Indikator Kecerdasan

Indikator Kecerdasan

oleh Budi Eko Prasetiya, SS, (Manajer Griya Quran Al Hafizh Jember)

Kata cerdas sering berkaitan dengan pendidikan. Bahkan kata ini juga yang menjadi salah satu tujuan nasional bangsa Indonesia. Sebagaimana termaktub dalam alinea ke 4 pembukaan UUD 1945.

“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia . . .”

Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah cita-cita luhur dari para pendiri bangsa. Hal tersebut harus didukung oleh pengelola pemerintahan dan seluruh komponen masyarakat yang hidup di dalamnya. Salah satunya dengan membuat kebijakan bidang pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena, melalui pendidikan lah arah bangsa ini terjaga dengan benar.

Kecerdasan biasanya dikaitkan bila seseorang memiliki wawasan luas, yang kemudian dengannya bisa mendapat nilai tertinggi, menempuh pendidikan di universitas ternama, lalu bekerja dan memiliki jabatan strategis di perusahaan bergengsi dengan penghasilan fantastis, serta masih banyak lagi. Cara pandang ini memang tidak sepenuhnya salah. Hal demikian adalah cara termudah untuk mengukur tingkat kecerdasan seseorang. Namun, indikator kecerdasan jangan berhenti sebatas pencapaian secara duniawi dan kebendaan saja.

Sebagai muslim yang menjadi penduduk mayoritas negeri ini, kita harus punya indikator jelas dalam memaknai kecerdasan. Tidak sekedar menjadi pengikut trend pendidikan, tidak mudah kaget dengan arus perubahan yang datang mendadak sehingga mempengaruhi cara bersikap dan mengambil keputusan.

Cara pandang tentang kecerdasan harus menumbuhkan motivasi tentang kehidupan akhirat dan meningkatkan kedekatan kepada Sang Pencipta. Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma,

أَفْضَلُ الْمُؤْمِنِينَ أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَأَكْيَسُهُمْ أَكْثَرُهُم لِلمَوتِ ذِكْرًا وَ أَحْسَنُهُم لَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الأَكْيَاس

“Manusia yang paling utama adalah manusia yang paling baik akhlaknya. Manusia yang cerdas adalah orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling baik dalam mempersiapkan bekal untuk menghadapi kehidupan setelah kematian. Mereka adalah orang-orang berakal.”

Dalam hadis di atas disebutkan bahwa orang yang banyak mengingat kematian termasuk manusia yang cerdas. Mengapa demikian? Karena manusia yang senantiasa mengingat kematian maka ia akan mempersiapkan bekal terbaik dan sebanyak mungkin untuk kehidupan akhirat kelak.

Dengan jabatannya ia pergunakan sebagai bekal ke akhirat. Menjalankan tugas dengan amanah dan memanfaatkan kebijakannya untuk berdakwah, mengajak dalam kebaikan dan mencegah keburukan. Dengan hartanya pula, ia pergunakan untuk mendampinginya kelak di akhirat. Hartanya dipergunakan untuk mendukung dakwah, membiayai pendidikan anak yatim-piatu, menolong kesulitan hidup para dhuafa serta menegakkan kemuliaan agama lewat jihad fi sabilillah.

Seorang sahabat pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling cerdas?” Rasulullah lalu menjawab, “Yang paling banyak mengingat mati, kemudian yang paling baik dalam mempersiapkan kematian, itulah orang yang paling cerdas.” (HR Ibnu Majah, Thabrani, dan Al Haitsami).

Semoga, kita termasuk manusia yang cerdas dan bersungguh-sungguh menyiapkan bekal untuk kembali ke rumah kita yang sesungguhnya di negeri akhirat. Wallahu a’lam

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.