Prabowo-Sandi Kunjungi PP Muhammadiyah

JAKARTA (Jurnalislam.com) – Pasangan capres dan cawapres Prawobo Subianto dan Sandiaga Uno silaturahim ke Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Senin (13/8/2018). Kunjungan diterima langsung oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir di Gedung Dakwah PP Muhammadiyah, , Menteng, Jakarta Pusat.

“Capres dan cawapres terpilih adalah pemegang mandat rakyat,” kata Haedar Nasir.

Ia menjelaskan, pemimpin itu wajib melindungi seluruh tanah air Indonesia untuk sebesar-besarnya dipergunakan bagi hajat hidup rakyat. Maka betapa berat kewajiban dan tugas konstitusional yang harus ditunaikan oleh para pemimpin rakyat itu.

Dalam kesempatan itu, Haedar berpesan kepada calon Presiden dan Wakil Presiden untuk dapat memelihara keadaban, kebersamaan, kedamaian, toleransi, kebajikan, dan keutamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Kontestasi politik tidak perlu menjadi penyebab dan membawa pada situasi keretakkan, konflik, dan permusuhan antar komponen bangsa. Semua dituntut berkomitmen menjaga politik dari berbagai penyimpangan dan transaksi yang menyebabkan kerugian besar bagi kehidupan bangsa dan negara,” tuturnya.

Selain itu, Haedar juga menyampaikan bahwa kontestasi politik tidak hanya untuk meraih kekuasaan. Tetapi, kata dia, yang lebih penting adalah berkomitmen dan berusaha dengan sungguh-sungguh dalam mewujudkan idealisme, nilai dasar, dan cita-cita nasional yang luhur sebagaimana telah diletakkan oleh para pendiri bangsa.

“Inilah yang penting menjadi komitmen dan visi kenegaraaan para pemimpin, elite, dan segenap komponen bangsa saat ini dan ke depan. Pertaruhan politik kebangsaan itu meniscayakan konsistensi pada integritas, etika, kehormatan, pemenuhan janji, serta kata sejalan tindakan,” pungkasnya.

Sementara itu, Prabowo menuturkan, Muhammadiyah adalah organisasi kemasyarakatan yang telah memainkan peranan penting dalam perjuangan membangun Republik ini.

“Muhammadiyah sebagai organisasi yang ikut mendirikan Republik ini termasuk tokohnya KH Ahmad Dahlan, Kahar Muzakir, dan Ki Bagus Hadikusumo telah berkontribusi pada perjuangan bangsa ini sebelum dan sesudah kemerdekaan,” ungkapnya.

Prabowo juga mengapresiasi sambutan PP Muhammadiyah dalam silaturahim tersebut.

“PP Muhammadiyah menyambut kunjungan ini sebagai bagian dari tradisi dan dinamika silaturahim,” ujar Prabowo.

Reporter: Gio

Ansharusyariah Salurkan Bantuan Untuk Korban Gempa Lombok Utara

Lombok (Jurnalislam.com) – Jamaah Ansharusy Syariah menyalurkan bantuan untuk korban gempa di Lombok Utara. Bantuan disalurkan di Desa Rempek Darussalam, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara pada Senin (13/8/2018).

Amir Jamaah Ansharusy Syariah Wilayah Nusa Tenggara, Ustadz Muhammad Taqiyuddin mengatakan bantuan ini adalah hasil dari penggalangan dana yang dilakukan di wilayah Nusa Tenggara.

“Sebagai sebuah jamaah yang selalu peduli terhadap penderitaan yang dialami oleh saudara sesama muslim, kami merasa terpanggil untuk ikut membantu mereka,” katanya.

Salah satu bangunan yang ambruk akibat gempa di Lombok Utara. FOTO: Sirath

Penyerahan bantuan ini adalah yang kesekiankalinya dari Jamaah Ansharusy Syariah yang telah hadir di Lombok sejak gempa pertama pada 29 Juli lalu.

“Ketika terjadinya gempa kami langsung turun ke lokasi di Kabupaten Lombok Utara, setelah kami melakukan pendataan terhadap jumlah korban, kami langsung menyampaikan bantuan tahap awal berupa makanan kepada para pengungsi,” papar Ustadz Taqiyuddin.

Ia menjelaskan, bantuan masih sangat diperlukan melihat kebutuhan masyarakat korban gempa yang masih belum kembali beraktifitas karena trauma gempa.

Selain di Lombok, Jamaah Ansharusy Syariah juga mendirikan posko pengungsian di Pariwisata, Kelurahan Cakra, Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Reporter: Sirath

KPAI Desak Dinas Pendidikan Daerah buat Program Sekolah Ramah Anak

JAKARTA (Jurnalislam.com) – Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti mendesak Dinas Pendidikan di berbagai daerah untuk segera melaksanakan program Sekolah Ramah Anak (SRA). SRA adalah program dimana pihak sekolah tidak mengedepankan hukuman dalam pembinaan terhadap siswanya.

