Oleh : Herliana Tri M
Penyakit, baik disebabkan oleh bakteri ataupun virus dapat menimpa siapapun. Tak mengenal status sosial, gender ataupun jabatan. Karena itulah penanganan kesehatan masyarakat tak mengenal strata, semua layak mendapatkan kemudahan kesempatan yang sama.
Dilansir antaranews.com, 23/10/2025 mengabarkan sehubungan dengan maraknya berita cuaca pans ekstrim dan peningkatan kasus ISPA di beberapa wilayah di Indonesia, Dinas Kesehatan Bogor menyampaikan bahwa
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi yang menyerang saluran pernapasan bagian atas maupun bawah, seperti hidung, tenggorokan, dan paru-paru.
Penyakit berlangsung cepat (akut), biasanya kurang dari 14 hari, dan dapat menimbulkan berbagai gejala mulai dari ringan hingga berat.
ISPA disebabkan oleh virus atau bakteri.
Virus: influenza, parainfluenza, rhinovirus, adenovirus, RSV (Respiratory Syncytial Virus), dan coronavirus.
• Bakteri: Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Mycoplasma pneumoniae, dan Bordetella pertussis.
Faktor lingkungan seperti polusi udara, asap rokok, debu, cuaca dingin, dan kepadatan hunian juga meningkatkan risiko terjadi ISPA.
Himbauan ini mengingatkan kita untuk tetap berhati- hati dengan cuaca iklim yang tak menentu. Sulit untuk disebut apakah sekarang ini musim penghujan atau kemarau. silih bergantinya panas yang terik dan curah hujan tinggi tak terprediksi membuat adaptasi tubuh atas cuaca menjadi tantangan tersendiri.
Data ISPA Kota Bogor
Kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Kota Bogor mengalami lonjakan, dengan total kasus mencapai 26.597 kasus pada September 2025. Peningkatan ini menyebabkan Dinas Kesehatan Kota Bogor mengimbau masyarakat untuk meningkatkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), seperti menjaga kebersihan, ventilasi rumah, menggunakan masker, mencuci tangan, dan segera berobat ke fasilitas kesehatan jika mengalami gejala.
Imbauan dari pemerintah ini penting, namun tak langsung membuat masyarakat patuh dsn mengikuti saran tersebut. Bukan karena imbauan tersebut tidak bermanfaat, namun kondisi ekonomi menjadikan masyarakat tak mampu memperlakukan diri secara ideal, bagaimana seharusnya. Kebutuhan ekonomi yang tinggi, menjadikan sebagian masyarakat harus berhemat mengencangkan ikat pinggang, meskipun akhirnya kwalitas gizi tak terpenuhi.
Disisi lain, untuk berobat pun terkadang tidak memiliki waktu luang yang cukup, mengingat untuk mendapatkan layanan kesehatan murah mereka harus siap mengorbankan waktu jam kerja, belum lagi waktu yang cukup lama dalam hal administrasi rumah sakit sampai titik akhir mendapatkan obat.
Kondisi fisik kadang ‘terabaikan’ ditambah kondisi rumah masyarakat kurang layak huni dari sisi kurangnya cahaya matahari masuk karena padatnya rumah penduduk, minimnya ventilasi udara, sempitnya ukuran rumah yang tak sebanding dengan jumlah penghuni di dalamnya, menjadikan penyakit ISPA tak kunjung mereda, bahkan meningkat secara grafiknya.
Pandangan Islam Terkait Kesehatan Masyarakat
Islam tak memilah-milah apakah seseorang itu golongan kaya atau miskin. Kategori miskin maupun kaya tetap berhak mendapat layanan kesehatan terbaik oleh negara sesuai kebutuhan medisnya. Sebab, layanan kesehatan dipandang dalam Islam sebagai kebutuhan dasar (primer) bagi seluruh rakyat.
Dengan demikian negara wajib senantiasa mengalokasikan anggaran belanja untuk pemenuhan kebutuhan kesehatan bagi seluruh warga dan negara tidak boleh melalaikan kewajibannya, negara tidak boleh juga mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada pihak lain, baik kepada pihak swasta maupun pembebanan kepada rakyatnya sendiri.
