Oleh: Damai Hari Lubis
(Jurnalislam.com)MK tidak tunduk pada putusan bawaslu perihal pembatalan TMS ( Tidak Memenuhi Sarat ) oleh KPU kepada caleg Gerindra Mirah Sumirat karena merupakan karyawan anak perusahaan BUMN.
Kecil sekali dan bahkan menghinakan MK yang putusannya satu kali serta berkekuatan sama dengan undang – undang RI.
Logika hukumnya bawaslu sekedar perangkat KPU yang bekerja cukup merujuk pada Undang-Undang tentang KPU UU. Nomor 7 Tahun 2017.
Secara hukum pun belum ada yang menggugat pembatalannya ( JR ) khususnya pada pasal 227 hurup p. Tentang larangan pegawai atau pejabat BUMN untuk mendaftarkan diri sebagai caleg.
Andaipun ada penetapan/ putusan MA justru mengecilkan arti dari pada putusan bawaslu, oleh sebab hukum melalui fakta yuridis MA. ( Mahkamah Agung ) membuktikan dalam amar putusan JR No.21 P./ HUM/ Tahun 2017 menyatakan :
“..Bahwa anak perusahaan BUMN merupakan perusahaan BUMN, maka penetapan MA tersebut bukan merupakan dalil MK yang dapat menjadi dasar rujukan atau yurisprudensi membatalkan isi undang undang/ pasal pada undang undang atau menjadi pertimbangan pada amar. Apalagi mutu yuridis secara hirarkis perundang – undangan khusus objek yuridis Permohonan Pembatalan atau uji materi/ JR ke MA adalah lebih rendah daripada objek yang menjadi permohonan/ JR ke MK.”
Kembali kepada pokok permasalahan ulasan , derajat putusan Bawaslu kwalitasnya sangat rendah bila ingin dibandingkan kepada derajat kewenangan , objek dan nilai putusan Mahkamah Agung.
Terlebih jauh lagi bila disanding dengan Mahkamah Konstitusi/ MK. Baik mutu objek sengketa in casu / domein maupun eksisteni dan kelembagaan
Sehingga bila sampai MK membuat putusan yang pertimbangan hukum amar putusannya menggunakan dalil putusan bawaslu, MK mempermalukan diri lembaga mereka serta merupakan cacat yuridis serta cacat keburukan sejarah yang dibuat MK pada tahun 2019 pada era presiden Jokowi
Ketua Divisi Hukum PA 212