NEW YORK (jurnalislam.com)– Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa memperingatkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Rabu (24/9/2025) bahwa tindakan Israel di kawasan berpotensi memicu krisis baru. Pidato ini menandai momen bersejarah karena untuk pertama kalinya sejak tahun 1967 seorang kepala negara Suriah kembali berpidato di forum tertinggi PBB.
Dalam pidatonya, Sharaa menegaskan Damaskus tetap berkomitmen menghormati Perjanjian Pelepasan 1974 dengan Israel. Namun ia mendesak masyarakat internasional untuk mendukung Suriah dalam menghadapi ancaman serta menuntut penghormatan penuh terhadap kedaulatannya.
“Mereka yang bertanggung jawab atas pertumpahan darah akan menghadapi pertanggungjawaban,” tegas Sharaa. Ia berjanji membuka babak baru bagi Suriah dengan “perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran.”
Sharaa juga menyampaikan terima kasih kepada negara-negara yang selama ini mendukung Suriah di masa transisi, termasuk Turki, Qatar, Arab Saudi, negara-negara Arab dan Muslim lainnya, bahkan Amerika Serikat serta Uni Eropa.
𝗦𝗮𝗺𝗯𝘂𝘁𝗮𝗻 𝗥𝗮𝗸𝘆𝗮𝘁 𝗦𝘂𝗿𝗶𝗮𝗵
Pidato Sharaa disambut antusias oleh ratusan warga Suriah yang berkumpul di luar markas besar PBB di New York. Mereka mengibarkan bendera nasional sebagai bentuk dukungan. Kantor Berita Arab Suriah (SANA) dan stasiun televisi pemerintah Al-Ikhbariya menyiarkan langsung suasana penyambutan tersebut.
Sharaa tiba di New York pada Ahad bersama sejumlah menteri untuk menghadiri Sidang Umum PBB ke-80. Kehadirannya mengakhiri hampir enam dekade ketidakhadiran Suriah di forum internasional ini.
𝗟𝗮𝘁𝗮𝗿 𝗕𝗲𝗹𝗮𝗸𝗮𝗻𝗴
Suriah memboikot Sidang Umum PBB di tingkat presiden sejak perang Arab–Israel 1967, ketika Israel menduduki Dataran Tinggi Golan. Damaskus selama ini menuduh PBB dan lembaga internasional lain berpihak pada Israel karena pengaruh kuat Amerika Serikat dan sekutu Barat.
Pemimpin Suriah terakhir yang pernah hadir di forum PBB adalah Nureddin al-Atassi, yang menjabat sebagai presiden pada 1966–1970.
Menariknya, Ahmed al-Sharaa sebelumnya masuk dalam daftar buronan paling dicari Amerika Serikat dengan imbalan 10 juta dolar AS (setara Rp160 miliar) bagi siapa saja yang bisa menangkapnya. Kini, tokoh yang dulu diburu itu hadir sebagai tamu resmi negara dalam forum tertinggi dunia, menandai perubahan besar dalam peta politik internasional. (Bahry)