Muslim AS Hadapi Pilihan Sulit dalam Pemilu

Muslim AS Hadapi Pilihan Sulit dalam Pemilu

NEW YORK (Jurnalislam.com) – Saat warga Amerika pergi ke tempat pemungutan suara hari Selasa untuk memilih presiden baru, umat Islam menemukan diri mereka berada di antara batu dan dinding keras.

Itu bukan istilah untuk mengatakan bahwa mereka ragu-ragu, tetapi mereka juga memiliki sentimen yang sama dengan beberapa warga Amerika lain: Mereka percaya bahwa mereka tidak memiliki pilihan yang baik dalam memilih calon untuk mereka dukung.

Pemilih muslim sebagian besar mendukung kandidat Demokrat sejak Presiden Republik George W. Bush menyatakan “perang melawan teror” pada Oktober 2001 dan berakibat negara-negara Islam menanggung beban keputusan itu.

Presiden Barack Obama memenangkan dukungan besar dari 3 juta Muslim Amerika, dengan hampir 89 persen suara untuk Obama pada tahun 2008 dan 85 persen pada 2012, menurut jajak pendapat oleh kelompok advokasi utama Dewan Hubungan Muslim Amerika-Islam (Council on American-Islamic Relations-CAIR).

Tahun ini, data CAIR menunjukkan dukungan lebih condong bagi calon Demokrat Hillary Clinton, yang juga calon perempuan pertama kalinya dari partai besar. Tapi itu bukan keseluruhan cerita.

“Saya tidak berpikir Hillary Clinton adalah calon yang menarik. Pada kenyataannya, fakta bahwa dia hanya ‘menarik’ dibandingkan dengan Donald Trump yang meresahkan,” Sara Zayed, seorang analis teknologi di Wall Street berusia 22 tahun mengatakan kepada Anadolu Agency, Senin (07/11/2016), “Kebijakan luar negerinya juga militan dan sering menyakitkan perempuan dan anak-anak, yang kontras dengan pesannya yang ‘feminis’.”

Perkataan Zayed serupa dengan spektrum luas kelompok pemilih Muslim yang sangat beragam.

Dalam keragaman, mereka memiliki ikatan umum, salah satunya adalah mereka percaya bahwa mereka terjebak antara pilihan yang jelek dan pilihan buruk. Juga, dalam hal mendukung calon presiden, mereka berpikir tentang ummat – komunitas Muslim global – sebanyak mereka memikirkan diri mereka di AS.

Tapi tahun ini, pemilih Muslim berjumlah lebih banyak dari sebelumnya.

Lebih dari 1 juta Muslim telah terdaftar untuk memilih, menurut CAIR. Jumlah itu naik dari 500.000 pada tahun 2012 – menempatkan pemilih Muslim berada dalam posisi memiliki pengaruh nyata yang lebih besar yang dapat menentukan hasil pemilu.

Clinton mengambil sikap. Dalam pertama kalinya dalam kampanye presiden di AS, dia menunjuk direktur penjangkauan Muslim yang bepergian ke seluruh negeri untuk berbicara dengan para pemilih tentang apa yang dipertaruhkan pada hari Selasa.

Selain itu, Clinton memiliki pembantu profil tinggi dan Muslim Huma Abedin, di sisinya. Dia juga mendapat dukungan dari tokoh advokasi terkemuka Rep. Keith Ellison, Muslim pertama yang terpilih duduk di Kongres.

Kebijakan imigrasi Mantan Sekretaris Negara tersebut termasuk menawarkan tempat penampungan untuk pengungsi dalam jumlah yang jauh lebih tinggi, terutama pengungsi dari Suriah. Dia mengusulkan kenaikan 650 persen di atas jumlah 10.000 yang diperbolehkan dari negara yang sedang dilanda perang tersebut.

Sebaliknya, kandidat Partai Republik Donald Trump tidak membuat umat Islam mau mendukungnya.

Pertama, ia menuntut imigrasi garis keras sebagai landasan kampanyenya. Beberapa bulan setelah tahun lalu ia meluncurkan “gerakan” untuk “Membuat Amerika menjadi besar lagi”, Trump mengusulkan “pelarangan total dan lengkap bagi Muslim untuk memasuki Amerika Serikat” dalam reaksinya terhadap pertumbuhan terorisme di AS.

