Ini Aspirasi ANNAS ke Komisi VIII DPR-RI

ASPIRASI ALIANSI NASIONAL ANTI SYI’AH (ANNAS) KE KOMISI VIII DPR-RI
(04 FEBRUARI 2015) RUU PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA (RUU PUB)

1. Dasar penyusunan RUU PUB menurut menteri Agama RI adalah untuk melindungi kebebasan memeluk Agama dan kebebasan menjalankan Agama yang dipeluk dan diyakininya. Hal tersebut merupakan pengejawantahan dari UUD 1945. Disatu sisi kebebasan memeluk Agama mudah untuk difahami dan tidak berada dalam ruang perdebatan. Namun disisi lain kebebasan untuk menjalankan Agama yang diyakini tidak jarang menimbulkan masalah karena kebebasan dengan tanpa memperhatikan kebebasan pihak lain berpotensi menimbulkan gesekan bahkan benturan. Oleh karena itu sebagai landasan filosofinya adalah  cara pandang dan sikap hidup yang tertib dan damai serta tidak mengganggu pihak lain. Dengan kata lain Undang-Undang di samping harus menjamin pelaksanaan keagamaan yang tertib dan damai juga harus mampu mencegah konflik antar umat beragama serta menghukum pelaku yang menciptakan ketidaktertiban, ketidakdamaian dan konflik di masyarakat.
2. Perlindungan umat beragama tidak boleh semata-mata berpijak kepada paradigm “melindungi minoritas” dengan dalih Hak Asasi Manusia. Tapi juga mutlak mesti menghargai dan “melindungi mayoritas” dari kebebasan atau kesewenangan “minoritas” yang dapat menyinggung, melukai, menodai, dan mengusik nilai-nilai serta prinsip dasar Agama umat mayoritas. Hak Asasi Manusia yang digaungkan secara membabi buta untuk melindungi umat minoritas selalu saja selama ini dengan mengabaikan Hak Asasi
Manusia yang juga dimiliki oleh umat mayoritas. Karenanya asas keadilan dan proporsionalitas diharapkan menjadi paradigma dasar dari RUU PUB yang akan disusun. Paradigma lain adalah, bahwasanya asas Ketuhanan Yang Maha Esa seharusnya mendahului dan lebih diutamakan dari asas Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Agama dan kepatuhan kepada Allah SWT harus diutamakan dan mengalahkan otoritas yang
dimiliki manusia. Hak Asasi Manusia harus didasarkan pada hak dan kewajiban yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Bukan sebaliknya Agama yang dikorbankan karena harus tunduk kepada otoritas manusia dengan dalih Hak Asasi Manusia.
3. Sebenarnya ketentuan perundang-undangan kita sudah mengatur yang substansinya adalah perlindungan umat beragama seperti pada UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, Kitab Undang Undang Hukum Pidana khususnya Pasal 156 a, SK Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Dalam Memelihara Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, yang seluruhnya jika dipatuhi dengan baik sudah cukup melindungi. Karenanya RUU PUB yang dirancang harus lebih baik dari aturan yang telah ada. Dalam bentuk penguatan status hukum yang sudah ada dan bagus tersebut, bukan malah mencabut atau mempretelinya. Apalagi jika sekedar memenuhi pesanan lembaga internasional yang syarat dengan berbagai kepentingan dan tidak memahami kehidupan keberagamaan di Indonesia. Penyempurnaan menjadi tidak benar jika dimaksudkan untuk melegalisasi faham-faham sesat (dan menyesatkan) apalagi melindunginya. Atau mengubah faham yang berdasarkan kebudayaan semata, dan atau berupaya agar aliran kepercayaan menjadi suatu Agama.
4. Penodaan Agama disamping yang dirumuskan dengan “..melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu” (Pasal 1 UU No 1/PNPS/1965) atau “pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia” (Pasal 156a KUHP) juga harus memiliki kejelasan detail khusus bagi agama Islam yaitu “bersifat penghinaan, perendahan martabat, atau menghujat Nabi, istri dan keluarganya, serta sahabat-sahabatnya”. Di sisi lain UU PUB harus memberi kewenangan kepada Pemerintah untuk melarang, membekukan, serta membubarkan organisasi yang mengembangkan faham atau ajaran yang dinilai sesat atau menodai suatu agama.

