfaat justru membawa mudarat. Dunia maya kini menjadi ladang baru bagi penipuan, pencurian data, hingga penyalahgunaan informasi pribadi.

Kian maraknya kejahatan digital tidak bisa dilepaskan dari pengaruh sistem kehidupan sekuler kapitalistik. Sekularisme menyingkirkan peran agama dari kehidupan, menjadikan manusia berorientasi hanya pada materi. Akibatnya, ukuran kebahagiaan adalah kepuasan jasmani, bukan ketenangan batin. Dari pola pikir inilah lahir manusia-manusia materialistis yang rela melakukan apa saja demi memperoleh harta, meskipun harus menipu atau merugikan orang lain.

Masyarakat sekuler kapitalistik menumbuhkan mental “asal untung” tanpa peduli halal-haram. Mereka menghalalkan segala cara demi mendapatkan uang, termasuk mencuri data atau menipu lewat aplikasi digital. Kejahatan dunia maya yang kini makin masif adalah buah dari sistem yang rusak sistem yang meniadakan pengawasan Allah, menuhankan materi, dan memisahkan nilai agama dari aktivitas manusia.

Termasuk kasus kebocoran data pribadi yang mudah diretas menunjukkan lemahnya sistem perlindungan negara. Di satu sisi, pemerintah mendorong digitalisasi agar pelayanan publik lebih cepat dan mudah. Namun di sisi lain, negara gagal menjaga keamanan data rakyatnya. Akibatnya, justru masyarakat yang menjadi korban, sementara pelaku kejahatan terus berkembang di ruang digital tanpa pengawasan yang memadai.

Dalam pandangan Islam, data pribadi dan hal-hal yang bersifat privat wajib dilindungi oleh negara. Ini termasuk dalam kategori amanah yang tidak boleh disia-siakan. Negara Islam memiliki tanggung jawab untuk menjamin keamanan data, baik di dunia nyata maupun di ranah elektronik. Islam melarang keras segala bentuk pencurian atau penyalahgunaan data karena termasuk tindakan zhulm (kezaliman) yang mengancam kehormatan manusia.

Jika Islam dijadikan panduan dalam pengelolaan teknologi, maka keberadaannya akan membawa keberkahan dan kemaslahatan. Teknologi tidak hanya mempermudah urusan umat, tetapi juga menjadi sarana untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran, memperkuat dakwah, dan menunjang kemajuan peradaban. Islam menjadikan teknologi sebagai alat bantu dalam pelayanan umat dan pengembangan ilmu, bukan sebagai alat eksploitasi.

Keamanan dan keberkahan dalam dunia digital hanya bisa terwujud dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh. Dalam Islam, penjagaan umat dilakukan melalui tiga pilar utama yaitu individu yang bertakwa dan takut melanggar syariat, negara yang menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum Allah, serta masyarakat yang saling menasihati dalam kebaikan. Ketiganya membentuk sistem yang saling menopang untuk mewujudkan keamanan, keadilan, dan kejujuran, termasuk di dunia maya.

Oleh karena itu, maraknya penipuan dan kebocoran data bukan sekadar akibat lemahnya literasi digital, melainkan akibat dari sistem sekuler kapitalisme yang rapuh dan tidak berpijak pada nilai Ilahi. Selama sistem ini masih menjadi dasar kehidupan, teknologi akan terus menjadi pedang bermata dua tampak canggih di luar, namun melukai dari dalam. Hanya dengan kembali kepada Islam sebagai panduan hidup, umat akan mampu menjadikan teknologi sebagai sarana kemaslahatan dan kebangkitan peradaban yang benar-benar menebar rahmat bagi seluruh manusia. Wallahu a’lam

PBB: Satu Juta Warga Gaza Terima Bantuan Makanan, Akses Bantuan Masih Dibatasi Israel

GAZA (jurnalislam.com)– Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Selasa (4/11) menyatakan telah mendistribusikan paket makanan kepada sekitar satu juta warga Gaza sejak gencatan senjata diberlakukan, namun memperingatkan bahwa lembaga-lembaga kemanusiaan masih berlomba menyelamatkan nyawa di tengah pembatasan akses yang diberlakukan Israel.

Program Pangan Dunia (WFP) PBB mengatakan operasi mereka masih sangat terhambat oleh penutupan berkelanjutan Israel terhadap penyeberangan di wilayah utara Gaza, di mana jutaan warga terancam kelaparan.

