GAZA (jurnalislam.com)- Sedikitnya 10 warga Palestina dilaporkan meninggal akibat kelaparan di Jalur Gaza yang terkepung, menurut keterangan pejabat kesehatan setempat. Gelombang kelaparan yang kian meluas menambah jumlah korban jiwa akibat malnutrisi sejak pecahnya perang pada Oktober 2023 menjadi 111 orang kebanyakan dalam beberapa pekan terakhir.
Selain korban kelaparan, setidaknya 100 warga Palestina lainnya, termasuk 34 orang yang sedang mencari bantuan, tewas akibat serangan militer Israel dalam 24 jam terakhir, demikian disampaikan Kementerian Kesehatan Gaza pada Rabu (23/7/2025).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa 21 anak di bawah usia lima tahun turut menjadi korban tewas akibat malnutrisi sepanjang tahun ini. WHO juga mengungkapkan bahwa pihaknya tidak dapat mengirimkan makanan ke Gaza selama hampir 80 hari, dari Maret hingga Mei, dan distribusi yang dimulai kembali pun masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan warga.
Dalam pernyataan bersama, sebanyak 111 organisasi, termasuk Mercy Corps, Dewan Pengungsi Norwegia, dan Refugees International, menyatakan bahwa “kelaparan massal” kini menyebar di Gaza, bahkan ketika ribuan ton makanan, air bersih, dan pasokan medis tertahan di luar wilayah tersebut. Upaya kelompok-kelompok bantuan untuk menyalurkan bantuan terus dihambat oleh blokade Israel.
Melaporkan dari Deir el-Balah, Gaza tengah, koresponden Al Jazeera Tareq Abu Azzoum menyebutkan bahwa kelaparan kini sama mematikannya dengan bom.
“Keluarga-keluarga tidak lagi meminta makanan yang cukup, mereka hanya berharap mendapatkan apa pun untuk bertahan hidup,” ujarnya.
Warga Gaza menggambarkan situasi ini sebagai “kematian secara perlahan dan menyakitkan”, akibat kelaparan yang mereka sebut sebagai kondisi yang sengaja diciptakan oleh militer Israel.
Israel diketahui menutup seluruh jalur masuk barang ke Gaza pada Maret, dan baru mulai membuka akses terbatas pada Mei. Bantuan yang masuk pun sebagian besar disalurkan melalui Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF), sebuah organisasi kontroversial yang didukung oleh Amerika Serikat. Namun, skema ini menuai kritik keras dari PBB dan lembaga kemanusiaan karena dianggap tidak netral dan membahayakan warga sipil.
PBB dan lembaga bantuan kemanusiaan menuduh Israel menghambat pengiriman bantuan serta menembaki warga sipil yang mendatangi titik distribusi. Sejak Mei, ratusan warga Palestina dilaporkan tewas saat mencoba mengakses bantuan makanan.
Ross Smith, Direktur Kedaruratan Program Pangan Dunia (WFP), menekankan pentingnya kondisi minimum agar distribusi bantuan dapat dilakukan secara aman.
“Kami tidak bisa bekerja jika ada aktor bersenjata di sekitar titik distribusi dan konvoi kami,” ujarnya.
Perwakilan WHO untuk wilayah Palestina yang diduduki, Rik Peeperkorn, mengatakan bahwa serangan terhadap para pencari bantuan telah menyebabkan rumah sakit yang tersisa di Gaza berubah menjadi “bangsal trauma berskala besar”.
“Kekurangan pangan begitu parah hingga orang-orang tidak dapat lagi menjalankan profesinya, baik jurnalis, guru, maupun staf kemanusiaan kami sendiri,” tambahnya.
Nour Sharaf, seorang dokter asal Amerika yang bertugas di Rumah Sakit al-Shifa, Kota Gaza, mengungkapkan bahwa banyak orang “tidak makan selama berhari-hari dan akhirnya meninggal karena kelaparan.” Ia menambahkan bahwa tenaga medis pun kerap bekerja dalam kondisi lapar, namun tetap menjalankan tugas mereka secara maksimal. (Bahry)
Sumber: Al Jazeera