ANTISIPASI PERKEMBANGAN FAHAM SYI’AH
5. faham Syi’ah dengan ideologi imamah yang menjadi rukun iman, al wilayah yang menjadi rukun Islam jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Belum lagi soal melegalisasi perzinahan yang diharamkan Islam atas nama “muth’ah” (kawin kontrak, hanya mengakui khalifah Ali Ra dan menafikan bahkan mengkufurkan dan melaknat Abubakar Ra, Umar Ra, dan Ustman Ra, menghina istri-istri Nabi SAW, meragukan kesempurnaan Al-Qur’an, memiliki hadits-hadits tersendiri, ajaran “taqiyah” (munafik) atau Imam Mahdi yang nanti di hari kiamat akan menyiksa Abubakar, Umar dan Aisyah. Kesesatan ajaran dan pemahaman Syi’ah tersebut diatas. Yang telah mengantarkan MUI Pusat membuat buku perlunya umat Islam “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia”.
6. Syi’ah di Indonesia sering kali dikesankan oleh para tokohnya sebagai “ajaran Islam” yang menitik beratkan kepada masalah mistik dan sufistik. Padahal, Syi’ah adalah lahir dari rahim konflik politik dan berideologi politik serta berjuang untuk mendapatkan kekuasaan politik. Ideologi Syi’ah adalah makar terhadap kekuasaan di dunia Islam. Penipuannya melalui gaung pendekatan mazhab (taqrib), dialog sunni-syi’ah, atau ritual syi’ah yang seolah-olah sama dengan kebanyakan umat Islam di Indonesia, anti Wahabi, serta berpura-pura di front terdepan anti Israel dan Amerika (padahal di belakang bekerjasama dengan Zionis). Syiahisasi berjalan masif melalui berbagai lapangan di Indonesia baik melalui pendidikan, budaya, ekonomi maupun politik. Ironisnya, Kementrian Agama RI pun terperdaya sehingga memberi izin organisasi Syiah dapat bermuktamar di gedung “HM Rasyidi” Kementrian Agama beberapa bulan yang lalu. Sungguh menyakitkan, karena hal sama tidak pernah diberikan kepada organisasi-organisasi Islam yang ada di Indonesia.
7. Perkembangan faham dan gerakan Syi’ah di Indonesia berpotensi menimbukan konflik di masa depan. Sampai saat ini saja sudah terjadi konflik, gesekan, atau ketegangan di berbagai daerah di Indonesia seperti yang terjadi di Sampang, Bondowoso, Jember, Bangil, Pasuruan, Probolinggo, Lombok Barat, Puger Kulon, Pekalongan, Bekasi, Jakarta, Bandung, Surabaya, Makasar, Yogyakarta. Pemerintah harusnya tidak menutup mata akan hal ini. Peristiwa konflik Sunni-Syi’ah di Suriah, Irak, Lebanon, atau di Yaman, harus sudah cukup meyakinkan pemerintah bagi kemungkinan terbuka konflik yang lebih besar di Indonesia jika tidak diantisipasi sejak dini. Karenanya di Mesir tokoh Syi’ah diusir, di Yordania Syi’ah diberangus, di Tunisia dan Aljazair Syi’ah ditolak, di Sudan disamping menutup atase kebudayaan kedutaan Iran serta mengusir diplomatnya, bahkan dinegara tetangga Malaysia dan Brunei sudah sangat tegas melarang Syi’ah.
8. Perkembangan pesat Syi’ah yang masif, ofensif, dan agresif di Indonesia melalui dua lembaga utama Ahlul Bait Indonesia (ABI) dan Ikatan jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) serta berbagai yayasan, majelis ta’lim, dan lembaga lainnya, tidak dapat dipisahkan dari peran utama Kedutaan Besar Iran di Jakarta. Melalui Atase Kebudayaan Kedubes Iran gerakan Syi’ah diarahkan, di koordinasikan, dan dibiayai. Kerjasama Iran-Indonesia bukan  hanya di bidang politik dan ekonomi, akan tetapi telah melebar ke bidang kebudayaan, pendidikan, dan agama. Disinilah titik rawan itu bermula. Lembaga pendidikan yang berafiliasi ke gerakan Syi’ah ditunjang dan dibiayai. Beasiswa disebar ke berbagai perguruan tinggi. Pembentukan Iranian Corner di beberapa kampus. Ratusan atau ribuan orang dikirim dan di didik di berbagai perguruan tinggi di Qom Teheran. Mereka Inilah kader-kader yang diharapkan akan menjadi “Pengawal Revolusi Syi’ah Iran” di Indonesia di masa mendatang. Karenanya demi keselamatan Indonesia maka ANNAS mendesak agar pertama, stop atau hentikan kerjasama Indonesia-Iran di bidang pendidikan, kebudayaan, dan agama. kedua, Segera menutup Atase Kebudayaan Kedutaan Besar Iran di Jakarta. Langkah ini sangat strategis untuk membangun martabat dan memperkuat ketahanan bangsa dari ancaman dan ekspansi ideologi transnasional, Syi’ah Iran.
9. Ekspansi Syi’ah yang dilakukan melalui gerakan intelektual pemikiran bebas dan kritis,
gerakan keagamaan ritual relijius, dan gerakan ideologi progresif membangun pemerintahan Imamah nampaknya masih difahami keliru oleh sebagian kalangan seolah-olah hanya semata diskursus tentang madzhab dalam Islam, padahal kenyataannya jauh lebih dalam dari itu, yakni mengancam keselamatan umat, bangsa, dan negara. Demikian juga Pemerintah Republik Indonesia nampaknya terlalu sederhana melihat Syi’ah dan perkembangannya. Oleh karena itu melalui penyampaian aspirasi ini kiranya Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dapat lebih responsif terhadap apa yang sedang dirasakan oleh umat Islam ini khususnya tentang penyimpangan dan ancaman dari gerakan Syi’ah di Indonesia. DPR RI kiranya dapat memulai melakukan dengar pendapat dengan MUI, Kementrian Agama, Ormas-Ormas Islam, bahkan dengan Kedutaan Besar Iran untuk melakukan langkah-langkah antisipatif dari ancaman gerakan Syi’ah di Indonesia.
10. Selanjutnya DPR-RI sebagai lembaga perwakilan rakyat kiranya dapat berperan dalam mendesak Pemerintah untuk berhati-hati dan tidak melanjutkan kerjasama kebudayaan, pendidikan, dan keagamaan dengan Pemerintah Iran, menutup Atase Kebudayaan Kedutaan Besar Republik Iran, serta secara tegas melarang pengembangan faham sesat Syi’ah. Potensi konflik yang akan terjadi dapat meruntuhkan bangunan utuh NKRI.