“Tidak ada lagi guru menghukum siswa tapi mengutamakan pemberian penghargaan pada siswa yang melakukan perbuatan positif dan menerapkan disiplin positif dalam menangani siswa bermasalah,” kata dalam siaran pers di kantornya, Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (13/8/2018).

Ilustrasi Sekolah Ramah Anak

Retno pun mendorong Kemdikbud dan Kemenag untuk menjalankan program peningkatan kapasitas guru dalam pelaksanaan manajemen pengelolaan kelas. Menurutnya, hal tersebut sangat diperlukan untuk menghindari guru melakukan tindak kekerasan terhadap siswa.

“Agar kasus yang di Purwokerto berupa penamparan yang dilakukan guru inisial LK terhadap siswa inisial L tidak terulang,” pungkasnya.

Selain itu, KPAI meminta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) untuk bersinergi dengan lembaga terkait agar program SRA yang sempat mandeg sampai 2 tahun segera terlaksana.\

Reporter: Gio

KPAI Catat 33 Kasus Kekerasan Pada Siswa Selama April-Juli

JAKARTA (Jurnalislam.com) – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan menyampaikan, kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah dengan dalih kedisiplinan masih terjadi. KPAI mencatat sebanyak 33 kasus terjadi selama April-Juli 2018.

“Selama April-Juli 2018, KPAI melakukan penanganan dan pengawasan kasus pelanggaran hak anak sebanyak 33 kasus,” kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti di kantornya, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (13/8/2018).

Hal tersebut, kata Retno, berdampak buruk terhadap tumbuh kembang anak karena menimbulkan trauma, cedera fisik hingga kematian.

Retno menjelaskan, dari 33 kasus yang ditangani KPAI, tertinggi adalah anak korban kekerasan/bully sebanyak 13 kasus (39%). Kemudian, diikuti kasus anak korban kebijakan sebanyak 10 kasus (30,30%), anak putus sekolah dan dikeluarkan dari sekolah sejumlah 5 kasus (15%), pungli di sekolah sebanyak 2 kasus (6,60%), tidak boleh ikut ujian sejumlah 2 kasus ( 6,60%), dan penyegelan sekolah sebanyak 1 kasus (3,30%).

Retno menjelaskan, sebagian guru beranggapan bahwa siswa hanya dapat didisiplinkan dengan hukuman kekerasan, ketimbang melakukan disiplin positif serta pemberian penghargaan kepada peserta didik.

KPAI mengungkapkan, di daerah Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumut, seorang siswa kelas 4 SD dihukum gurunya dengan menjilat WC karena lupa melaksanakan tugas untuk membawa kompos.

“Hukuman jilat WC diperintahkan sebanyak 12 kali, namun baru jilatan keempat siswa mengalami muntah. Hukuman ini tentu saja menimbulkan trauma bagi korban,” pungkasnya.

Lebih lanjut, KPAI juga mencatat ada kasus kematian siswa di lembaga pendidikan baik level sekolah daerah maupun nasional yang berpotensi melanggar hak anak-anak.

Reporter: Gio

Pemerintah Tetapkan Idul Adha 1439 Hijriyah pada 22 Agustus 2018

JAKARTA (Jurnalislam.com) – Kementerian Agama (Kemenag) menetapkan Hari Raya Idul Adha 1439 Hijriyah jatuh pada tanggal 22 Agustus mendatang. Keputusan ini berdasarkan hasil sidang isbat penetapan 1 Dzulhijah 1439 Hijriyah di Kantor Kemenag Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Sabtu (11/8/2018).
Dalam sidang yang dipimpin langsung oleh Dirjen Bimas Islam Kemenag, Muhammad Amin tersebut disepakati bahwa tanggal 1 Dzulhijah 1439 Hijriyah jatuh pada hari Senin (13/8/2018). Dengan demikian, Hari Raya Qurban jatuh pada 22 Agustus.
“Maka malam 1 Dzulhijah jatuh pada hari Senin tanggal 13 Agustus 2018. Maka tanggal 10 Dzulhijah atau Hari Raya Idul Adha jatuh pada 22 Agustus 2018,” kata Amin dilansir Jawapos.com

Penetapan itu berdasarkan dua mekanisme yang diterapkan oleh Kemenag, yaitu dengan cara hisab, dan ruqyatul hilal atau penglihatan hilal dari sejumlah titik pemantauan.

Kemenag melakukan ruqyatul hilal di 92 titik yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari laporan 29 pelaku ruqyatul hilal, tak satupun yang melihat hilal. Sehingga bulan Dzulqaidah digenapkan menjadi 30 hari.

“Atas dua hal itu dari perhitungan hisab dan ruqyatul hilal yang tidak terlihat, sebagaimana yang kita pedomani dari fatwa MUI, kita putuskan bulan Zulkaidah 1439 Hijriyah kita sempurnakan dengan cara ijtima menjadi 30 hari,” jelasnya.

Lebih jauh Amin berharap keputusan ini menjadi berkah bagi seluruh umat Islam di Indonesia. Tak lupa Kemenag atas nama pemerintah mengucapkan selamat hari raya Idul Qurban bagi seluruh umat muslim.

