Legal Opinion Pembelaan untuk Buni Yani dalam Sidang Praperadilan

Legal Opinion Pembelaan untuk Buni Yani dalam Sidang Praperadilan

HUKUM pidana Indonesia menganut pemisahan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana yang dikenal dengan ajaran dualistis, bukan sebaliknya monoistis.

Tindak Pidana hanya menyangkut perihal ‘perbuatan’ (actus reus), adapun perihal tentang orang yang melakukan perbuatan dan kepadanya dipertanggungjawabkan adalah hal yang lain. Dengan pemisahan ini, maka kesalahan (mens rea) menjadi faktor yang menentukan dalam pertanggungjawaban pidana.

Pertanggungjawaban pidana dilakukan atas dasar hukum tidak tertulis “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld beginsel).

Tegasnya, seseorang yang melakukan perbuatan pidana belum tentu dijatuhi pidana, tergantung apakah orang tersebut dapat dimintakan pidana atau tidak.

Kesalahan sebagai unsur subjektif menuntut adanya kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).

Pada sangkaan terhadap Buni Yani yang didasarkan pada Pasal 28 ayat 2 UU ITE menimbulkan konflik norma dalam penerapan hukum terhadap peristiwa konkrit yang terjadi.

Beberapa aspek penting yang perlu dicermati adalah sebagai berikut:

1. Unsur kesengajaan

Kesengajaan yang dirumuskan dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE adalah bermaksud untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).

Menurut Memorie van Toelicting – yang diikuti selama ini – kesengajaan dalam konteks perbuatan pidana diartikan sebagai melakukan suatu tindakan atau perbuatan yang terlarang secara dikehendaki dan diketahui (willens en wetens).

Perbuatan Buni Yani mengedit video pidato Ahok tidaklah termasuk perbuatan yang dilarang, dengan demikian tidak ada sifat melawan hukum. Pengeditan tesebut tidak mengurangi dan/atau menambah konten aslinya. Buni Yani hanya bermaksud mempertegas adanya kalimat yang dianggapnya (asumsi-bisa benar atau bisa salah) bermasalah dan ternyata benar dikemudian hari asumsinya tersebut telah menjadi peristiwa hukum yang menjadikan Ahok sebagai Tersangka, dan pada saat ini resmi sebagai Terdakwa.

Jadi unsur kesalahan (mens rea) dalam bentuk berkehendak atau bermaksud – sesuai dengan sifat kesengajaan yang dirumuskan dalam Pasal 28 ayat (2) – sebagaimana disangkakan tidaklah terpenuhi.

Bahkan video dimaksud telah menjadi salah satu barang bukti yang sah – telah dilakukan uji Laboratorium Forensik Mabes Polri – pada kasus Ahok yang dituduhkan telah melakukan Tindak Pidana Pasal 156a huruf a atau Pasal 156 KUHP.

Terkait dengan tulisan Buni Yani dalam Akun FB yang dipersoalkan dan menjadi dasar LP dan sangkaan penyidik tidaklah tepat. Pengutipan tsb tidaklah melawan hukum. Buni Yani mengutip – tanpa menyebut kata “pake” – tidak mengurangi makna aslinya dan tidak ada konsekuensi hukum berupa perbuatan yang dilarang.

Dapat dikatakan bahwa pada mulanya ybs dalam posisi melakukan penelitian, untuk mendapatkan masukan berupa pendapat apakah pernyataan Ahok itu baik atau tidak baik menurut standar pemahaman masyarakat awam hukum seperti pula dirinya yang tidak mengetahui apakah perkataan Ahok itu termasuk perbuatan pidana.

Bahkan ybs memberikan link video resmi dari Dinas Kemeninfo Pemda DKI Jakarta. Buni Yani justru menghendaki agar orang dapat melihat dan mendengar perkataan aslinya. Dengan demikian setiap orang justru dapat menilai melalui video tsb, bukan pada konten Akun FB miliknya.

Selanjutnya, delik pada Pasal 28 adalah delik materil yang mensyaratkan adanya akibat.

Syarat adanya akibat juga tidak terpenuhi. Apa yang dilakukan oleh Buni Yani tidak menimbulkan adanya akibat berupa munculnya rasa kebencian atau permusuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE.

Tidak tepat jika adanya aksi unjuk rasa masyarakat dan berbagai pelaporan terhadap Ahok dimaksudkan dalam rumusan terjadinya akibat yang dikehendaki.

Berdasarkan hal-hal tsb di atas maka dengan jelas terlihat tidak ada niat jahat berupa kesalahan (mens rea) dengan sengaja untuk menimbulkan kebencian atau permusuhan sebagaimana disangkakan.

2. Unsur Tanpa Hak
Tanpa hak dimaksudkan ketiadaan alas hak oleh karena itu melawan hukum.

Apa yang dilakukan oleh Buni Yani apabila diobyektifkan perbuatan tsb tidaklah termasuk melawan hukum. Pengunggahan dengan pemenggalan dan termasuk konten dalam Akun FB tidak ada hubungan antara perbuatan yang dilakukan dengan perbuatan yang dilarang dan adanya suatu akibat.

Konklusi :
Sangkaan terhadap Buni Yani tidak memenuhi unsur perbuatan pidana (actus reus) maupun unsur pertanggungjawaban (mens rea).

Oleh karena itu, hakim pada praperadilan harus menetapkan status tersangka kepada Buni Yani adalah tidak sah.

Penulis : DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH. (Ahli Pidana Dewan Pimpinan MUI)

Bagikan