“Tiga setengah minggu setelah gencatan senjata, kami telah menjangkau sekitar satu juta orang di seluruh Gaza,” kata Abeer Etefa, juru bicara WFP untuk Timur Tengah, dalam konferensi pers dari Kairo.

“Itu bagian dari operasi besar untuk mengatasi kelaparan di Gaza. Tetapi kami membutuhkan lebih banyak akses lebih banyak penyeberangan perbatasan yang dibuka dan izin melintasi jalan-jalan utama di dalam Jalur Gaza,” ujarnya.

Gencatan senjata yang ditengahi oleh Amerika Serikat antara Israel dan Hamas sejak 10 Oktober telah memungkinkan pengiriman bantuan kemanusiaan dalam jumlah terbatas. Namun, kelompok-kelompok bantuan internasional menilai volume bantuan tersebut masih jauh di bawah kebutuhan sebenarnya.

𝗧𝗶𝘁𝗶𝗸 𝗗𝗶𝘀𝘁𝗿𝗶𝗯𝘂𝘀𝗶 𝗠𝗮𝘀𝗶𝗵 𝗧𝗲𝗿𝗯𝗮𝘁𝗮𝘀

Etefa menjelaskan, WFP menargetkan 1,6 juta warga Gaza dengan paket bantuan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan satu keluarga selama sepuluh hari. Hingga kini, baru 44 dari 145 titik distribusi yang direncanakan berhasil dibuka. WFP juga menyediakan roti segar setiap hari bagi 700.000 orang melalui 17 toko roti di berbagai wilayah Gaza.

Meski terdapat sedikit kemajuan, konsumsi pangan warga Gaza disebut masih “jauh di bawah tingkat sebelum perang.” Sebagian besar keluarga hanya bisa bertahan hidup dengan sereal dan kacang-kacangan, sementara daging, telur, dan sayuran hampir tidak tersedia.

Situasi diperparah dengan melonjaknya harga bahan pangan.

“Sekarang harga satu apel setara dengan satu kilogram apel sebelum perang,” kata juru bicara WFP lainnya, Nour Hammad.

WFP menegaskan bahwa mereka baru mampu memenuhi sekitar separuh kebutuhan pangan di Gaza. Truk-truk bantuan hanya dapat masuk melalui penyeberangan Karem Abu Salem dan Kissufim, yang menjadi titik kemacetan dan menghambat distribusi ke wilayah utara yang paling terdampak.

“Kami belum menerima penjelasan mengapa penyeberangan di utara masih ditutup,” ujar Etefa.

“Kebutuhannya sangat mendesak. Kami benar-benar sedang berlomba untuk menyelamatkan nyawa.” pungkasnya. (Bahry)

Sumber: TRT

Menhan Sudan Tolak Usulan Gencatan Senjata AS, Tegaskan Perang Lawan RSF Akan Dilanjutkan

KHARTUM (jurnalislam.com)– Menteri Pertahanan Sudan, Hassan Kabroun, menegaskan bahwa militer Sudan akan terus memerangi Pasukan Dukungan Cepat (RSF) meskipun Amerika Serikat mengajukan proposal gencatan senjata baru. Pernyataan itu disampaikan pada Selasa (4/11), setelah Dewan Keamanan dan Pertahanan Sudan menggelar pertemuan di Khartum.

“Kami berterima kasih kepada pemerintahan Trump atas upaya dan proposalnya untuk mencapai perdamaian,” kata Kabroun dalam pidato yang disiarkan televisi pemerintah.
Namun ia menegaskan, “Persiapan kami untuk perang adalah hak nasional yang sah. Rakyat Sudan sedang mempersiapkan pertempuran untuk membela negaranya.”

Pemerintah Sudan belum mengungkapkan rincian proposal gencatan senjata dari AS.

Perang antara militer dan RSF telah menewaskan puluhan ribu orang dan membuat jutaan warga mengungsi selama dua tahun terakhir. Dalam beberapa hari terakhir, konflik semakin meluas ke wilayah-wilayah baru, meningkatkan kekhawatiran akan bencana kemanusiaan yang lebih besar.

𝗔𝗦 𝗱𝗮𝗻 𝗦𝗲𝗸𝘂𝘁𝘂𝗻𝘆𝗮 𝗗𝗼𝗿𝗼𝗻𝗴 𝗚𝗲𝗻𝗰𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗦𝗲𝗻𝗷𝗮𝘁𝗮

Pemerintahan Donald Trump kini berupaya menengahi konflik Sudan setelah sebelumnya terlibat dalam diplomasi di Afrika dan Timur Tengah. Namun, otoritas yang berafiliasi dengan militer Sudan menolak proposal gencatan senjata sebelumnya karena menganggapnya mengecualikan militer dan RSF dari proses politik transisi.