“Mudah-mudahan keputusan ini memberi berkah pada kita semua. Atas nama pemerintah khususnya untuk umat Islam selamat memasuki bulan Dzulhijah, selamat merayakan hari raya Idul Adha,” tutup Amin.

Merindu Pemimpin Seperti M Natsir

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa
Suka tak suka perhatian kita saat ini terus dibombardir oleh satu topik: bursa penentuan Calon Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Bukan saja dalam setiap pemberitaan media, tetapi isu ini menggelayuti linimasa media sosial kita.
Apapun dinamika yang terjadi kenyataannya telah terbaca. Tak mudah bagi calon presiden yang ada (Prabowo Subianto) untuk menerima rekomendasi yang telah diperas oleh para ulama dari Ijtima Ulama tempo hari. Tak perlu dipungkiri, hasil rekomendasi Ijtima ulama masih dipandang politisi sejajar dengan faktor-faktor lainnya.
Rekomendasi ulama bukan dianggap satu keputusan yang harus ditaati. Tetapi masih sekedar pertimbangan-pertimbangan untung rugi politik belaka. Para politisi belum melihat Ulama sebagai satu pengarah umat yang signifikan. Lebih mengenaskan masih ada politisi yang mungkin melihat ulama sekedar mesin pendulang suara.
Setidaknya sejak era reformasi umat kerap menitipkan cita dan harapannya kepada perahu-perahu politisi sekular. Atau minimal tak berideologi Islam. Tak pelak situasi semacam ini menyiratkan bahwa Islam tak lagi dipandang sebagai satu sistem perikehidupan -yang bukan saja diridhai oleh Allah- tetapi juga mampu menyelesaikan berbagai persoalan.
Ijtima Ulama dan Tokoh Nasional GNPF Ulama
Maka kejadian semacam ini seharusnya dilihat bukan sebagai sumber masalah, tetapi sebenarnya adalah gejala dari sebuah persoalan yang lebih besar, yaitu betapa mendominasinya sekularisme di Indonesia. Para figur (calon) pemimpin masih berparadigma memisahkan agama dengan negara. Menganggap Islam bukanlah solusi persoalan yang ada. Begitu pula masyarakatnya. Betapa banyak yang belum merasa perlu memilih solusi berdasarkan Islam.
Kita akhirnya terjebak dalam lingkaran setan. Calon pemimpin yang dititipkan cita Islam melihat aspirasi umat dan ulama bukanlah sebagai pondasi berpijak melainkan pertimbangan elektoral belaka. Masyarakat pemilih pun demikian. Figur yang tidak ideologis dianggap dapat memberi jalan keluar dari masalah yang membeli mereka.
Cukuplah figur tersebut didandani, dicocok-cocokkan, dipantas-pantaskan dengan simbol-simbol Islam belaka. Cukup dilabeli ‘keturunan ulama,’ berasal dari kelompok tertentu atau diberi label dekat dengan kelompok Islam, sudah terpuaskan dahaga masyarakat. Kita sepertinya cukup puas dibuai dongeng-dongeng semacam, si fulan seperti Umar bin Khattab; yang bermasa lalu kelam kemudian menemukan jalan Islam.

Gelar-gelar tempelan semacam “Umar abad ini”, atau “Natsir baru” sudah cukup untuk menutup mata kita. Modus semacam inilah yang akhirnya menjadi santapan akrobat para politisi. Dengan bungkus dan sorot lampu media, pencitraan “Islami” menjadi santapan sehari-hari. Mata rantai lingkaran setan ini memang harus diputus.

Kita harus berbesar hati melihat kenyataan bahwa semakin jauhnya para aktor politik dari ulama. Hal ini bisa saja diresapi sebagai satu kekecewaan. Tetapi kita juga dapat melihat sisi terangnya. Sudah saatnya umat bersama ulama berdiri sendiri. Tak lagi menggantungkan harapan dan menitipkan cita pada pemimpin yang tak seideologi.

Umat Islam beserta Ulama harus mengajukan (calon) pemimpinnya sendiri. Bukan lagi menitipkan aspirasi pada pemimpin berbeda perahu. Apalagi mencari pemimpin dadakan, dipaksakan, karbitan atau hasil gorengan media. Kita tak bisa lagi baru membicarakan pemimpin ketika mendekati masa pemilihan kepala daerah atau kepala negara.

Mencetak pemimpin umat bukanlah perkara satu dua tahun. Ia adalah satu proses kaderisasi oleh ulama yang ditempa sejak lama dengan berbagai kondisi. Mari kita lihat kenyataan sejarah. Berbagai tokoh pemimpin umat adalah hasil tempaan ulama dalam waktu yang lama.

Mohammad Natsir misalnya. Ia adalah pemimpin yang ditempa oleh ulama sekaliber Ahmad Hassan. Natsir sejak muda berguru ke Tuan Hassan. Bahkan Natsir memilih Bersama Tuan Hassan ketimbang mengambil peluang beasiswa studi oleh pemerintah kolonial Belanda. Tuan Hassan bukan saja menempa Natsir dengan ilmu agama, tetapi ia melatih Natsir muda untuk menjadi pengawal umat.

