Data dalam Berita: Antara Propaganda dan Bukti

Data dalam Berita: Antara Propaganda dan Bukti

Oleh: Beggy Rizkiyansyah – Anggota Divisi Wacana Publik Jurnalis Islam Bersatu (JITU)

“Tingkat Kemiskinan RI terendah sepanjang sejarah.”

Berita itu dirilis detik.com pada Senin, 16 Juli 2018. Detik.com meliris berita tersebut berdasarkan pemaparan Kepala Badan Pusat Statsitik (BPS), Suhariyanto dalam konferensi pers neraca perdagangan Juni 2018.

“Apakah ini yang terendah, iya (terendah), bisa saya sampaikan kalau dilihat pada tahun Maret 2011 itu persentasenya 12,49%,” kata Suhariyanto di kantor BPS pusat, Jakarta, Senin (16/7/2018).

Tentu tak ada yang salah dengan pemaparan tersebut. Persoalannya adalah cara Detik.com yang menyajikan berita tersebut. Pers bukanlah sekedar pencatat rilis resmi pemerintah. Sekedar menyebarluaskan. Fungsi seperti ini lebih tepat disebut humas ketimbang pers. Fungsi pers sebagai watchdog pemerintah seharusnya membuat Detik.com lebih kritis dan tak sekedar menyampaikan kembali apa yang disajkan dalam bentuk konferensi pers.

Ada banyak hal yang dapat ditelisik dari pernyataan BPS tersebut. Misalnya, berapa nominal garis kemiskinan yang dimaksud BPS? Jika kita membuka data dari BPS, ternyata garis kemiskinan untuk Indonesia sebesar 383.908 rupiah. Atau misalnya untuk provinsi DKI Jakarta adalah 593.208 rupiah. Jumlah ini tentu saja dapat dikritisi. Jika kita merujuk pada pernyataan BPS, maka warga DKI Jakarta dengan penghasilan 600 ribu dapat disebut tidak miskin. Tentu saja jumlah 593.208 ini jika dikomparasikan dengan realitas hidup di Jakarta, adalah jumlah yang sulit dicapai untuk mencapai hidup yang layak.

Survei BPS pun perlu dikritisi. Survei dilakukan setelah pemerintah melakukan gempuran dana bantuan sosial. Peningkatan dana bantuan sosial meroket hingga 87,6 persen dari kuartal I 2017 ke kuarta I 2018. Ada  injeksi yang dilakukan sebelum survei diterapkan. Artinya penurunan angka tersebut bukan karena membaiknya perekonomian, tetapi bantuan temporer yang disalurkan oleh pemerintah.

Penelusuran seperti ini yang seharusnya dilakukan oleh pers. Pers tidak sekedar mencatat dan menulis ulang data mentah. Konteks, latar belakang, dan penelahaan harus dilakukan terhadap data-data yang disajikan sehingga pembaca memahami secara utuh data tersebut.

Fenomena penyajian data dalam berita menjadi pembahasan yang menarik. Seperti diketahui, Detik.com merilis berita berdasarkan data-data yang dipaparkan BPS. Penyajian data dalam jurnalisme menjadi sangat penting, terutama belakangan ini. Terlebih kini muncul istilah jurnalisme data.

Jurnalisme data merupakan satu tren jurnalisme era digital dimana kepekaan terhadap berita dibuat dalam bentuk pemanfaatan big data pada proses penulisan berita. Pemakaian data dalam jurnalisme memperkaya karya jurnalistik itu sendiri. Pemakaian data adalah alat yang sangat kuat yang dapat memperkaya diskusi dan membuka berbagai isu baru. Data-data mampu memberi pijakan kuat dalam argumentasi.

Menurut Stephen Cushion dkk (2016) dalam Data Journalism, Impartiality and Statistical Claims, saat ini data- data bukan saja tersedia untuk memperkaya informasi publik, tetapi juga lebih mudah dikutip karea tersedia khususnya secara daring (online). Oleh sebab itu jurnalisme dituntut untuk lebih terbuka dan transparan, sebagai bentuk praktek jurnalisme yang baik.

Persoalannya adalah masyarakat kita bukanlah masyarakat yang terbiasa dengan angka-angka. (Stephen Cushion dkk : 2016) Fenomena big data saat ini juga harus disikapi secara bijak. Keberlimpahan data harus dilihat sebagai satu alat, bukan tujuan. Tim Harford, seorang jurnalis mengatakan;

“Big data do not solve the problem that has obsessed statisticians and scientists

for centuries: the problem of insight, of inferring what is going on, and figuring out

how we might intervene to change a system for the better. . . “Big data” has arrived,

but big insights have not.” (BBC Trust Impartiality Review: 2016)

Data tak berbicara dengan sendirinya. Data perlu lagi dijelaskan. Konteks data menjadi sangat penting. Persoalannya jurnalis sering kali abai untuk mampu menelaah data. Padahal data amat menolong jurnalis. Anthony Reuben dari BBC menjelaskan nilai tambah jurnalis yang mampu ‘membaca data.’ Menurutnya,

“Being comfortable with numbers sets you apart from many other journalists. It helps you to develop the alarm bells that should go off when PR companies send you bogus research or governments announce figures that do not add up.” (BBC Trust Impartiality Review: 2016)

Sayangnya penyajian data di media massa seringkali melepaskan data tersebut dari konteksnya. Padahal amat penting bagi seorang jurnalis untuk menjelaskan pada pembaca soal konteks data tersebut.

