ADEN (Jurnalislam.com) – Sedikitnya 12 orang telah terbunuh dan lebih dari 130 orang lainnya terluka di kota Aden, Yaman, dalam bentrokan antara pasukan pemerintah yang didukung oleh Arab Saudi, dan separatis selatan yang didukung oleh Uni Emirat Arab (UEA).
Kementerian Kesehatan Yaman mengatakan sedikitnya empat orang tewas pada hari Senin (29/1/2018) dan delapan tewas pada hari Ahad setelah sayap militer Dewan Transisi Selatan (the Southern Transitional Council-STC), sebuah gerakan politik yang menuntut pemisahan diri untuk Yaman selatan, mengambil alih kendali markas besar pemerintah.
Warga mengatakan kepada Al Jazeera bahwa di distrik Aden di Khormaksar dan Dar Saad, kedua pihak saling melepaskan tembakan berat sepanjang hari, saat jalan-jalan lengang tanpa lalu lintas dan pertokoan serta sekolah masih ditutup.
Seorang saksi mata melaporkan sebuah pertempuran jalanan yang “sengit” antara pasukan yang setia kepada pasukan STC dan pasukan yang setia kepada pemerintah Yaman, yang menyebabkan kepanikan di kalangan warga sipil.
Sementara itu, organisasi bantuan internasional Oxfam mengatakan bahwa kekerasan memaksa mereka untuk menutup kantornya.
Ketegangan meningkat di Aden sejak STC memberi pemerintahan Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi sebuah ultimatum pekan lalu, untuk menurunkan Perdana Menteri Ahmed bin Daghr dan kabinetnya, atau menghadapi penggulingan.
Tuntut Pemerintahan Hadi Lengser, PM Yaman: Kudeta di Kota Aden Didukung oleh UEA
Pemerintah Hadi menolak untuk dipaksa dan kemudian melarang pertemuan umum menjelang tenggat waktu hari Ahad.
Berbicara dari ibu kota Saudi, Riyadh, di mana dia dipaksa mengasingkan dua tahun lalu, Hadi memperbarui seruannya untuk melakukan gencatan senjata, mendesak separatis untuk mengakhiri “kudeta” mereka.
“Pemberontakan dan senjata tidak akan mencapai perdamaian atau membangun negara,” katanya, Senin.
“Pertarungan sesungguhnya dan yang utama adalah dengan Houthi dan masalah lainnya hanya akan mempengaruhi pertempuran utama. Setiap serangan terhadap legitimasi adalah sebuah kudeta.”
Mohammed Ali al-Miqdashi, seorang penasihat militer senior presiden, mengatakan bahwa pemberontakan STC bisa membuat mereka menjadi “musuh”.
“Tidak ada perbedaan antara Syiah Houthi dan kelompok lain yang memberontak melawan pemerintah yang sah, tidak peduli siapa mereka.
“Jika mereka tidak bersama dengan pemerintah yang sah maka mereka memberontak melawan pemerintah dan dianggap musuh seluruh negeri,” katanya.
Perkembangan terakhir di Aden menggarisbawahi meningkatnya ketegangan antara pemerintah Hadi dan UEA.
UEA memasuki perang Yaman pada bulan Maret 2015 sebagai bagian dari koalisi pimpinan Saudi yang berusaha untuk mengambil kembali kekuasaan yang direbut oleh pemberontak Syiah Houthi setelah mereka menguasai sebagian besar negara tersebut, termasuk ibukota Sanaa, pada tahun 2014.
Hampir tiga tahun berlalu, koalisi tersebut gagal mencapai tujuannya memulihkan pemerintahan Hadi.
Arab Saudi mengatakan bahwa mereka “menginginkan keluar” dari perang yang mahal itu, namun UEA telah terlibat dalam konflik tersebut, mengindikasikan perpecahan dalam agenda kedua negara.
UAE telah membiayai dan melatih kelompok bersenjata di selatan hingga kemudian mendirikan penjara dan menciptakan sebuah badan keamanan yang sejajar dengan pemerintahan Hadi, menurut Human Rights Watch.