M. Natsir pendiri Dewan Dakwah Islam Indonesia

Kehadirannya di Majalah Pembela Islam membuktikan ia hadir untuk mengadvokasi umat Islam. Natsir muda tak puas berguru pada seorang guru saja. Pada Haji Agus Salim, Natsir Bersama kawan-kawan di Jong Islamieten Bond (JIB) memerlukan hadir menimba ilmu dari politisi senior Sarekat Islam tersebut. Buya Hamka menyebut para anggota JIB, “…yang lebih memperdalam pengertian dan amalan agama sehingga Islam tidak hanya menjadi pengetahuan, tetapi menjadi dasar dan pandangan hidup.” (Hamka: 2002)

Munculnya Natsir Bersama Jong Islamieten Bond (JIB) ini harus dilihat sebagai satu kriteria calon pemimpin, yaitu figur yang memang telah lama berjejaring dengan dunia gerakan Islam. Bukan figur yang sekonyong-konyong muncul ketika masa politik elektoral belaka. Kehadiran dalam dunia pergerakan memberikan makna bahwa calon pemimpin telah lama membersamai umat. Bukan sekedar cendikiawan yang hidup di menara gading.

Mohammad Natsir dan JIB adalah contoh generasi emas gerakan Islam. JIB bergerak bersama umat khususnya para pelajar muslim. Ditengah belantara sekularisme yang menyelimuti pelajar-pelajar ‘pribumi’ di sekolah Belanda, para aktivis JIB mencoba menghidupkan suluh bagi para pelajar tersebut. Diskusi-diskusi, tulisan-tulisan, aktivitas mengajar menjadi denyut sehari-hari generasi emas tersebut.

Dari JIB-lah kemudian muncul tokoh-tokoh seperti Mr. Kasman Singodimedjo, Mohammad Roem, Syamsurizal, dan lainnya. Sebagian besar dari mereka kemudian menjadi tokoh sentral di Masyumi. Buya Hamka menuturkan kesaksiannya tentang para pemuda generasi emas JIB ini:

“Intelek pejuang bekas didikan Haji A. Salim dan anggota Kernlingaam tadi, dengan sendirinya telah dapat menutup mulut kaum intelek didikan barat, yang siang malam bermimpi bahasa belanda tadi, yang memandang Islam sebagai, ‘Islam Sontoloyo, santri gudikan atau kiyai bini banyak atau kolam masjid kotor atau Islam yang tidak bisa dipakai untuk kemajuan atau orang Islam harus menganut modernisasi, kalau perlu musti pandai berdansa’ dan sebagainya.” (Hamka: 2002)

Organisasi Jong Islamieten Bond (JIB) memisahkan diri dari Budi Oetomo dan membentuk organisasi intelektual Muslim

Mohammad Natsir memang menjadi figur yang menonjol dari aktivitasnya “menutup mulut kaum intelek didikan barat.” Pena-pena tajamnya menjadi bukti betapa gigihnya Natsir membela kehormatan Islam. Majalah Pembela Islam yang dikelola Natsir di Bandung menjadi saksi pembelaan Natsir terhadap Islam. Mulai dari isu penistaan terhadap Islam, ketidakadilan pemerintah kolonial, hingga isu-isu kebangsaan. Semua disajikan Natsir dalam tulisan yang tajam tetapi tetap beradab. Tak mengumbar retorika dan amarah nista.

Buya Hamka, yang menjadi salah satu pembaca Pembela Islam, mengatakan, “Mulai saja majalah itu dibaca, timbullah dalam jiwa semangat yang terpendam yaitu semangat hendak turut berjuang dalam Islam. Artikel-artikel yang dimuat di dalamnya menggugah perasaan hati untuk bangun, bergerak, berjuang hidup dan mati dalam Islam.” (Hamka: 1978)

Semua tentu mengingat perdebatan Natsir dan Soekarno tentang agama dan negara yang aktual dan nikmat tersebut. Salah satu “monument” perdebatan antara Islam dan sekularisme. Tak mungkin kita mempelajari sejarah pemikiran di Indonesia tanpa merujuk pada perdebatan Natsir dengan Soekarno tersebut.

Dari perdebatan dan tulisan-tulisan Natsir lainnya kita dapat melacak jejak pemikiran Natsir. Seorang pemimpin haruslah figur yang dapat ditelusuri dan dikenali pemikiran dan gagasannya. Mudah bagi kita untuk mengetahui gagasan Natsir dari segudang tulisan-tulisannya. Tiga jilid Capita Selecta adalah contoh mudah menelusuri gagasan dan pemikirannya. Dari tulisannyalah kita dapat mengetahui bahwa Natsir adalah figur yang ideologis. Mengusung Islam sebagai pandangan hidup.