Data dalam jurnalisme bukan hanya tentang keakuratan data, tetapi juga penjelasan tentang data tersebut. Apakah liputan menyertakan penjelasan yang sesuai, penjelasan mengenai angka dalam data dikumpulkan? Apakah memuat analisis yang memberi gambaran lebih luas tentang data tersebut? Akurasi bukan sekedar mengumpulkan fakta yang benar, tetapi jika isunya kontroversial, opini yang relevan juga harus ditampilkan. (BBC Trust Impartiality Review: 2016)

Konteks dari data juga ditekankan dalam BBC Impartiality Review: Making Sense of Statistics (2016);

 “Context is crucial. Without it, statistics can rarely be fully understood by audiences. We

might, for example, observe five fire engines attending a fire. But without the context, how

do we know whether this is a lot of fire engines or a very small number of them? How can

we judge whether their deployment is excessive, stretched too thin or just about right? A

number on its own means nothing. As one person told us:

The power of statistics lies not simply in its ability to summarise numerical data, but

from the ability to make inferences.” (BBC Trust Impartiality Review: 2016)

Pembaca kadang kala perlu konteks yang lebih jelas tentang sebuah data. Pertama, mereka perlu tahu apa pentingnya data tersebut bagi mereka? Kedua, mereka perlu tahu validitas dari angka tersebut. Data pengangguran misalnya dapat memberi kita informasi bahwa kekuatan buruh telah berubah. Statistik kriminalitas dapat memberi kita informasi tentang tingkat keamanan dan keselamatan yang berubah di masyarakat kita. Angka kematian dapat memberi tahu kita kemajuan dalam pengobatan medis dan seterusnya. (BBC Trust Impartiality Review: 2016)

Seringkali angka-angka dalam statistik disimpulkan oleh media dengan istilah yang lebih mudah, seperti “naik dan turun,” “lebih baik dan lebih buruk,” “kemajuan dan kemunduran,” dan sebagainya. Statistik sesungguhnya hanya terlihat bermanfaat dalam jangka panjang, bukan jangka pendek. Dalam jangka pendek, perubahan angka-angka dalam statistik kurang berarti. Angka-angka dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau inflasi misalnya, biasanya relatif stabil dan tak berubah secara drastis dalam jangka pendek.

Simpulan statistik yang berupa “pencapaian’ atau “kemunduran” sebaiknya memang disajikan dengan penjelasan, antara lain; angka dasar statistik tersebut; frekuensi dari peristiwa tersebut; jumlah nyata atau keseluruhan dari simpulan (misalnya angka nyata dari persentase); dan menambahkan konteks dan resiko dari statistik tersebut). (BBC Trust Impartiality Review: 2016)

Penyajian berita statistik pada dasarnya terbagi menjadi tiga; pertama informasi statistik tanpa bukti yang mendukung. Kedua, statistik dengan bukti pendukung dan penjelasan (termasuk konteks) yang memadai. Ketiga, statistik dengan bukti pendukung namun tanpa penjelasan yang memadai. (Stephen Cushion dkk : 2016)

Penyajian statistik dalam berita memang seharusnya memberi pencerahan bukan malah membingungkan. Jurnalis bertugas membantu pembaca memahami isu dengan jelas dan mudah. Persoalannya, statistik seringkali menjadi senjata dalam politik.

Pemerintah sebagai pihak yang berkuasa lebih sering menggunakan statistik sebagai klaim mereka. Hal ini mungkin karena negara didukung oleh lembaga yang berurusan dengan statistik dan membutuhkan statistik untuk kebijakan mereka. Sementara kubu oposisi biasanya lebih lemah dalam penyajian statistik dan hanya reaksi atas klaim yang dilakukan pemerintah. (Stephen Cushion dkk : 2016)

Mirisnya para jurnalis seringkali begitu saja menayangkan statistik baik dari pemerintah maupun oposisi. Mereka hanya menampilkan kedua statistik dari kedua kubu tersebut tanpa memverifikasi dan menjelaskan lebih lanjut. Hal ini akhirnya hanya membuat pembaca kebingungan dan pers kehilangan fungsi statistik sebagai pencerah.

Jika demikian maka amat penting bagi jurnalis untuk bersikap kritis terhadap statistik. Pertama, siapa yang mengatakan? Apa yang mereka katakan? Adakah sumber lain yang mampu memberi perbandingan? Bagaimana data itu dibuat? Apakah tersedia untuk publik? Jika tidak, apa sebabnya?

Pada akhirnya, pertanyaan-pertanyaan, pemahaman akan data, dan penyampaian data beserta konteks akan memenuhi fungsi pers sebagai watchdog, sekaligus memberi penjelasan kepada pembaca. Sehingga pers tak sekedar humas bagi pihak tertentu. Apalagi alat propaganda.

Tulisan ini merupakan Program #MelekMedia dari Jurnalis Islam Bersatu (JITU)

Bagikan

2 thoughts on “Data dalam Berita: Antara Propaganda dan Bukti

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.