Oleh: Rulian Haryadi, Founder Boomboxzine
Lima puluh tahun yang lalu bergumul ide tentang pengambil alihan rezim lokal dan mengekspor pemikiran ke berbagai negeri yang mayoritas Muslim. Dari timur hingga barat politik jihad mencoba mengambil alih kekuasaan dan yang terjadi pada 1979 tiga peristiwa besar muncul. Juhaiman al-Utaibi merapatkan barisannya mengepung Ka’bah, persatuan perlawanan untuk memulai jihad setelah resmi invasi Soviet, dan jatuhnya rezim Persia oleh rakyatnya yang jengah dengan despotnya shah Pavlavi.
Menginjak era 90-an dengan ditandainya peristiwa besar dunia seperti keruntuhan tembok Berlin, jatuhnya Soviet, dan kemenangan Mujahidin di Afghanistan menjadi inspirasi tersendiri bergolaknya ide politik jihad. Ide ini bertransformasi setelah sepuluh tahun para mujahidin berkumpul dari berbagai wilayah menuju Afghanistan. Beberapa aktor penting di era itu mulai dari Kamaluddin as-Sanuari (adik ipar Sayyid Quthb), Abdullah Azzam, Ayman al-Zawahiri, sampai Osama bin Laden turut mempertegas gagasan politik jihad sebagai warna yang eksentrik daripada gerakan Islam yang politik praktis, perebutan ekonomi atau dakwah akar rumput.
Pada masa pertengahan 90-an bermunculan pula kasus-kasus seperti Bosnia, Aljazair dan Chechnya. Hal ini melegitimasi perlunya jihad global sebagai perlawanan alamiyah bagi para tiran (thagut) berhenti memangku kekuasaan. Hal ini tidak main-main pengiriman mujahiddin ke daerah konflik dan pembentukan agency dakwah dan jihad di Iraq oleh al-Qaidah. Pola ini terus bergulir sampai datandainya peristiwa 9/11 pada 2001 hingga Barat dengan tegas mengafirmasi tawaran pemikiran geopolitik dari Samuel Huntington dalam “The Clash of Civilization.”
Berjalannya waktu ide tentang jihad global ala al-Qaida menemui stagnasi di beberapa wilayah seperti Somalia, Mali, dan Yaman. Hadirnya peristiwa revolusi Arab menyapu tawaran jihad global meskipun hal itu harap di tunggangi oleh para jihadis seperti gagasan Abdullah bin Muhammad tentang “Strategi Dua Lengan” yaitu mengarahkan kobaran revolusi Syam dan Yaman. Ide penyatuan secara global yang terburu-buru dan sikap Barat yang masih mengendali kuat di berbagai negeri Muslim menjadikan keroposnya gagasan tersebut. Hadirnya ISIS dengan otomatis memperjelas terlalu dipaksakannya ide penyatuan global yang masih prematur revolusinya.
Ide politik jihad semakin tergesar dengan bermunculannya para mujahidin yang mampu kooptasi wacana politik global. Mengambil simpati negara kafir dan menakan rezim dan pendukungnya untuk melepas digdayanya. Taliban menjadi kelompok yang berhasil menyabet keberhasilan pada 2021. Hal itu juga yang terasa oleh Hayat Tahrir asy-Syam (HTS) di Suriah yang mampu bertahan dari serbuan rezim Assad dan menyeret Turki untuk membantu mujahidin.
Pola politik jihad yang sekarang bisa kita gambarkan seperti apa yang di istilahkan oleh Abu Qatadah al-Filisitini sebagai “Jihadul Ummah.” Sebuah pandangan untuk merebut sebanyak mungkin potensi umat dan memfokuskan diri pada penerapan syariat Islam dalam batas yang terkecil dahulu sehingga pintu jihad terbuka masyarakat/umat bisa sukarela menopang perjuangan. Abdul Rahum Atun juga menegaskan konsep Jihadul Ummah dalam seminarnya di Idlib, Suriah pasca kemenangan Taliban dengan judul “al-Jihad wal Qowamah fii ‘Alami al-Islami Taliban Namudzaj.” Poin dalam seminar itu menegaskan pentingnya berdiplomatik dengan canggih.
Ketika Taliban kembali memerintah, spekulasi atas kebijakan politik luar negeri di khawatirkan menyerang negara-negara tetangga dan memfasilitasi kesuburan para martir. Namun yang terjadi Taliban mempromosikan tentang keamanan, kebebasan berpendapat, dan hak perempuan. Ia memfokuskan distribusi keadilan dengan kerangka syariat Islam dengan cita-cita menjadi negara kuat. Begitupun HTS yang tengah mengambil momen dengan konflik Rusia-Ukraina untuk mengambil simpati masyarakat melihat kepemimpinan yang di tawarkan oleh HTS.
Referensi:
- Aaron Y. Zelin, The Age of Political Jihadism A Study of Hayat Tahrir Al-Sham, (Washington, USA: The Washington Institute for Near East Policy 2022)
- Ali Darwish, Context and power… Points of differences between Taliban and Hayat Tahrir al-sham, https://english.enabbaladi.net/archives/2021/09/context-and-power-points-of-differences-between-taliban-and-hayat-tahrir-al-sham/ , (di akses Mei 2022)
- Conel Bunzel, Abu Qatada al-Filastini: “I am not a Jihadi, or a Salafi”, https://www.jihadica.com/abu-qatada-al-filastini-i-am-not-a-jihadi-or-a-salafi/ , (di akses Mei 2022)