Dari sebaran tulisan-tulisannya pula kita dapat mengetahui Natsir adalah figur yang berwawasan luas. Tulisannya merentang dari persoalan dakwah (lihat Fiqhud Da’wah), politik, sejarah hingga budaya. Ketika membuka kembali perdebatan Natsir dengan Soekarno maka kita paham, bahwa Natsir pun menyelami bacaan-bacaan Soekarno. Ia (mampu) mengunyah bacaan dari lintas ideologi.

Dari tulisan-tulisannya Natsir dapat dikenal oleh khalayak yang lebih luas menembus batas geografis dan ideologi. Buya Hamka misalnya, meski dikenal sebagai aktivis dan mubaligh dari Sumatera Barat, namun mengenal Natsir pertama kali melalui tulisan-tulisannya di Majalah Pembela Islam.

“Artikel-artikel dari M. Natsir di dalam majalah Pembela Islam itu sangat menarik hati saya. Saya pun seorang pengarang. Tetapi saya mengakui bahwa karangan Natsir memberi saya bahan untuk hidup, sehingga saking tertariknya saya kepada tulisan-tulisannya itu, saya pun mencoba mengirim karangan kepada Pembela Islam,dan karangan saya disambut baik dan dimuat dalam Pembela Islam.” (1978)

Lewat surat-surat Soekarno selama masa tahanan kepada Tuan Hassan, kita dapat mengetahui bahwa Soekarno pun ‘mengenal’ dan memuji tulisan-tulisan Natsir meski secara pribadi belum pernah bertemu. Itu sebabnya Soekarno berhubungan baik dengan Natsir hingga mempercayainya saat Menteri Penerangan. Meski kemudian perbedaan politik tajam memisahkan mereka. Natsir memilih jalan memperjuangkan Islam sebagai Dasar Negara.

Presiden Sukarno dalam konvensi Masyumi bersama M. Natsir

Perjuangan Natsir untuk mengajukan Islam sebagai Dasar Negara adalah buah dari ideologinya. Ia maju memperjuangkan Islam sebagai Dasar Negara dalam Sidang Konstituante (1957-1959). Natsir konsisten memperjuangkan ideologinya baik kala ia menjadi aktivis maupun setelah ia menjabat berbagai jabatan tinggi di negeri ini. Natsir tidak menjadi pemimpin yang pragmatis apalagi oportunis. Tipikal pemimpin yang konsisten dengan ideologinya yang kita butuhkan. Bukan yang hidup dalam alam pragmatisme.

Dinamika dan intrik politik praktis tak membuat Natsir menjadi pragmatis. Ideologi justru membimbing Natsir menembus rintangan dan intrik dalam belantara politik kala itu. Sebab Natsir memang bukan tokoh karbitan atau yang dipaksakan terjun dalam politik. Ia telah memulainya jauh sejak menjadi Anggota KNIP, memimpin Masyumi, atau pun menjadi pejabat negara hingga Perdana Menteri. Pengalaman (ber)politik adalah satu kriteria yang dibutuhkan untuk menembus rimba politik yang penuh tipu daya.

Natsir juga tak tergoda kemewahan dunia yang dekat dengan kekuasaan. Kesederhanaan tentu yang diingat setiap orang yang pernah mengenalnya. Kesederhanaan Natsir bukanlah pencitraan. Tetapi buah dari keteladanan gurunya semacam Haji Agus Salim.

Kita tentu tidak hendak mencari duplikat dari Natsir di masa kini. Kita juga bukan ingin bernostalgia dan hidup dengan romantisme masa lalu. Yang kita perlu resap adalah pelajaran yang membentuk pribadi seorang pemimpin. Pemimpin yang ditempa oleh ulama, membersamai umat, menuliskan gagasan-gagasannya, konsisten dengan ideologi dan hidup dalam kesederhanaan. Sehingga kita dapat membentuknya di masa kini sebagai calon pemimpin umat Islam di masa depan.

Agar umat tak perlu (lagi) disodori pemimpin dadakan, karbitan dan tak lagi dijejali sekedar slogan memilih pemimpin dalam keadaan darurat. Memilih yang mudharatnya paling kecil. Disertai bunga-bunga pencitraan, ketergesaan dan pembenaran. Bisakah kita mulai melangkah jalan panjang tersebut? Di tangan para ulama dan umat yang bersatu kita dapat memulainya.

Ijtima Ulama II Akan Digelar Pekan Depan

JAKARTA (Jurnalislam.com) – Ketua Umum Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama, Yusuf Martak memastikan Ijtima GNPF Ulama II akan digelar pada awal pekan depan di Jakarta.

Insya Allah awal pekan depan. Ya di Jakarta, pagi sampai selesai sore, ya enggak perlu waktu lama-lama lah. Cukup satu hari saja,” katanya dilansir Republika.co.id, Jumat (10/8/2018).

Menurut dia, akan ada beberapa ulama yang hadir dalam forum ijtima tersebut tapi memang dia mengakui tidak akan sebanyak Ijtima GNPF Ulama yang pertama. Ia meyakini hubungan antara satu ulama dengan yang lain berlangsung baik dan kompak.

