Digunakan untuk Meneror Muslim Rohingya, Israel Masih Kirim Senjata ke Angkatan Laut Myanmar

Digunakan untuk Meneror Muslim Rohingya, Israel Masih Kirim Senjata ke Angkatan Laut Myanmar

MYANMAR (Jurnalislam.com) – Israel dilaporkan terus menjual senjata canggih ke angkatan laut Myanmar, sebagai bagian dari kekuatan yang digunakan dalam tindakan keras terhadap Muslim Rohingya, menurut harian Israel Haaretz, World Bulletin melaporkan, Selasa (24/10/2017).

“Kapal patroli angkatan laut buatan Israel yang dilengkapi dengan senjata jarak jauh merupakan bagian dari kesepakatan senjata yang diperkirakan bernilai puluhan juta,” tulis Haaretz pada hari Senin (23/10/2017).

Gambar kapal perang yang dilengkapi senjata dirilis oleh tentara Myanmar di media sosial.

Menurut laporan Israel, senjata yang dijual ke Myanmar termasuk rudal Topan yang diproduksi oleh perusahaan Rafael Advanced Defense Systems, yang biasanya memproduksi sistem semacam itu untuk Israel.

India Hadang Pengungsi Muslim Myanmar dengan Kekuatan Militer

AS dan EU masih memberlakukan embargo senjata terhadap militer Myanmar, yang dituduh melakukan kejahatan perang terhadap Muslim Rohingya.

Sejak 25 Agustus, lebih dari 600.000 Rohingya telah menyeberang dari negara bagian Myanmar di Rakhine ke Bangladesh, menurut PBB.

Para pengungsi tersebut melarikan diri dari sebuah operasi kekerasan di mana militer dan gerombolan Buddha Myanmar membunuh pria, wanita dan anak-anak, memutilasi, memperkosa, menjarah rumah dan membakar desa Rohingya. Menurut Menteri Luar Negeri Bangladesh Abul Hasan Mahmood Ali, sekitar 3.000 orang Rohingya tewas dalam tindakan keras tersebut.

Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai kaum Muslim yang paling teraniaya di dunia, telah menghadapi ketakutan yang meningkat sejak ratusan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada tahun 2012.

PBB telah mendokumentasikan pemerkosaan massal, pembunuhan – termasuk bayi dan anak kecil – pemukulan brutal, penyiksaan, mutilasi, dan penghilangan yang dilakukan oleh militer Budha Myanmar. Dalam sebuah laporan, penyidik ​​PBB mengatakan bahwa pelanggaran tersebut mungkin merupakan kejahatan berat terhadap kemanusiaan.

Bagikan