NEW YORK (jurnalislam.com)– Lebih dari seribu warga Palestina dilaporkan meninggal dunia di Jalur Gaza saat menunggu izin evakuasi medis dari Israel sejak Juli 2024 hingga akhir November 2025. Data tersebut disampaikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Jumat (12/12/2025).
Perwakilan WHO untuk Wilayah Palestina yang Diduduki, Rick Peeperkorn, mengatakan kepada wartawan di Markas Besar PBB, New York, bahwa 1.092 pasien meninggal dunia dalam periode Juli 2024 hingga 28 November 2025. Angka tersebut merujuk pada data otoritas kesehatan Gaza.
Namun demikian, Peeperkorn menegaskan bahwa jumlah tersebut kemungkinan masih lebih rendah dari kondisi sebenarnya karena hanya berdasarkan laporan kematian yang terdokumentasi.
Ia menambahkan bahwa WHO terus menyerukan kepada lebih banyak negara agar menerima pasien dari Gaza serta mendesak agar operasi evakuasi medis kembali dibuka menuju Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur.
Menurut Peeperkorn, kondisi sistem kesehatan di Gaza berada di ambang kehancuran. Dari total 36 rumah sakit yang ada, hanya 18 rumah sakit yang masih berfungsi secara parsial, sementara 43 persen pusat layanan kesehatan primer juga hanya beroperasi sebagian. Situasi ini diperparah dengan kelangkaan obat-obatan dan peralatan medis penting, khususnya untuk penyakit jantung dan penyakit kronis lainnya.
Meski tingkat persetujuan pengiriman pasokan ke Gaza disebut mengalami peningkatan, Peeperkorn menilai proses masuknya obat-obatan dan peralatan medis masih berjalan lambat dan rumit tanpa alasan yang jelas.
Bulan lalu, WHO menyatakan sekitar 16.500 pasien masih menunggu untuk dievakuasi dari Gaza yang dilanda perang, namun terus menghadapi penundaan dari pihak Israel.
Sejak Mei 2024, WHO telah melakukan 119 misi evakuasi medis dari Gaza dan memindahkan sekitar 8.000 pasien, termasuk 5.500 anak-anak, ke luar wilayah tersebut untuk mendapatkan perawatan. Sebagian besar pasien dievakuasi ke negara-negara di Timur Tengah dan Eropa.
Dalam agresinya, militer Israel dilaporkan secara sistematis menargetkan rumah sakit dan infrastruktur vital lainnya, sembari memberlakukan pengepungan ketat yang melumpuhkan wilayah pesisir Gaza.
Meskipun gencatan senjata yang dimediasi Amerika Serikat mulai berlaku pada Oktober 2025, kelompok-kelompok bantuan dan otoritas Gaza menyatakan bahwa jumlah bantuan yang masuk ke wilayah tersebut masih jauh dari mencukupi. Berdasarkan kesepakatan gencatan senjata, Gaza seharusnya menerima aliran bantuan kemanusiaan secara besar-besaran, namun Israel dinilai terus menghambat masuknya bantuan.
Pada hari yang sama, Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi yang menyerukan Israel agar mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan secara penuh ke Gaza, menghentikan penghambatan terhadap operasi badan-badan PBB, serta memenuhi kewajibannya berdasarkan hukum internasional.
Resolusi tersebut diajukan oleh Norwegia dengan dukungan 13 negara dan disahkan dengan 139 suara setuju, termasuk Turki. Sementara itu, 12 negara, yang dipimpin Amerika Serikat dan Israel, memberikan suara menentang, dan 19 negara abstain.
Kementerian Luar Negeri Palestina menyambut baik resolusi tersebut, menyatakan bahwa langkah ini menegakkan hukum internasional dan sistem multilateral, serta memperkuat peran PBB dalam melindungi warga Palestina. Mereka menekankan kewajiban Israel sebagai kekuatan pendudukan dan menyerukan implementasi resolusi secara segera dan penuh.
Sementara itu, Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP) juga menyambut resolusi tersebut, namun menilai bahwa keputusan itu bersifat simbolis karena tidak disertai mekanisme penegakan hukum yang dapat memaksa Israel menghentikan perang, genosida, dan kelaparan yang terus berlangsung di Gaza.
Hingga kini, agresi Israel di Jalur Gaza telah menewaskan lebih dari 70.000 warga Palestina sejak Oktober 2023, mayoritas di antaranya adalah warga sipil, menurut Kementerian Kesehatan Gaza. (Bahry)
Sumber: TNA