KEMEROSOTAN MORAL BANGSA
Berkenaan dengan kemerosotan moral bangsa yang diindikasikan dengan pragmatism politik, korupsi, pemimpin yang tidak bertanggungjawab, mudah berkhianat, munafik, gemar menjual aset negara, atau lainnya bertitik tolak dari kelemahan keyakinan bahwa semua perbuatan itu kelak akan dipertanggungjawabkan di hari akhir nanti. Agama yang dianut belum mampu mencegah kemerosotan nilai-nilai moral. Bahkan ada kecenderungan masalah-masalah keagamaan justru diabaikan. Semua perbuatandi ranah bangsa hanya semata transaksional dalam hubungan sesama manusia saja. Sebenarnya landasannya adalah sekularisme. Oleh karena itu dua hal yang perlu di perhatikan bersama, pertama bagaimana memaksimalkan agar nilai-nilai agama dijadikan dasar pijakan dalam perilaku berbangsa dan bernegara, dan kedua bagaimana agama itu menjadi fungsional bukan hanya ritual dan bersifat individual, harus berfungsi “as a tool of social and political engineering”.

Bandung, 14 Rabiuts Tsani 1436 H/4 Februari 2014 H, Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS),

K.H. Athian Ali M. Da’i, Lc., MA | Ketua ANNAS
Tardjono Abu Muas | Sekretaris
Habib Ahmad Zain Alkaff | Ketua Majelis Syuro ANNAS
K.H. Atip Latiful Hayat, SH. LLM. Ph.D | Ketua Dewan Pakar ANNAS

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.