Kemudian pada bulan Maret, Trump mengatakan kepada CNN bahwa “Islam membenci kita”, dan tidak berusaha untuk membedakan antara agama Islam dan kelompok-kelompok ekstremis radikal pinggiran yang dia akui ingin ditargetkan.

Pada Konvensi Nasional Demokrat Juli, Trump menghadapi kritik dari keluarga Gold Star Muslim yang kehilangan anak mereka yang berusia 27 tahun, Capt. Humayun Khan pada tahun 2004 saat ia mengorbankan hidupnya untuk menyelamatkan sesama prajurit di Irak.

Ayahnya, dalam pernyataan pedih bertanya kepada Trump, “Apakah Anda pernah membaca Konstitusi Amerika Serikat?” yang mendapatkan tepuk tangan meriah dari konvensi dan menjadi salah satu sorotan dalam kampanye Demokrat tersebut.

Trump mengabaikan kesempatan untuk menjembatani komunikasi dengan pemilih Muslim tersebut dan malah membalas pahit dengan meremehkan Khan dan menggambarkan istrinya sebagai orang yang tertindas.

Dan Trump tidak pernah meminta berkomunikasi dengan pemilih Muslim dalam beberapa kampanyenya di seluruh negeri. Dialog Trump yang mungkin paling dekat dengan umat Islam adalah ketika ia mengatakan bahwa Muslim “harus bekerja sama dengan penegak hukum” karena “mereka tahu” siapa saja yang memiliki niat buruk.

Beberapa hal itu sebagian menjelaskan mengapa hanya 4 persen dari Muslim yang mengatakan mereka akan mendukung Trump, menurut jajak pendapat CAIR terbaru. Sebaliknya, Clinton mendapat dukungan sebesar 72 persen.

Tapi Sajid Tarar, pendiri Muslim Amerika untuk Trump (American Muslims for Trump), percaya bahwa “mayoritas diam – silent majority” akan membantu menempatkan Trump ke Oval Office. Dan umat Islam harus memainkan peran mereka.

“Pemilu ini lebih besar dari Donald Trump,” kata Tarar kepada Anadolu Agency. “Bendera Amerika telah kehilangan rasa hormat di dunia,” katanya, menempatkan kesalahan tepat di pundak pemerintahan Obama-Clinton.

Trump “datang dengan ide-ide baru” dan “mendiagnosis isu ekstremisme IS,” menurut Tarar.

“Saya setuju dengan tawaran Trump untuk melarang umat Islam datang ke AS.”

Ini adalah posisi yang ironis bagi Tarar, yang berasal dari Pakistan, bila kita menganggap keluarganya sendiri akan dilarang memasuki AS jika kebijakan Trump diberlakukan tiga dekade lalu.

Tarar mengakui Pakistan, negara asalnya, “terkenal dengan terorisme” dan ia tidak ingin orang-orang datang dari sana jika mereka ingin menyakiti AS, “Saya mencintai negeri ini lebih dari hidup saya,” katanya.

Tarar, yang menempuh pendidikan di sekolah hukum di AS dan memiliki real estate, memiliki kata-kata kasar bagi umat Islam yang datang ke AS, mengatakan bahwa mayoritas “tidak memiliki konsep demokrasi.”

Dia tidak terganggu dengan beberapa tuduhan penyerangan seksual terhadap Trump atau komentar cabul yang dikeluarkan calon presiden itu tentang memangsa dan meraba-raba perempuan. Orang-orang Amerika telah mengampuni Bill Clinton, dan mereka akan memaafkan Donald Trump, menurut Tarar.

Sentimen mereka tampaknya berada dalam minoritas.

Amerika terkenal memiliki kenangan pendek tapi pemilih perempuan Muslim yang berbicara dengan Anadolu Agency tidak menginginkan presiden Trump.

“Saya tidak bisa membungkus kepala saya dengan gagasan bahwa ada sekelompok umat Islam yang mendukung kampanye Trump,” kata Hatice Cagla Gunaydin, 21-tahun mahasiswa jurusan hubungan internasional Turki-Amerika di Universitas George Washington.

“Saya tidak melihat bagaimana kampanye dan sentimen Trump selaras dengan prinsip Islam tentang perdamaian, masyarakat, dan keadilan,”

katanya.

 

Bagikan