Haji dan Insiden Merah Putih Terbalik

Haji dan Insiden Merah Putih Terbalik

Catatan Haji Jurnalis Islam Bersatu (JITU) #3

SAAT berada di shaf awal di Masjid Nabawi, sebelah saya orang India berperawakan gempal. Azan Ashar masih dua jam lagi, ketika ia pamit berwudhu. “Tolong jaga tempat ini. Nanti saya akan kembali,” pesannya. Tak berapa lama, kakek-kakek berwajah etnis China pun mengikuti jejaknya.

Yang saya kuatirkan saat itu, bagaimana kalau nanti mereka terlalu lama pergi, sedangkan shaf awal ini menjadi incaran banyak orang? Bagaimana saya menjelaskan kepada jamaah yang ingin mengambil tempat itu. Atau kepada kedua orang itu ketika nanti ada yang “menyerobot” tempat mereka?

Apa yang saya khawatirkan terjadi. Seorang Negro bertubuh tinggi besar menduduki tempat si India. Si India sendiri belum kembali, padahal kakek-kakek China tak berselang lama kembali ke posisi semula. Ah, bodo amat… lagian siapa suruh berlama-lama wudhu.

Insiden Bendera Terbalik, KH Cholil Ridwan: Jangan Sampai Nasionalisme Kalahkan Keislaman

Kira-kira 10 menit jelang azan, si India kembali. Mengetahui tempat duduknya dihuni, ia pun tak kalah akal. Duduk di antara saya dan si Negro, menghadap arah berlawanan kiblat. Dan saat iqomat dikumandangkan, bisa dibayangkan bagaimana sesak dan berhimpitannya shaf.

Si Negro protes karena menuding si India memaksakan tempat. Si India membela diri, bahkan menodongkan sikutnya. Si Negro cuma bilang, “Ittaqillah…!” Setelah itu keduanya takbiratul ihram. Begitu selesai salam, si Negro mengulurkan tangan dan disambut senyum si India. Jamaah di samping kanan-kiri mereka—termasuk saya, pun turut senyum lega.

Itu cerita dua hari lalu di Masjid Nabawi. Sementara tadi pagi saat thawaf di Masjidil Haram, ada juga sedikit insiden. Rombongan saya memilih thawaf di lantai atas karena anggota kami ada anak kecil penyandang difable. Tiba-tiba kawan saya bernama Yusuf yang persis di samping saya, diseruduk kursi roda milik jamaah berwajah India, tepat di otot di atas tumit kanannya.

Sontak, Yusuf mengaduh kesakitan sambil berusaha memegang tangan saya agar tidak jatuh. Saya pun menatap si India. “I am sorry… maaf.. maaf,” katanya berulang-ulang sambil menghentikan kursi roda yang di dorongnya.

Yusuf masih kesakitan, tapi sedikitpun tak menatap wajah penyeruduk. Sepertinya ia sudah memaafkan, meski sakitnya tidak tertahan. Sesaat kemudian, thawaf pun berjalan kembali. Si India berlalu meninggalkan saya dan Yusuf yang masih tertatih kesakitan.

***

Ibadah haji dengan segenap kompleksitas masalah di dalamnya memang seringkali menimbulkan kejadian-kejadian yang kurang menyenangkan. Jutaan manusia datang dari beragam negara, bangsa, warna kulit dan bahasa. Meski beragam, tujuan mereka hanya satu: memenuhi panggilan Allah untuk datang ke Tanah Haram serta memproklamirkan tauhid dalam lantunan talbiyah yang berulang-ulang.

Kesamaan itulah mungkin yang membuat berbagai insiden yang kurang mengenakkan dapat berlalu begitu saja tanpa meninggalkan jejak kesumat apalagi perseteruan. Semangat persaudaraan yang dibangun di atas pondasi tauhid membuat para jamaah mudah untuk saling memaafkan dan merelakan haknya. Itulah salah satu yang membuat orang tahan menempuh kerasnya tempaan fisik selama melaksanakan manasik haji di Tanah Suci.

