Benalu Umat

Benalu Umat
Siapakah yang tidak mengenal Abrahah Al-Asyram tokoh legendaris asal Yaman yang terkenal dengan pasukan gajahnya. Masa kejayaannya ditandai satu hal: Bagaimana caranya memindahkan ibadah Haji bangsa Arab dari Ka’bah di Mekah menuju Al-Qalis, gereja megah di Shan’a, Yaman. Kesombongannya membuat marah para pemuka Quraisy yang tidak terima bila rumah Tuhan mereka (Baitullah) diserupakan dengan Al-Qalis. Akibatnya, Al-Qalis pun dibakar dan diratakan dengan tanah oleh kaum Quraisy. Dari sanalah Abrahah diabadikan sebagai Asbabun Nuzul, surat Al-Fiil.
Muqatil bin Sulaiman meriwayatkan dalam tafsir Ibnu Katsir, “Kemudian Abrahah menyiapkan diri dan pergi dengan membawa pasukan yang cukup banyak dan kuat dengan seekor gajah yang sangat besar, yang diberi nama Mahmud. Dan Najasyi, raja Habasyah juga mengirimkan pasukan untuk hal yang sama.” Kedua rezim itu berencana membalas dendam atas hancurnya Al-Qalis, dengan meluluhlantahkan Baitullah (Ka’bah) di Mekah.
Mentalitas Abdul Muthalib
Sebelum memasuki Mekah, Abarahah berhasil merampas 200 ekor ternak unta milik seorang rezim Quraisy Mekah, Abdul Muthalib. Maka terjadilah perundingan antara Abdul Muthalib dan Abrahah. Abrahah bertanya kepada Abdul Muthalib, “Ada perlu apa wahai Abdul Muthalib?” Abdul Muthalib menjawab, “ Permintaanku adalah agar dikembalikannya 200 ekor unta yang telah engkau rampas.” Padahal Abrahah mengira Abdul Muthalib akan menanyakan perhal Baitullah yang ingin ia hancurkan. Abrahah menjawab, “Ketika aku melihatmu, aku merasa takjub dan segan terhadapmu. Namun, setelah mendengar permintaanmu tadi, semua anggapanku tentangmu menjadi sirna. Engkau sekarang tidak lagi berharga di mataku.”
Abrahah sangat meremehkan Abdul Muthalib dan menganggapnya hina. Sebab ia hanya membicarakan perihal 200 untanya yang dirampas dan tidak menyinggung perihal Baitullah sedikitpun. Abrahah berkata, “Apakah engkau hanya sibuk memikirkan 200 ekor untamu yang dirampas ? Sementara terhadap Baitullah yang menjadi simbol agamamu dan agama nenek moyangmu tidak engkau pedulikan. Sesungguhnya tujuanku ke sini adalah ingin menghancurkan dan meluluhlantahkannya.” Abdul Muthalib menanggapinya, “Sesungguhnya aku hanya pemilik unta-unta itu, sedangkan Baitullah (Ka’bah) itu mempunyai pemilik sendiri (Allah) yang akan selalu mempertahankannya.”
Kemudian Abdul Muthalib kembali kepada kaum Quraisy dan memerintahkan mereka supaya keluar dari Mekah dan berlindung di puncak-puncak gunung karena khawatir akan terkena amukan bala tentara Abrahah.
Respon Abdul Muthalib terhadap Abrahah merupakan sikap pasif dan tidak wajar, yang menggambarkan seorang yang hidupnya karena sesuap nasi. Hanya karena menyambung hidup, anak-anak, unta dan kesenangannya. Dia tidak memedulikan agama Allah dengan asumsi bahwa Allahlah yang akan menjaganya.
