YERUSALEM (Jurnalislam.com) – Sebuah gapura terbuat dari plak plastik bekas yang gelap dan membosankan menandai pintu masuk ke kediaman dan Masjid Shalahuddin Ayyubi, Jendral Muslim ikonik abad ke-12 yang merebut kembali Yerusalem selama Perang Salib, kemudian memerintah kota.
Di dalam ada berbagai benda bersejarah; namanya tertulis di bawah nama-nama Allah dan Muhammad pada jendela logam masjid yang kasar, lorong yang mengarah ke sebuah sumur tua dan sebuah pintu hijau, sekarang terkunci, yang mengarah ke atas Gereja tetangga Church of the Holy Sepulchre.
Dan dari atap situs paling suci dalam agama Kristen itu Shalahuddin mengamati penduduk Kristen Yerusalem, menurut Imam Ahmad Shalhoub dan penduduk lainnya.
Meskipun banyak makna sejarah di Khanqah Salihiya, nama masjid tersebut, hanya terdapat beberapa jamaah dan jarang didatangi pengunjung. Satu-satunya masjid di kota Kristen tersebut dibangun untuk menghormati Khalifah pertama Umar Ibn al-Khattab – penakluk pertama Muslim Yerusalem – yang tidak berdoa di Church of the Holy Sepulchre untuk menghormati pentingnya gereja itu bagi orang Kristen.
Shalhoub, yang membuka dan menutup Masjid segera sebelum dan setelah shalat, mengatakan Masjid itu awalnya lebih besar. Dia dan jamaah lainnya menunjuk lengkungan pintu gerbang untuk bagian yang mereka katakan telah hilang oleh kelompok Kristen dan tetangga lainnya.
Fakta bahwa Khanqah Salihiyyah – yang semula aktif sampai Inggris mengambil alih Palestina pada tahun 1917 – telah memudar dari memori warga Yerusalem, adalah gejala dari lemahnya dokumentasi dan narasi yang modern terhadap warisan Muslim kota.
Berbeda dengan Israel yang membuat pengumuman mingguan pada penemuan artefak kuno Yahudi lalu kelompok tour Kristen secara teratur berbaris melalui jalan-jalan Yerusalem untuk mengunjungi penemuan tersebut, narasi sejarah Islam di luar Masjid Al-Aqsha kurang jelas.
Contoh kontras yang paling jelas adalah di terowongan Tembok Barat, yaitu kompleks trotoar bawah tanah sepanjang dinding bangunan Al-Aqsha, yang dikenal orang Yahudi sebagai Temple Mount dan dianggap sangat suci oleh Yudaisme.
Terowongan dibuka setelah penggalian Israel dimulai pada 1980-an, sehingga dianggap semata-mata berkaitan dengan sejarah Yahudi dan bahkan menimbulkan dugaan bahwa Yahudi mencoba untuk menggali di bawah Al-Aqsha dan merusak fondasinya.
"Penggalian selama bertahun-tahun itu menimbulkan kritik mengenai apa yang sebenarnya sedang dilakukan," Yonathan Mizrahi, kepala LSM arkeologi Emek Syawe, mengatakan.
Mizrahi percaya ada alasan di balik warga Palestina yang khawatir tentang tujuan akhir penggalian arkeologi oleh zionis di Kota Tua, terutama di dekat Al-Aqsha, tapi ia menekankan bahwa terowongan Western Wall hanya menunjukkan sejarah Yahudi.
"Sebagian besar dari reruntuhan berasal dari periode yang berbeda: Romawi, Bizantium dan banyak yang dari dinasti Muslim. Sejarah yang merepresentasikan reruntuhan itu kebanyakan dari sudut pandang Yahudi. Ini pertanyaan narasi," tambahnya.
Pemandu wisata Yerusalem Hisham Khatib setuju dan menggunakan tour terowongan untuk menunjukkan bahwa lengkungan, koridor dan batu-batu yang ada merupakan bukti hasil karya Muslim dan Romawi.
"Apakah mereka (Israel) membangun dinding kota? Tidak. Dinding itu sudah ada. Apa yang Israel lakukan adalah membersihkan puing-puing. Mungkin waktunya tidak tepat. Mereka dibuka pada tahun 1996 (setelah intifadhah pertama)," kata Khatib, menceritakan bagaimana curiganya warga Kota Tua yang marah ketika mereka tiba-tiba menemukan lubang yang dibuat di bawah tanah sebagai jalan keluar dari terowongan.
Dia mengatakan kekhawatiran bahwa Israel berencana menghancurkan Al-Aqsha berhubungan dengan kurangnya dokumentasi sejarah Arab dan Muslim.
Khatib mengeluhkan betapa mudahnya, ia percaya, warga Yerusalemites yang banyak melupakan struktur Kota Tua, dimana rumah yang disita atau dihancurkan hanya tercatat di media, tetapi tidak didokumentasikan oleh pejabat.