Sehingga hubungan rakyat dengan penguasa untuk mengurusi kesehatan tak boleh dipandang dengan pendekatan bisnis atau urusan pribadi masing- masing warga negara.
Negara tidak boleh mengkomersilkan hak publik sekalipun ia orang kaya dan mampu membayar. Hal ini karena negara berperan menjamin pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan semua warga negara.
Pelayanan gratis yang diberikan oleh negara, bukan berarti pelayanan secara asal-asalan dan apa adanya. Seperti istilah sekarang ‘wani piro’. Yang bisa diartikan, untuk mendapatkan pelayanan terbaik dibutuhkan biaya besar juga. Ini tak berlaku dalam pelayanan kesehatan Islam. Profesional dalam layanan Kesehatan menjadi bagian dari pengurusan negara untuk rakyat.
Negara wajib menyediakan sarana kesehatan, rumah sakit, obat-obatan, tenaga medis, dan sebagainya secara mandiri. Itu adalah tanggung jawabnya.
Rasulullah Shalallahu alaihi wa Sallam bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari).
Sebagai gambaran, Rasulullah shalallahu alaihi wa Sallam dan kepala negara setelah beliau, melaksanakan sendiri layanan kesehatan. Nabi Shalallahu alaihi wa Sallam (sebagai kepala Negara Madinah) pernah mendatangkan dokter untuk mengobati Ubay. Ketika Nabi Shalallahu alaihi wa Sallam mendapatkan hadiah dokter dari Raja Muqauqis, dokter tersebut Rasulullah jadikan sebagai dokter umum bagi masyarakat (HR Muslim).
Anas ra. menuturkan bahwa serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Mereka jatuh sakit saat di Madinah. Rasulullah shalallahu alaihi wa Sallam selaku kepala negara meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitul Mal di dekat Quba’. Mereka diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai sembuh (HR al-Bukhari dan Muslim).
Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. pernah memanggil dokter untuk mengobati Aslam secara gratis (HR al-Hakim).
Semua itu merupakan dalil bahwa pelayanan kesehatan wajib dilakukan Negara dan bukan yang lain. Negara harus mandiri dan tidak bersandar maupun bekerjasama dengan pihak lain (swasta).
Pada masa penerapan Islam sebagai aturan kehidupan bernegara, hampir setiap daerah terdapat tenaga medis yang mumpuni. Negara tentu sangat memperhatikan penempatan tenaga ahli kesehatan di setiap daerah. Islam tidak membatasi kebolehan pasien menginap selama sakitnya sampai sembuh tanpa dipungut biaya sepeserpun.
Kompetensi Tenaga Medis
Sebagai bagian integral dari sistem kehidupan Islam secara keseluruhan dibangun atas fondasi yang kokoh dan benar untuk menjamin kehidupan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan tanggung jawab dan kewenangan penuh kepada Pemerintah untuk mengelola penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan pendidikan, termasuk pendidikan kedokteran. Tugas mulia ini tidak boleh dilalaikan sedikit pun. Apapun alasannya.
Sistem pendidikan Islam, termasuk pendidikan kedokteran, benar-benar sempurna pada tataran input, proses maupun output. Kebijakan sistem pendidikan bebas biaya. Kurikulum berdasarkan akidah Islam menjadi sebaik-baik jalan lahirnya para peserta didik pendidikan kedokteran, baik dari segi jumlah maupun kompetensi.
Pendidikan kedokteran bebas biaya. Kurikulum pendidikan kedokteran yang berdasarkan akidah Islam mampu melahirkan para dokter yang berkompeten.
Khilafah hanya akan menyelenggarakan pelayanan kesehatan di atas prinsip-prinsip pelayanan atau sosial dan sesuai dengan etik kedokteran Islam. Para dokter yang jumlahnya memadai dengan kompetensi terbaik akan dipekerjakan pada institusi-institusi pelayanan kesehatan dalam negeri. Mereka digaji secara patut dan bertugas sesuai kapasitasnya
Kebijakan negara yang berorientasi pelayanan meniscayakan tersedianya fasilitas kesehatan, sarana prasarananya secara memadai, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Sistem sanksi Islam yang bersifat pencegah-penebus, atmosfir ketakwaan dan kesejahteraan yang melingkupi menjadikan sistem kesehatan benar-benar terjauh dari bahaya petaka malpraktek.