Diskusi terbaru ini muncul setelah RSF merebut kota strategis Al-Fasher, benteng terakhir tentara di wilayah Darfur.
Paramiliter pimpinan Hamdan Daglo (Hemeti) kini dilaporkan tengah mempersiapkan serangan ke wilayah Kordofan di bagian tengah Sudan.

Para pengungsi dari Al-Fasher menggambarkan kekejaman yang dilakukan oleh RSF.
Seorang warga, Mohamed Abdullah (56), mengatakan kepada AFP bahwa ia dan keluarganya dihadang RSF saat melarikan diri dari kota tersebut.

“Mereka meminta ponsel, uang, dan semua barang kami. Mereka menggeledah kami dengan brutal,” ujarnya.

Abdullah juga menyebut melihat “sesosok mayat di jalan yang tampak dimakan anjing” dalam perjalanan menuju Tawila, sekitar 70 kilometer dari Al-Fasher.

𝗟𝗶𝗴𝗮 𝗔𝗿𝗮𝗯 𝗱𝗮𝗻 𝗣𝗕𝗕 𝗦𝗲𝗿𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗻𝗴𝗵𝗲𝗻𝘁𝗶𝗮𝗻 𝗞𝗲𝗸𝗲𝗿𝗮𝘀𝗮𝗻

Utusan khusus Presiden Trump untuk Afrika, Massad Boulos, mengadakan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Mesir Badr Abdelatty dan pejabat Liga Arab di Kairo. Dalam pertemuan itu, Abdelatty menekankan pentingnya “upaya bersama untuk mewujudkan gencatan senjata kemanusiaan dan membuka jalan bagi proses politik yang komprehensif.”

Liga Arab menyebut Boulos telah melaporkan kepada Sekjen Ahmed Aboul-Gheit tentang upaya diplomasi AS untuk menghentikan perang, mempercepat bantuan kemanusiaan, dan memulai proses politik.

Sebelumnya, kelompok Quad yang terdiri dari AS, Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), dan Arab Saudi telah menawarkan gencatan senjata tiga bulan pada September lalu, disusul rencana transisi sembilan bulan menuju pemerintahan sipil. Namun, rencana itu ditolak oleh pihak militer Sudan.

𝗗𝘂𝗴𝗮𝗮𝗻 𝗞𝗲𝗷𝗮𝗵𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶 𝗔𝗹-𝗙𝗮𝘀𝗵𝗲𝗿

Sejak jatuhnya Al-Fasher ke tangan RSF, berbagai laporan muncul tentang pembunuhan massal, kekerasan seksual, penjarahan, dan penculikan.

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada Senin (3/11) menyampaikan “keprihatinan mendalam” atas laporan tersebut dan menyebut tindakan itu dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, dalam forum di Qatar, menyerukan kepada kedua pihak untuk segera “mengakhiri mimpi buruk kekerasan ini.”

“Krisis mengerikan di Sudan semakin di luar kendali,” ujar Guterres.

Di ibu kota Khartum, yang berada di bawah kendali militer Sudan, ratusan warga menggelar aksi protes pada Senin (3/11) menentang kekejaman RSF. Sejumlah anak-anak terlihat membawa spanduk bertuliskan:
“Jangan bunuh anak-anak, jangan bunuh perempuan.”

Spanduk lain berbunyi: “Milisi membunuh perempuan Al-Fasher tanpa ampun.”

UEA sebelumnya dituduh oleh PBB memasok senjata kepada RSF, tuduhan yang berulang kali dibantah.
Sementara itu, militer Sudan diketahui mendapat dukungan dari Mesir, Arab Saudi, Turki, dan Iran, menurut para pengamat.

Kejatuhan Al-Fasher menandai dominasi penuh RSF atas lima ibu kota wilayah Darfur, memperkuat kekhawatiran bahwa Sudan kini terbelah dua secara de facto:
RSF menguasai Darfur dan bagian selatan, sementara tentara mengendalikan wilayah utara, timur, dan tengah di sepanjang Sungai Nil serta Laut Merah. (Bahry)

Sumber: TNA

RSF Serang Rumah Sakit Anak di Darfur Utara, Tujuh Orang Tewas

SUDAN (jurnalislam.com)– Pasukan Dukungan Cepat (RSF) menyerang sebuah rumah sakit anak di kota Karnoi, Darfur Utara, pada Senin (3/11), di tengah meningkatnya pertempuran antara kelompok paramiliter tersebut dan angkatan bersenjata Sudan.