“Kami nanti juga bisa melakukan teleconference, dan bisa mendapatkan mandat dari beberapa yang tidak hadir, jadi tidak terlalu besar seperti Ijtima Ulama yang kemarin, tapi kalau hadir ya senang sekali kami,” ungkap dia.

Ijtima GNPF Ulama telah dilakukan pada 27-29 Juli lalu di Jakarta. Ijtima saat itu memutuskan mendukung Prabowo Subianti sebagai capres 2019. Selain itu, juga merekomendasikan dua nama sebagai cawapres pendamping Prabowo. Yaitu Salim Segaf Al-Jufri dan Ustaz Abdul Somad.

Dua nama tersebut diketahui berada dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk dipilih Prabowo. Abdul Somad menolak maju ke Pilpres karena lebih memilih fokus di dakwah. Sedangkan Salim Segaf, namanya tak muncul dalam pembahasan cawapres Prabowo lantaran tidak disepakati parpol koalisi.

GNPF Ulama pun kembali mengajukan usulan dua nama alternatif. Dua ini adalah Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym, dan Ustaz Arifin Ilham. Namun pada Kamis (9/8/2018) malam, Prabowo tidak memilih nama-nama yang diusulkan itu.

Prabowo pada malam itu resmi memilih Sandiaga Salahudin Uno sebagai cawapresnya, dengan dukungan PKS, PAN, dan tentunya Gerindra. Demokrat baru bergabung ke dalam koalisi pendukung Prabowo-Sandiaga pada Jumat (10/8/2018) ini.

Catatan UBN (3) : Bersabarlah dalam Perjuangan Politik dan Jangan Tergesa-gesa

Ustaz Bachtiar Nasir (UBN) dalam Mudzakarah Seribu Ulama mengingatkan bahwa kebangkitan umat Islam akan datang, dan boleh jadi bermula di Indonesia. Kuncinya adalah kesabaran. Kesabaran ulama dalam mendidik umat, kesabaran umat dalam perjuangan dan kesatuan langkah perjuangan.
Berikut catatan Ustaz Bachtiar Nasir dalam Mudzakarah Seribu Ulama di Tasikmalaya, Ahad (5/8/2018) yang Jurnalislam.com himpun. Selamat membaca:
Oleh: Ustaz Bachtiar Nasir
Membincang kebangkitan Islam, kita dapat melihat contoh paling real yaitu orang-orang yang bersabar dengan damainya di Gaza, ini sudah saya sampaikan dalam forum-forum dunia bahwa senjata terhebat yang dibutuhkan dunia saat ini adalah Assalam.
Dan tidak ada yang bisa menegakkan perdamaian kecuali mereka yang menegakkan Islam dengan Laailaha illallah muhammdarrasulullah.
Putin itu bukan komunis, Putin itu demokrat. Komunisme di Rusia tinggal 35%,  dan komunisme di Rusia tidak PD memunculkan pemimpinnya karena kekuatan sosial komunisme sudah runtuh.
Saya ingin katakan, tidak ada kekuatan sosial di dunia ini sekokoh kekuatan sosial Islam. Jika negara dibangun berdasarkan kompromi-kompromi antara kekuatan-kekuatan sosial yang mempunyai daya tekan, saat ini di dunia tidak ada kekuatan sosial yang lebih kuat dari Islam.
Silahkan ke Tiongkok, kekuatan sosialnya hanya ada di pemerintahan. Seandainya kita di Indonesia ini tidak mau terpancing oleh mereka yang bermental penjajah yang ingin mengadudomba kita, kita kemudian kita bisa lewati. Insya Allah sebelum seratus tahun kebangkitan Islam di muka bumi dan Indonesia sebagai asal muasal kebangkitan itu. Lihat para pemuda di Palestina, Israel menekan mereka untuk menghentikan para pemuda itu melakukan aksi damai.
Agama damai itu Islam, dan yang bisa menegakkan kedamaian di muka bumi itu hanya Islam. Karenanya, sabar, jangan tergesa, jangan terpancing oleh syahwat politik yang tergesa-gesa.

Bersabarlah, waktu kita masih cukup, semua bisa teratasi, dengarkan apa kata ulama, dan ulama harus jernih dan hanya bersandar kepada Allah.  Kita semua sudah mengatakan bahwa nyawa kami sudah untuk Islam.

Bersabarlah, jaga perdamaian. Saya katakan damai bukan berarti takut dan pengecut. Jangan sampai kita dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan politik yang saat ini kita sedang diuji.

Insya Allah 2019 akan menjadi Nashrun Muqdaiyyun, walaupun  NashrunIhtiqoqi kita dapatkan setelah itu. Tapi terus terang, tidak semua orang bisa membaca. Mereka mengira sekarang ini sudah nashrun ihtiqoqi, kita ini masih di masa euforia, atas nama yang kemaren terus kemudian dikatakan kita kuat, kita hebat padahal belum terstruktur.

