MYANMAR (Jurnalislam.com) – Otoritas pemilu Myanmar telah melarang anggota parlemen Muslim Rohingya mengikuti jajak pendapat 8 November yang akan dilihat sebagai ujian proses reformasi yang masih muda di negara itu.
Shwe Maung dari partai yang berkuasa Partai Uni Solidaritas dan Pembangunan (Union Solidarity and Development Party/USDP) diblokir mengikuti konstituensi negara bagian Rakhine meskipun terpilih di sana pada tahun 2010 karena pemerintah mengatakan bahwa orangtuanya bukan warga negara Maynmar, sebuah tuduhan yang dia sangkal.
"Kedua orang tua saya menerima Kartu Registrasi Nasional pada tahun 1957 ketika itu adalah satu-satunya identitas kependudukan yang ada," katanya kepada Myanmar Times, Senin (24/08/2015). "Sangat jelas bahwa kami adalah warga negara Myanmar."
Dia menambahkan bahwa dia akan mengajukan banding atas keputusan tersebut.
Dia telah merencanakan untuk maju sebagai calon independen setelah USDP menolak aplikasinya untuk maju atas nama partai.
Dia juga mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang perwira di kepolisian negara itu.
Sebuah kelompok advokasi hak yang terdiri dari anggota parlemen blok perdagangan dari Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations /ASEAN) mengecam keputusan tersebut.
"Tuduhan komisi Pemilihan itu sangat konyol. Ditambah lagi, keputusan ini secara aktif merusak proses demokrasi," kata Charles Santiago, seorang anggota parlemen Malaysia yang menjabat sebagai ketua Parlemen untuk Hak Asasi Manusia ASEAN.
"Hak untuk maju dalam pemilu adalah hak fundamental sebagai mana hak untuk memilih dan tidak bisa dilarang atas dasar agama atau etnis," tambahnya.
Sekitar satu juta minoritas Rohingya telah menghadapi penganiayaan sistematis selama puluhan tahun, tetapi hanya baru-baru ini pemerintah bergerak untuk melarang mereka ambil bagian dalam pemilihan.
Ratusan ribu orang kehilangan haknya awal tahun ini ketika pemerintah menarik dokumen kewarganegaraan sementara, yang dikenal sebagai kartu putih, yang dimiliki oleh banyak warga Rohingya.
Kelompok yang secara linguistik dan etnis berbeda dari mayoritas Buddha Rakhine, secara resmi dianggap sebagai penyusup dari negara tetangga Bangladesh dan disebut oleh sebagian besar warga Myanmar sebagai "Bengali".
Dalam pemilu yang cacat tahun 2010, banyak Rohingya mendukung partai USDP yang didukung militer.
Sejak itu kekerasan komunal yang dipimpin oleh umat Buddha telah memaksa puluhan ribu Rohingya dan Muslim lainnya pergi dari rumah mereka dan menewaskan ratusan Muslim lainnya.
Kekerasan disertai dengan kampanye kebencian terhadap Muslim yang secara populer dipelopori oleh para biksu Budha yang menonjol. Pemrotes juga turun ke jalan untuk menyerukan pencabutan hak Rohingya.
Dalam kasus lain, mereka menuntut pengusiran badan-badan bantuan yang membantu pengungsi Rohingya dan mengutuk inklusi kelompok dalam sensus nasional.
Deddy | Anadolu Agency | Jurniscom