Menurut Jaringan Dokter Sudan, sedikitnya tujuh orang tewas dalam serangan itu, sementara rumah sakit mengalami kerusakan parah. Korban tewas dilaporkan merupakan perempuan dan anak-anak, berdasarkan keterangan saksi mata serta laporan jaringan tersebut.

Sebuah video yang disiarkan oleh Al Jazeera memperlihatkan darah berceceran di lantai rumah sakit, dinding berlubang akibat peluru, dan peralatan medis yang hancur. Sedikitnya lima orang terluka, termasuk dua anak yang tengah dirawat saat serangan terjadi.

Dalam pernyataan resminya, Jaringan Dokter Sudan mengecam tindakan itu sebagai kejahatan perang, menyebutnya sebagai “teror sistematis dan serangan brutal terhadap kehidupan itu sendiri.”

“Apa yang terjadi di Karnoi adalah kejahatan perang yang menggambarkan luasnya pembunuhan terhadap warga sipil tak berdosa yang kini menjadi sasaran tembak harian RSF,” tegas jaringan tersebut.

RSF juga dilaporkan menyerang wilayah Al-Tina dekat Karnoi, yang saat ini berada di bawah kendali tentara Sudan.

Pasukan paramiliter pimpinan Hamdan Daglo (Hemeti) kini menguasai sebagian besar wilayah selatan dan tengah Sudan, termasuk Al-Fasher, Nyala, Al Geneina, Ad Daein, dan Zalingei lima ibu kota provinsi di kawasan Darfur.

Konflik di Sudan meletus sejak April 2023 akibat perebutan kekuasaan antara Daglo dan panglima militer Sudan, Abdul Fattah al-Burhan. Sejak itu, berbagai laporan menunjukkan maraknya kejahatan perang, kekerasan seksual, kelaparan, dan krisis kemanusiaan di berbagai wilayah.

𝗣𝗲𝗿𝘁𝗲𝗺𝗽𝘂𝗿𝗮𝗻 𝗠𝗲𝗹𝘂𝗮𝘀 𝗸𝗲 𝗞𝗼𝗿𝗱𝗼𝗳𝗮𝗻

Pertempuran terbaru juga terjadi di wilayah Kordofan, termasuk kota Al-Obeid, ibu kota negara bagian Kordofan Utara. Sedikitnya 40 warga sipil tewas dalam serangan RSF di Al-Luweib, sebelah timur Al-Obeid, pada hari yang sama.

Menurut media Al-Araby Al-Jadeed (The New Arab), RSF mengerahkan tambahan pasukan dari Darfur untuk memperkuat serangan ke Al-Obeid dan sekitarnya. Kota Bara, yang berjarak 30 km di utara Al-Obeid, juga dilaporkan dalam kepungan.

Wartawan Majed Ali mengatakan kepada Al-Araby Al-Jadeed bahwa RSF berupaya memperluas pijakan di Kordofan guna menciptakan “zona penyangga terhadap Darfur” yang kini dikuasai penuh oleh mereka setelah merebut Al-Fasher pekan lalu.

Namun, ia menilai Al-Obeid akan sulit direbut karena di kota itu terdapat pangkalan militer besar serta markas Divisi Infanteri ke-5 milik tentara Sudan.

𝗣𝗕𝗕 𝗡𝘆𝗮𝘁𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗗𝗮𝗿𝘂𝗿𝗮𝘁 𝗞𝗲𝗹𝗮𝗽𝗮𝗿𝗮𝗻

Sementara itu, PBB pada Senin (3/11) menyatakan darurat kelaparan di Al-Fasher (Darfur Utara) dan Kadugli (Kordofan Selatan).

Laporan Klasifikasi Fase Keamanan Pangan Terpadu (IPC) menyebutkan bahwa kelaparan kemungkinan berlanjut hingga Januari 2026 akibat blokade, pertempuran sengit, dan terhambatnya akses bantuan kemanusiaan.

Sedikitnya 21,2 juta warga Sudan, atau sekitar 45 persen populasi, kini mengalami kerawanan pangan akut akibat kenaikan harga bahan pokok, konflik, dan pengungsian massal. (Bahry)

Sumber: TNA