Semakin Otoriter

Semakin Otoriter

Penulis: M Rizal Fadillah (Ketua MAUNG Institute)

JURNISCOM – Perintah Presiden kepada Kapolri untuk menindak mereka yang mendeligitimasi KPU dinilai berlebihan dan menunjukkan sikap emosional. Semestinya jangan bersikap “over protective”. KPU disorot hal yang biasa, itupun karena ada sebab. Publik tak akan mengkritisi jika sesuatunya wajar dan tidak ada yang membuatnya ragu. Setiap langkah tentu dibaca, dianalisis, dan dimungkinkan adanya input untuk perbaikan.

Dugaan pasangan Jokowi Ma’ruf “diselamatkan” oleh KPU mestinya dinetralisisasi. Umumkan saja dengan lantang bahwa “Saya Jokowi sebagai kandidat siap untuk menyampaikan visi misi sendiri dan siap pula untuk berdebat tanpa diberitahu daftar pertanyaan terlebih dahulu”. Nah selesai. Tak akan ada kecurigaan apa apa lagi. Tapi dengan gaya “sradak sruduk” seperti ini, apalagi dengan perintah kepada polisi agar menindak pendelegitimasian KPU, maka muncul dugaan lebih kuat adanya “kerjasama” Jokowi dengan KPU. Disamping makin kental dugaan KPU dan Polisi menjadi alat kepanjangan tangan dari kepentingan pemenangan Jokowi.

Perlu dicermati bahasa “mendelegitimasi KPU” Apa makna dan bukti yang bisa dijadikan acuan ? Fakta yang ada adalah bahwa semua elemen masyarakat menginginkan adanya lembaga KPU yang kuat, mandiri, dan berwibawa. Mengharap menjadi penyelenggara pemilu yang baik sehingga pemilu dapat berlangsung jujur dan adil.
Mengkritisi tidak sama dengan mendelegitimasi. Bila disamakan maka yang terjadi adalah tafsir sepihak. Dengan asumsi telah terjadi “delegitimasi” maka kritik pasti akan dibungkam. Inilah sikap otoriter yang kita haramkan

Pembungkaman dengan memakai alat penegak hukum sama saja dengan merendahkan hukum itu sendiri. Hukum dijadikan subordinat dari kemauan politik. Model demikian bukanlah ciri Negara Hukum (Rechtstaat) tapi wujud dari Negara Kekuasaan (Machtstaat) dan hal ini jelas bertentangan dan menyimpang dari asas yang dianut oleh Konstitusi Negara.

Sikap otoriter hakekatnya menutupi kelemahan diri. Dampak dari jiwa yang penuh dengan ketakutan. Takut kesalahan dibully, takut gagal melewati fase debat, takut mitra tak menunjang, ujungnya ya itu takut kalah dalam pertandingan. Sangat takut kekuasaan jatuh. Petahana memiliki beban psikologis yang lebih berat. otoritarianisme adalah musuh abadi rakyat. Semakin otoriter semakin terbuka dan tergalang perlawanan rakyat yang lebih kuat. Cepat atau lambat.

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.