Tidak ada bukti, menurut Khatib, yang mengatakan ia telah bertemu banyak warga Kota Tua yang memiliki dokumen ketika rumah mereka diambil alih oleh pemerintah atau pemukim zionis Yahudi.
"Sejarah ditransfer secara lisan. Cerita tertua adalah apa yang kakekmu bilang," katanya. "Kami secara historis buta huruf tentang masa lalu kita … kita tidak punya ulama, dosen, intelektual yang bisa mempertahankan hidup keras kami dalam konteks sejarah. Kami tidak memiliki narasi sebagai Palestina. "
Bagi banyak orang Palestina, tidak ada yang menggambarkan hilangnya warisan mereka sejelas yang ditunjukkan Maroko Quarter tua, yang hampir sepenuhnya dibuldoser untuk membuat jalan bagi wilayah Yahudi di sana.
Rumah, Masjid dan sekolah bersejarah dari abad peradaban Islam hingga ke era Salahuddin, dihancurkan setelah Israel mengambil alih Kota Tua dari Yordania dalam perang tahun 1967.
"Ada masjid kuno di Maroko Quarter. Orang tidak mengingatnya. Masjid tersebut menghilang dan saya pikir masalah tersebut harus diangkat, "kata Mustafa Abu Sway, seorang profesor di Al Quds University, yang memimpin studi sarjana abad ke-11 Al-Ghazali, yang paling terkenal karena karya-karya yang dia hasilkan di Yerusalem.
"Otoritas Palestina harus berbicara spesifik tentang tempat-tempat yang hancur (di Maroko Quarter)," kata Abu Sway. "Ketika Anda melihat ke semua bangunan, sangat menakjubkan bagaimana semua ini hilang."
Tidak bergairahnya dokumentasi sejarah Islam katanya, diakibatkan oleh fakta bahwa periode Islam, mengalahkan masa Salib Kristen (Crusader), salah satu peradaban terpanjang yang berkelanjutan dalam sejarah kota. Ini bertentangan dengan klaim Israel bahwa Yerusalem telah menjadi ibukota Yahudi selama tiga ribu tahun, kata Abu Sway.
"Sebagian besar narasi adalah reaksi emosional. Narasi harus disiapkan oleh para peneliti, tidak mendadak, atau hanya sebagai reaksi terhadap ancaman," kata Abu Sway. "Ada banyak bukti dalam dokumen dan naskah."
Namun dia mengakui bahwa sulit bagi warga Palestina yang tidak tinggal di Yerusalem untuk mempelajari setiap sejarahnya, termasuk mahasiswa arkeologi di Al Quds University, yang berbasis di Tepi Barat.
"Mereka mempelajari sejarah tentang suatu tempat tapi tidak bisa datang ke tempat tersebut. Bagaimana mereka dapat memiliki wawasan jika hanya dari buku? Mereka benar-benar (terjebak) di sisi lain dinding," kata Abu Sway.
Di sebelah selatan dinding penahan Kota Tua terdapat Silwan, sebuah lembah bersejarah yang dianggap sebagai peradaban tertua di Yerusalem, yang berarti telah menjadi sebuah situs untuk berbagai penggalian, beberapa diantaranya merusak sejarah Islam, menurut Mizrahi.
Pekerjaan arkeologi juga dilaporkan merusak rumah, tapi pemandu tour Yerusalem, Khatib, mengatakan tidak ada pekerjaan yang dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab kerusakan tersebut atau mencatat apa yang telah hilang.
Kurangnya informasi adalah kendala bagi pembuatan pemandu wisata digital situs sejarah Yerusalem, kata Alaa Saffouri, bagian dari tim di LSM Palestina Vision.
"Hal ini sangat penting karena cerita kami sebagai orang Palestina tidak tercatat. Ini mempengaruhi kemampuan kita untuk membela diri," katanya. "Kami selalu dipengaruhi oleh data Yahudi yang penuh rekayasa. Kita menjadi lebih dan lebih menyadari pentingnya mendokumentasikan sejarah."
Saffouri berharap bahwa aplikasi mobile, yang disebut Ziqaq, dapat membantu memberikan perspektif dari Palestina pada sejarah Yerusalem yang dapat digunakan, tidak hanya oleh wisatawan, tetapi juga warga Palestina di luar Jerusalem.
Tetapi Saffouri mengatakan walaupun mereka sedang bekerja untuk membuat informasi yang lebih komprehensif, ia mengatakan bahwa mereka yang menjadi target aplikasi bisa berjuang untuk memanfaatkannya, terutama warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat, yang jarang diberikan izin untuk mengunjungi Yerusalem.
"Ini bisa dimanfaatkan juga untuk akses ke Yerusalem Timur, yang cukup banyak terisolasi. Bagi dunia, itu hanya Yerusalem, yang diklaim sebagai kota Israel. Cerita kita cukup banyak terpinggirkan," kata Saffouri.
Deddy | Anadolu Agency | JurnalIslam