SURIAH (Jurnalislam.com) – Selama dua minggu terakhir, rezim Suriah dan pasukan militer Rusia telah melakukan serangan udara setiap hari menggunakan bom curah yang dilarang secara internasional di daerah yang dikuasai para pejuang di Suriah, menewaskan puluhan warga sipil, menurut Human Rights Watch (HRW), lansir Aljazeera Senin (08/02/2016).
Dalam sebuah laporan yang dirilis pada hari Senin, kelompok monitoring tersebut mengatakan operasi militer bersama itu meluncurkan setidaknya 14 serangan dengan senjata klaster di lima distrik sejak 26 Januari, menewaskan sedikitnya 37 warga sipil, termasuk sembilan anak-anak.
Banyak juga korban yang terluka, kata laporan itu, menambahkan bahwa jumlah total serangan klaster selama periode ini cenderung lebih tinggi.
"Aktivis setempat melaporkan sedikitnya terjadi delapan serangan tambahan," katanya, namun mencatat serangan-serangan tersebut tidak dapat diverifikasi.
Konvensi internasional melarang penggunaan bom klaster sejak tahun 2010 karena dampaknya yang tidak pandang bulu.
Senjata-senjata tersebut menimbulkan ancaman bagi warga sipil karena menyebabkan kerusakan yang luas. Bom-bom yang tidak meledak sering tertinggal setelah serangan.
penggunaan bahan peledak yang intensif terjadi di tengah serangan pemerintah Suriah untuk merebut wilayah dari mujahidin di provinsi Aleppo, Idlib, Damaskus, Homs dan Hama.

Beberapa serangan bom klaster dilaporkan terjadi di distrik utara Aleppo, yang menyebabkan puluhan ribu orang mengungsi ke perbatasan Turki.
HRW mengatakan menerima laporan bahwa di kota Anadan, bom klaster dan senjata lain yang digunakan dalam serangan udara yang juga melanda sebuah rumah sakit lapangan pada tanggal 27 Januari, telah menewaskan seorang perawat.
Pada hari yang sama di distrik tengah Homs, sebuah pesawat menjatuhkan bom klaster di Kafr Laha, sebuah kota di wilayah kekuasaan mujahidin yang dikepung oleh pasukan rezim Nushairiyah Assad dan sekutunya, menewaskan sedikitnya enam orang dan melukai 59 orang lainnya, termasuk 27 anak-anak, laporan dikutip dari seorang wartawan lokal anonim.
Saksi lain memastikan jumlah korban tewas tersebut, kata HRW.
"Saya melihat orang-orang yang dipotong kakinya," wartawan Homs Media Center yang berafiliasi dengan pejuang mengatakan kepada HRW.
"Satu orang kehilangan matanya. Ada beberapa orang yang tergantung antara hidup dan mati. Yang terluka sebagian besar perempuan dan anak-anak. Semuanya terluka akibat fragmen dari peledak, di mata, di kepala, di belakang. Sangat menyakitkan untuk melihat."
Pada halaman Facebook-nya, Homs Media Center melaporkan bahwa pada hari Ahad, kebanyakan perempuan dan anak-anak terluka setelah serangan udara menggunakan bom klaster menghancurkan rumah warga sipil di daerah yang dikuasai oposisi di provinsi ini.
Pada konferensi pers Desember, Igor Konashenkov, juru bicara militer Rusia, membantah tuduhan bahwa angkatan udara mereka telah menimbun bom klaster di Suriah.
Dia mengatakan bahwa, "Penyerangan Rusia tidak menggunakan bom klaster dan tidak ada senjata seperti itu di pangkalan udara Rusia di Suriah".
Namun, Tim Intel Konflik (the Conflict Intelligence Team-CIT), sebuah kelompok aktivis Rusia yang memonitor aktivitas militer Rusia di luar negeri, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa mereka memiliki bukti substansial bahwa Rusia menggunakan berbagai jenis amunisi di Suriah.
"Kami dapat mengkonfirmasi bahwa Rusia memang menggunakan bom klaster, khususnya RBK-500 Shoab-05, RBK-500 AO-2,5RTM dan RBK-500 SPBE," kata Kirill Mikhailov, juru bicara CIT.

"Mereka semua telah difoto dan difilmkan di pangkalan udara Hmeymim di Latakia. Amunisi tersebut terbukti melekat pada jet Rusia, ditempatkan di tanah, dan dalam beberapa kasus ditemukan di wilayah pemukiman."
Elliot Higgins, seorang wartawan Inggris yang fokus pada konflik Suriah, juga telah melaporkan bukti serangan bom klaster milik Rusia di negara ini.
"Kementerian Pertahanan Rusia telah berulang kali menyangkal hal ini, bahkan mengaku tidak ada amunisi seperti itu di pangkalan udara Suriah mereka," katanya kepada Al Jazeera.
"Tapi gambar dari pangkalan udara yang diterbitkan oleh outlet Media Rusia (termasuk) Sputnik dan RT, dan bahkan kementerian pertahanan Rusia dengan jelas menunjukkan senjata-senjata tersebut terdapat di pangkalan.

"Penolakan fakta-fakta yang ada sudah dikenal merupakan kebiasaan Kementerian Pertahanan Rusia. Perbedaan besar sekarang adalah ada lebih banyak informasi publik TERSEDIA yang dapat digunakan untuk fakta memeriksa penolakan dan klaim mereka, agar benar-benar diketahui apa yang sebenarnya dilakukan Rusia. "
Kelompok pemantau, termasuk Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia yang berbasis di Inggris, mengatakan serangan udara Rusia menewaskan sedikitnya 1.000 warga sipil, termasuk lebih dari 300 anak-anak, saat mereka dimulai pada bulan September tahun lalu.
Deddy | Al Jazeera | Jurnalislam