Sebagai penutup untuk mudzakarah nanti. Ada seorang tokoh pergerakan dunia datang kepada saya, dia berkata begini,

“Selamat untuk anda, karena rahmat Allah untuk kebangkitan Islam diturunkan dari Indonesia. Tapi ini disilent dari kalian kalau kalian tidak pandai menjaganya. Kami berbenturan langsung setiap hari dengan mereka, dan kamu sebagai sebuah bangsa baru diberikan kekautan itu oleh Allah.”

Ada 3 pertanyaan untuk dijawab di Mudzakarah nanti, 1. Kaifa Tarbiyah, 2. Wa Kaifal qiyadha, tsumma kaiful idarah?

Memangnya yang datang ke 212 itu hasil tarbiyah kita semua? Kalau mereka mengaku-ngaku bahwa 212 adalah saya, suruh dia bikin 212 sekali lagi, bisa gak mendatangkan massa sebanyak itu? Tidak ada yang bisa mengklaim.

Yang harus kita lakukan adalah bagaimana memperbaiki tarbiyah kita secara benar. Kita bisa mencari contoh-contoh tarbiyah yang hebat di muka bumi ini.

Yang kedua, Kaifal qiyadah?Apa mau gini terus? Siapa nih presiden kita? Ada ngga duitnya? Seakan-akan belum pernah ada pemilu. Ini karena belum rapih.

Terakhir, bagaimana manajemen (idarah)? Kita nggak bisa grasak-grusuk, nggak bisa hanya pasang-pasang badan, masing-masing ingin jadi pemimpin.

Semoga ini menjadi pelajaran dan saya masih optimis, Insya Allah kebangkitan di dunia sebentar lagi dan bermula dari Indonesia.

Catatan UBN (2): Diksi Penjajah terhadap Perjuangan Umat Kembali Terulang

Ustaz Bachtiar Nasir (UBN) dalam Mudzakarah Seribu Ulama mengingatkan bahwa kebangkitan umat Islam akan datang, dan boleh jadi bermula di Indonesia. Kuncinya adalah kesabaran. Kesabaran ulama dalam mendidik umat, kesabaran umat dalam perjuangan dan kesatuan langkah perjuangan.
Berikut catatan Ustaz Bachtiar Nasir dalam Mudzakarah Seribu Ulama di Tasikmalaya, Ahad (5/8/2018) yang Jurnalislam.com himpun. Selamat membaca:
Oleh: Ustaz Bachtiar Nasir
Islam Din Assalam. Islam adalah agama yang menyebarkan kesejahteraan dan perdamaian, dan itu akan terjadi ketika sama-sama kita memulai kebangkitan Islam di Indonesia dari berbagai sisinya dengan mengatkaan Lailaha ilallah wahdahu laa syarikalah lahul mulk walahul hamd.
Para ulama di mudzakarah nanti, kita bertanggungjawab kepada Allah SWT, jauhkan kepentingan-kepentingan sektoral organisasi, redam dan kubur sedalam-dalamnya syahwat politik dan ekonomi.
Sebagai ulama kita punya kewajiban untuk secara gradual membangun umat ini. Pesan saya tidak ada yang paling hebat untuk membangkitkan kekuatan umat kecuali dengan kalimat dakwah ilallah, kalimat dakwah ini adalah kalimatut tauhid.
Ustadz Bachtiar Nasir menyampaikan pandangannya dalam Mudzakarah Seribu Ulama di Tasikmalaya, Ahad (5/8/2018)
Ini yang akan mempersatukan kita selama kita bersabar, dan insya Allah apa yang diharapakan oleh para ulama tadi, presiden kita muslim sejati, kapolri kita muslim sejati.
Sekarang saya menangkap di Indonesia diksi-diksi penjajah karena merekat takut kalau Islam yang kita bawa ini damai, mereka takut kalau kita bersatu. Mereka takut itu.
Dulu sama penjajah Belanda, masyarakat muslim yang dituduh ekstrimis, inlander, istilah itu juga sekarang sedang digunakan.
Ada yang tidak normal di negeri ini, orang-orang yang mengaku dirinya muslimhanya karena sudah haji dan umrah, sudah shalat dan sudah puasa tapi memang tampuk kekuasaan, tanpa disadari ternyata keislamannya sedang dirasuki pola pikir penjajah.
Dengan istilah islam sebagai teroris, fundamentalis, radikalis, ini sebetulnya diksi-diksi jahiliyah, diksi-diksi penjajah. Tapi Insya Allah ke depan saya melihat dengan mempelajari Suriah, Irak, Afghanistan, harapan besar itu ada di Indonesia Insya Allah.
Dan saya yakin penduduk dunia saat ini sudah muak dengan tontonan kekerasan yang dilakukan oleh nonmuslim itu. Bahkan masyarakat di negara mereka sendiri sudah muak dengan pemimpinnya yang mempertontonkan senjata dan nuklir-nuklir mereka.
Apa yang sebetulnya dibutuhkan penduduk dunia saat ini adalah kedamaian. Dan ketahuilah tidak ada kelompok sosial, tidak ada kekuatan militer yang lebih kuat untuk menegakkan perdamaian selain Islam. Bersambung

