MYANMAR (Jurnalislam.com) – Aktivis Rohingya mengatakan Aung San Suu Kyi “menolak keberadaan mereka”, setelah pemimpin Myanmar tersebut tidak bisa mengakui sebuah krisis kemanusiaan yang telah mengakibatkan eksodus lebih dari setengah juta pengungsi ke Bangladesh sejak Agustus.
Dalam sebuah pidato pada hari Senin (20/11/2017), Aung San Suu Kyi mengatakan bahwa dunia menghadapi ancaman baru, sebagian karena imigrasi ilegal dan penyebaran “terorisme”. Pidatonya tersebut dikritik karena dia berusaha mengalihkan perhatian dari krisis kemanusian berat Rohingya.
“Hari ini kita menghadapi periode ketidakpastian dan ketidakstabilan global,” kata Aung San Suu Kyi pada pertemuan menteri luar negeri Asia-Eropa ke-13 (Asia-Europe Meeting-ASEM) di Naypyidaw.
“Konflik di seluruh dunia menimbulkan ancaman baru dan keadaan darurat: imigrasi ilegal, penyebaran terorisme dan ekstremisme keras, dan bahkan ancaman perang nuklir.”
Pada bulan Agustus, sebuah tindakan keras militer Budha Myanmar yang kejam, setelah serangan terhadap pos-pos militer, berakibat lebih dari 600.000 Muslim Rohingya melarikan diri yang digambarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai “pembantaian etnis” di negara bagian Rakhine, Myanmar utara.
Aung San Suu Kyi Pidato pada Dunia, Muslim Rohingya: Suu Kyi Pengkhianat!
Digambarkan sebagai “minoritas dunia yang paling teraniaya”, Muslim Rohingya telah puluhan tahun menderita diskriminasi dan pelecehan seksual di tangan tentara Budha Myanmar dan Rohingya juga telah ditolak kewarganegaraannya sejak tahun 1982.
Banyak umat Buddha di Myanmar percaya bahwa Muslim Rohingya adalah orang Bengali yang bermigrasi ke negara tersebut secara ilegal selama pemerintahan Inggris di benua tersebut.
Bereaksi terhadap pidato Aung San Suu Kyi, Ro Nay San Lwin, seorang aktivis Rohingya yang berbasis di Jerman, mengatakan bahwa pernyataannya hanyalah sebuah “penyangkalan terhadap keberadaan kita”.
“Muslim Rohingya diakui sebagai warga negara setelah kemerdekaan pada tahun 1948. Kewarganegaraan kami dirampas pada tahun 1982 oleh rezim militer,” katanya kepada Al Jazeera.
“Ketika partai Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (National League for Democracy-NLD), didirikan pada tahun 1988, banyak warga Rohingya yang mendukungnya,” tambahnya.
“NLD mengeluarkan kartu penduduk yang menyebutkan kata Rohingya,” katanya, menambahkan bahwa empat warga Rohingya berada dalam pemilihan parlemen 1990 bersama partai Aung San Suu Kyi.
Tanvir Chowdhury dari Al Jazeera, melaporkan dari kota perbatasan Cox’s Bazar di Bangladesh tempat berlindung sebagian besar warga Rohingya yang melarikan diri, mengatakan bahwa pidato pemimpin Myanmar itu dipandang oleh banyak orang sebagai “langkah yang sudah direncanakan”.
“Dia mencoba mengubah diskusi utama dari krisis kemanusiaan Rohingya dan isu pembersihan etnis menjadi diskusi tentang krisis imigrasi dan terorisme,” tambah Chowdhury.
“Dia mencoba untuk menyenangkan para militernya, yang mengendalikan perbatasan, pertahanan dan kementerian dalam negeri.”
Menjelang pertemuan para menteri luar negeri di ibu kota Myanmar, Perwakilan Tinggi Uni Eropa Federica Mogherini menekankan perlunya memberikan bantuan kemanusiaan setelah mengunjungi kamp-kamp pengungsi di Cox’s Bazar.
Inilah Kabar Terakhir Pengungsi Muslim Rohingya di Cox’s Bazar, Bangladesh
“Melihat begitu banyak anak kecil merawat bayi-bayi dan anak-anak yang lebih muda adalah hal yang paling mengejutkan saya,” katanya dalam sebuah pernyataan.
Kepala Uni Eropa juga meminta solusi untuk krisis tersebut dan mendukung sebuah rencana mantan kepala PBB Kofi Annan, yang meminta lebih banyak investasi untuk mencapai pertumbuhan yang diarahkan oleh masyarakat dan mengurangi kemiskinan di Rakhine.
Proposal Annan antara lain juga meminta Myanmar untuk memberikan kewarganegaraan kepada Rohingya.
Namun Mogherini dikritik karena tidak menyerukan kekejaman yang dilakukan oleh tentara Myanmar, termasuk sebuah operasi pembunuhan, penyiksaan, mutilasi, pemerkosaan dan pembakaran, sejak 25 Agustus.
Inilah Laporan Terbaru PBB Tentang Serangan Brutal Buddhis Myanmar pada Muslim Rohingya
Lotte Leicht, Direktur Human Rights Watch Uni Eropa, mengatakan bahwa “mengerikan” ketika kepala Uni Eropa “sepenuhnya” gagal untuk mengakui bahwa warga Msulim Rohingya “melarikan diri dari operasi kejahatan militer terhadap kemanusiaan”.
Aung San Suu Kyi mendukung militer untuk menangani krisis Rohingya dalam pernyataan publik pertamanya. Sejak saat itu, partainya telah menyelenggarakan demonstrasi lintas kepercayaan yang oleh para kritikus disebut sebagai “upaya hubungan masyarakat (taktik public relations)”.
Nay San Lwin berkata, “Rohingya bukan imigran tapi warga Myanmar.
“Dia [Suu Kyi] menunjukkan wajah sejatinya bahwa dia menentang warga Muslim.”