Demikian juga akselerasi riset dalam Islam, potensi intelektual muslim tidak boleh terbajak oleh kepentingan bisnis industri kesehatan. Kehidupan didesain untuk memberdayakan kehidupan manusia, bukan untuk menghidupkan mesin-mesin pemutar uang untuk industri kesehatan ala kapitalis. Kapitalisme telah gagal sebab menjadikan sumberdaya alam bahkan sumberdaya manusia sebagai aset bagi mekanisme putaran pasar atau uang semata.
Dalam model kesehatan Islam, intelektual para ahli di bidang kesehatan difungsikan untuk menginovasi produk-produk kesehatan termasuk obat agar negara mampu melayani seluruh rakyatnya dengan baik. Sekali lagi, ilmu terdedikasi bukan untuk bisnis industri global. Negara punya peran untuk mengurus kemaslahatan rakyat. Tidak semua hal harus dianggap berdasar kacamata bisnis.
Para ilmuwan Islam seperti al-Biruni, Ibnu Sina, dsb sebagai contoh dedikasi ilmu untuk kemaslahatan umat.
Dalam dunia kedokteran, ilmuwan Persia yang dikenal dengan nama Ibnu Sina atau Avicenna, menulis buku terkenal The Canon of Medicine. Ini merupakan buku teks standar yang diajarkan di berbagai universitas di seluruh dunia hingga abad ke-18. Melalui bukunya, Ibnu Sina memperkenalkan: sifat menular dari penyakit menular; penggunaan karantina untuk mencegah penyebaran infeksi; kondisi neuropsikiatri seperti epilepsy, stroke, dan dementia; gejala dan komplikasi diabetes; dan penggunaan uji klinis dalam obat eksperimental.
Kemajuan yang dicapai dalam dunia kedokteran adalah karena umat Islam mengikuti perintah Allah seperti yang tercantum dalam al-Quran dan as-Sunnah dalam menjaga urusan rakyat. Salah satu Hadis Nabi shalallahu alaihi wa Sallam yang terkenal berbunyi, “Tidak ada penyakit yang Allah telah ciptakan, kecuali bahwa Dia juga telah menciptakan pengobatannya.” (HR al-Bukhari).
Keberadaan obat untuk setiap penyakit dan menjaga urusan warga negara mendorong umat Islam untuk membuat kemajuan dalam penelitian medis sebagai dorongan keimanan dan ketakwaan.
Negara Islam akan menumbuhkan semangat rakyatnya untuk meningkatkan kapasitas diri. Di antaranya untuk memberi kontribusi bagi umat, juga melakukan opini publik tentang sistem kesehatan yang merawat dan melindungi kehidupan manusia. Negara mereposisi diri dengan menjalankan pola kehidupan masyarakat sesuai tuntunan Islam, sekaligus membuang pola kehidupan kapitalis dan komunis. Negara mengambil peran besar dalam pengelolaan riset dalam bidang kesehatan, yakni menjadikan arah riset didedikasikan bagi penduduk bumi.
Dalam konsep sistem kesehatan dalam Islam, Negara mengobati pasien penderita wabah secara gratis, profesional dan tidak mendasarkan pelayanan pada ‘kembalinya uang’. Negara justru diwajibkan oleh syariah untuk membantu mereka yang membutuhkan perawatan secara gratis, mengurus kebutuhan warganya dan memastikan bahwa seluruh warganya (baik Muslim maupun non-Muslim) hidup dengan mendapatkan jaminan makanan, tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan. Hal-hal semacam itu merupakan kewajiban umum (fardhu kifayah).
Beginilah gambaran kesehatan ideal yang diberlakukan Islam. Penanganan gratis, cepat dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat menjadikan penyakit tak dibiarkan bertahan lama ada pada masyarakat, apalagi virus yang sifat penyebarannya cepat melalui udara, dibutuhkan penanganan cepat dan memadai sehingga penyakit tak merata menjadi endemik dan pandemi.