Catatan UBN (1) : Bersiap Menyambut Kebangkitan Islam di Indonesia

Ustaz Bachtiar Nasir (UBN) dalam Mudzakarah Seribu Ulama mengingatkan bahwa kebangkitan umat Islam akan datang, dan boleh jadi bermula di Indonesia. Kuncinya adalah kesabaran. Kesabaran ulama dalam mendidik umat, kesabaran umat dalam perjuangan dan kesatuan langkah perjuangan.
Berikut catatan Ustaz Bachtiar Nasir dalam Mudzakarah Seribu Ulama di Tasikmalaya, Ahad (5/8/2018) yang Jurnalislam.com himpun. Selamat membaca:
SEJAK runtuhnya khilafah Islamiyah 1924 dan Indonesia merdeka tahun 1945, mudah-mudahan paling lama Insya Allah seratus tahun setelah Indonesia merdeka pada tahun 2045, Islam akan tegak di muka bumi dan Indonesia akan menjadi basis terkuatnya Indonesia Insya Allah.
Saya akan memberikan beberapa indikatornya.Dalam  beberapa konferensi internasional ternyata mata para pejuang-pejuang Islam dunia tertuju pada Indonesia dan mereka sangat berharap kebangkitan Islam itu datang dari Indonesia.
Turki sudah melakukan revolusi secara gradual lebih kurang selama 20 tahun. Secara ekonomi dan politik, Turki memang diantara negeri-negeri muslim, dimana pemimpinnya berani mengatakan Israel lah teroris yang sesungguhnya.
Tapi koreksinya adalah, menurut mantan menteri agamanya saat ini Turki memang sudah maju dari sisi keislaman tetapi baru dari bidang politik, ketika masyarakat terlalu bergegas ke depan, tapi Turki belum maju dari sisi pemikiran dan ruh Islam. Ini terjadi ketika politik yang diletakkan di depan.
Ustadz Bachtiar Nasir menyampaikan pandangannya dalam Mudzakarah Seribu Ulama di Tasikmalaya, Ahad (5/8/2018)

Berbeda halnya dengan Indonesia. Ini potensi yang harus dilihat secara jernih oleh para ulama. Indonesia memiliki kelebihan khusus bahkan melebihi Malaysia dan turki yang sifat kebangkitan Islam nya top – down, tetapi kebagkitan Islam di Indonesia itu bottom up, bermula dari rakyatnya, bermula dari umatnya.

Dan jika dari sini, kita memulai Insya Allah tidak akanada yang bisa menghentikan kebangkitan Islam di Indonesia. Kesalahan di Indonesia, terutama dalam memilih pemimpin di Indonesia yang selalu menjadikan indikator ekonomi untuk terpilihnya seorang pemimpin.

Ya katakanlah pilpres nanti dengan semua hasil ijtima dan dzikir kita. Ujungnya, para pemegang palang pintu partai hanya akan menanyakan dua hal; popularitasnya dan isi tasnya.

Tapi ada yang lebih penting yang harus kita pikirkan, ketika memaksakan diri apakah betul-betul kita sudah mempersiapkan calon pemimpin Indonesia yang sekarang hutang (plus bunga) nya sudah 5000 trilyun dan pada pilpres nanti kira-kira jumlahnya sudah mencapai 6.000 tirlyun. Kira-kira ulama siapa yang dapat menyelesaikan masalah seperti ini?

Saya ingin katakan bahwa, proses yang harus dilakukan secara rasional dan penuh kesabaran tidak grasak-grusuk. Saya ambil contoh negara-negara Kaukasus dan Balkan, secara ekonomi maju. 95% penduduknya muslim, tapi jangan berharap ada jilbab berkeliaran digunakan oleh masyarakat. Sebab hanya indikator ekonomi yang digunakan oleh masyarakat negara itu untuk mengukur kemajuan bangsa atas nama agama.

Negara itu adalah negara yang para pemimpinnya sudah tersekulerkan. Yang menjadikan indikator ekonomi sebagai indikator utama yang agama bagi mereka sudah dicabut dari akar-akanya sejak zaman Uni Soviet.

95% muslimnya, tetapi kalau ada anak yang berpuasa, orangtuanya yang akan pertama kali melarangnya.“Sudahlah jangan yang ekstrim-esktrim begitu, beragama yang biasa-biasa saja, yang penting ekonomi tercukupi,” demikian kira-kira mindset masyarakat mereka.

Kemajuan dengan indikator memaksakan pemimpin politik dan memaksakan pemimpin ekonomi, percayalah yang seperti ini pada akhirnya bukanlah perdamaian.

Islam Din Assalam, Islam adalah agama yang menyebarkan kesejahteraan dan perdamaian, dan itu akan terjadi ketika sama-sama kita memulai kebangkitan Islam di Indonesia dari berbagai sisinya dengan mengatkaan Lailaha ilallah wahdahu laa syarikalah lahul mulk walahul hamd. Bersambung