Mahmud Sangaji, Nelayan Sorong yang Berhaji Tahun Ini

Renungan saya tiba-tiba bubar saat saya coba buka-buka kabar berita di tanah air tercinta!

Ada yang mau berencana menggasak zakat untuk sebagai kas negara seperti pajak; ada pula prahara fitnah pembuat hoax yang diarahkan ke kelompok Muslim berjuluk Saracen. Atau, heboh insiden bendera merah putih yang dicetak dengan warna terbalik oleh panitia SEA Games 2017 di Malaysia.

Insiden itu memicu hujatan sengit, terutama di jagat media sosial. Hujatan itu seperti gendang mengiringi pejabat pemerintah yang kemudian ikut-ikutan mengecam. Gayung pun bersambut. Entah benar atau tidak, sebuah screenshot yang beredar mengabarkan warga Malaysia etnis “nganu” (yang jelas bukan Melayu), meneriakkan yel-yel “Indonesia anj*ng!” saat menyaksikan sebuah laga di acara tersebut.

Keresahan pun menyeruak, terutama dari tokoh dan komunitas Muslim. Disengaja atau tidak, insiden itu sepertinya menjadi lahan empuk untuk memperlebar jurang Malaysia-Indonesia, dua negara dengan warga serumpun. Tak hanya rumpun, secara keyakinan, Islam menjadi agama terbesar di kedua negara itu.

Ingatan saya kembali ke tahun 2013 silam, saat meliput kegiatan bersama NGO kemanusiaan Malaysia dan Indonesia di Patani, Thailand. Saat misi selesai, salah satu warga Patani menyampaikan kalimat perpisahan yang mengaduk-aduk emosi. Katanya:

“Terimakasih kepada kakak-kakak sekalian. Orang Patani menganggap orang Indonesia sebagai kakak tertua, dan orang Malaysia sebagai kakak tengah. Pesan kami, tolong jangan lupakan kami… Kalian punya adik bungsu di sini. Kami ini adik bungsu kalian…”

Tahun Ini Yayasan Al-Manarah Al-Islamiyah Hajikan 123 WNI

Istilah kakak tertua, kakak tengah dan adik bungsu menggambarkan bahwa tanpa ada ikatan agama pun, sesungguhnya mereka itu satu keluarga. Apalagi, nyatanya agama mereka juga sama, Islam. Nenek moyang dan orangtua mereka sama, hingga akhirnya badai fitnah kolonialisme kaum kafir Eropa menyekat mereka dalam bilik sempit bernama negara. Sampai detik ini.

Sekat-sekat itulah yang kemudian membuat adik-kakak dan anggota keluarga itu melupakan identitas dan sejarahnya. Yang ada dalam benak mereka adalah kebanggaan dan kehormatan sebagai sebuah negara atau bangsa. Ketika itu diganggu muncul reaksi yang tidak lagi memedulikan identitas dan sejarah tersebut.

Padahal, sekali lagi sekat itu dibuat oleh “perampok” yang datang ke rumah mereka. Setelah puas menguras isi rumah, “perampok” itu merampas sertifikat dan kemudian memecahnya menjadi sekian bagian. Sebelum badannya benar-benar pergi, para “perampok” itu meninggalkan doktrin yang membuat masing-masing merasa bangga dengan pecahan sertifikatnya. Doktrin itu mulai dari undang-undang buatan mereka hingga yel-yel semangat nasionalisme dan kebangsaan—yang hingga kini terus diawasi dari kejauhan.

***

Terlepas dari siapa dan bagaimana penguasanya hari ini, Al-Haramain (Tanah Suci) dengan ritual ibadah haji yang dijalankan, menjadi momentum kebersamaan yang tepat untuk kembali merenung tentang hakikat diri kita sebagai umat yang satu. Memang banyak bertebaran bendera atau syal yang menunjukkan asal negara. Namun saya merasakan hari ini, di sini, negara hanya sebuah sarana untuk membantu menjawab pertanyaan darimana kita berasal. Bukan standar apa yang membuat kita menjadi cinta atau benci.

Penulis: Tony Syarqi | Islamic News Agency (INA)

Bagikan