GAZA (jurnalislam.com)— Para pejabat Palestina menuduh rezim penjajah Israel menggunakan isu jenazah tawanan di Jalur Gaza sebagai dalih untuk melanggar gencatan senjata dan memperpanjang keberadaan militernya di wilayah yang hancur tersebut.
Mereka mengatakan, isu jenazah dimanfaatkan Tel Aviv untuk membenarkan serangan baru, menghentikan bantuan kemanusiaan, serta menunda pembukaan kembali perlintasan Rafah dengan Mesir.
Gencatan senjata yang mulai berlaku pada 10 Oktober semula dimaksudkan untuk membuka ruang bantuan kemanusiaan dan menciptakan ketenangan secara bertahap. Namun, Israel justru berulang kali melancarkan serangan udara dan memperketat blokade bantuan.
Antara Selasa malam dan Rabu pagi, tentara Israel menggempur Kota Gaza dengan puluhan serangan udara yang menewaskan sedikitnya 100 warga Palestina dan melukai banyak lainnya.
Militer Israel mengklaim serangan itu merupakan respons atas penundaan penyerahan jenazah warga Israel serta atas terbunuhnya seorang tentaranya di Rafah.
Sementara itu, Gerakan Perlawanan Islam Hamas menyatakan pekan ini bahwa mereka telah menemukan dua jenazah warga Israel tambahan satu di Khan Younis dan satu lagi di kamp pengungsi Nuseirat. Namun sayap militernya, Brigade Al-Qassam, menegaskan tidak akan menyerahkan mereka karena Israel telah “melanggar perjanjian” melalui serangan udara baru di Gaza.
Meski sejumlah alat berat Mesir diizinkan masuk ke Jalur Gaza untuk membantu upaya pemulihan, Israel tetap memblokir masuknya peralatan utama dan tim teknis.
Dengan dua jenazah baru tersebut, Hamas mengatakan kini masih ada 11 jenazah warga Israel yang hilang di Gaza. Pejabat Israel sendiri mengakui hanya memiliki informasi terbatas mengenai sekitar lima jenazah.
Kepala Hamas di Gaza, Khalil al-Hayya, mengatakan pencarian jenazah yang tersisa sangat sulit karena kehancuran parah dan gugurnya para pejuang yang sebelumnya menjaga tawanan.
Sejak gencatan senjata dimulai, faksi-faksi perlawanan Palestina telah menyerahkan 20 tawanan Israel hidup dan sekitar 15 jenazah. Sebagian besar tewas akibat serangan Israel selama perang, sementara lainnya meninggal pada serangan 7 Oktober 2023.
Direktur Pusat Penelitian dan Studi Strategis Arab, Ahmad al-Tanani, menilai Israel sengaja menciptakan kondisi yang membuat pemulihan menjadi mustahil. “Ini telah menjadi dalih politik untuk mempertahankan keadaan tanpa perang dan tanpa perdamaian, serta untuk menghalangi fase kedua dari rencana Presiden Donald Trump,” ujarnya dikutip dari The New Arab pada Kamis (30/10).
Ia menjelaskan, tidak semua jenazah ditahan oleh Hamas. “Sebagian berada di tangan faksi lain, sementara beberapa orang yang mengetahui lokasinya telah gugur,” katanya.
Menurut Al-Tanani, beberapa tawanan Israel kemungkinan tewas akibat serangan udara Zionis terhadap lokasi tempat mereka ditahan. “Israel menolak mengizinkan masuknya peralatan dan tim teknis yang dapat membantu. Padahal faksi-faksi di Gaza telah menawarkan jaminan dan bahkan menyiarkan langsung upaya pemulihan,” tambahnya.
Ia menuduh Israel menyebarkan narasi palsu bahwa perlawanan memanipulasi isu jenazah untuk membenarkan kelanjutan agresinya. Narasi itu, katanya, memberi tentara Israel “kebebasan bergerak” dan melemahkan upaya mediasi Mesir yang berusaha menstabilkan situasi di Gaza.
Analis urusan Israel, Firas Yaghi, menyebut isu jenazah digunakan Tel Aviv sebagai “kartu politik” untuk menghentikan kemajuan menuju tahap selanjutnya dari rencana Trump yang menyerukan penarikan bertahap Israel dari Gaza.
“Netanyahu menggunakan isu ini untuk membenarkan kehadiran militer Israel yang terus berlanjut jauh di dalam Gaza dengan dalih mencari orang hilang,” ujar Yaghi. Ia menegaskan intelijen Israel tahu sebagian jenazah hilang di bawah reruntuhan akibat pemboman besar-besaran.
Pemimpin oposisi Israel, Yair Lapid, bahkan mengakui bahwa pemerintah Netanyahu memanfaatkan isu tersebut untuk kepentingan politik dalam negeri.
Yaghi juga menuding Amerika Serikat mengambil posisi lemah. “Pemerintahan Trump memberi Netanyahu kebebasan bertindak penuh dan menutup mata terhadap pelanggaran gencatan senjata,” ujarnya.
“Jika Washington benar-benar mau menekan Israel, rencana itu bisa saja berjalan meski tanpa penyerahan jenazah. Tapi sejauh ini, AS memilih tidak melemahkan Netanyahu,” pungkasnya. (Bahry)
Sumber: TNA.
 
                     
                            