Tidak sedikit orang yang bermental seperti Abdul Muthalib dan masyarakatnya yang hidup di zaman ini. Mereka cemas dan tersiksa melihat musuh-musuh Allah menindas umat Islam. Lalu, hanya pasrah dan menyaksikan peristiwa itu dari kejauhan. Padahal sunnah (ketentuan) yang ada sudah jelas, “Hai orang-orang yang beriman jika kamu menolong (agama) Allah niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad: 7)
Mentalitas Abu Jahal
Tatkala perang Badar usai Rasulullah bersabda, “Siapa yang melihat apa yang terhadi dengan Abu Jahal ?” Orang-orang pun berpencar untuk mencarinya lalu dia ditemukan oleh Abdullah bin Mas’ud dalam keadaan sedang menanti detik-detik akhir ajalnya. Lantas Abdullah bin Mas’ud menginjak lehernya dan menarik jenggotnya agar dapat memenggal kepalanya. (Ar-Rahiq al-Makhtum, Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad, Jakarta, Darul Haq, 2013,324)
Dalam sakaratul maut, Abu Jahal bertanya kepada Abdullah bin Mas’ud, “Untuk siapakah kemenangan hari ini ?” Abdullah bin Mas’ud menjawab, “ untuk Allah dan Rasul-Nya, Allah sungguh telah menghinakanmu .” Namun orang yang kejam dan keras kepala itu berkata, “ Sampaikan salam kepada Muhammad bahwa aku tidak menyesali permusuhanku kepadanya, juga saat sekarang. (Abu Mush’ab As-Suri, Perjalanan Gerakan Jihad 1930-2002: Sejarah, Eksperimen dan Evaluasi, Solo, Jazeera, 2009, hal. 207-208)
Setelah percakapan di antara keduanya selesai, Ibnu Mas’ud memenggal kepala Abu Jahal dan membawanya ke hadapan Rasulullah saw., “Wahai Rasululllah saw., inilah kepala musuh Allah, Abu Jahal.” Beliau bersabda, “Benarkah, demi Allah yang tiada tuhan yang haq selain-Nya.” Beliau mengulanginya sampai tiga kali, kemudian bersabda, “Inilah Fir’aun umat Ini.”
Bagaimana Abu Jahal, orang kafir yang telah kalah, jiwanya terancam, menderita kerugian, dan sudah pasti menuju ke neraka, tetap menunjukkan kesombongan, keteguhan, kebanggaan dan dedikasi terhadap apa yang diyakininya, meskipun dia sesat.
Mental seperti Abu Jahal ini masih mendominasi di kalangan elit masyarakat kita dari pemimpin tertinggi sang presiden sampai terendah sang RT. Sudah tahu sesat masih dipertahankan bahkan dengan harga mati sekalipun.
Mentalitas Abullah bin Ubay
Ibnu Ishaq mengatakan, Rasulullah datang ke Madinah yang penduduknya dipimpin oleh Abdullah bin Ubay bin Salul al-Aufi. Tidak seorangpun dari suku Aus dan Khazraj yang berselisih tentang kemuliaannya. Suatu peristiwa yang tidak pernah terjadi sebelum dan sesudahnya, sampai kedatangan Islam. Pengikut Abdullah bin Ubay bin Salul telah menyiapkan mahkota baginya dan akan mengangkatnya sebagai pemimpin mereka. Namun Allah mengutus Rasul-Nya dan mereka tertarik dengan ajaran baru tersebut. Karena itu, Abdullah bin Ubay bin Salul dengki dan berpendapat bahwa Rasulullah saw telah merampas kekuasaan darinya. Tetapi ia sendiri tidak sanggup menahan kaumnya berbondong-bondong memeluk Islam. Ia pun memeluk Islam dengan terpaksa dan terus menyimpan bara kedengkian dan kemunafikan dalam dirinya. (Shirah Ibnu Hisyam I/ 584-585, Dr. Jabir Qamihah, Musuh-Musuh Islam, Jakarta, Qisthi Press, 2004, hal.31)
Dia adalah api dalam sekam. Ia tidak mungkin memerangi Rasulullah saw atau memusuhinya secara terang-terangan, karena mayoritas penduduk Madinah bergabung di bawah panji Islam. Ia juga tidak mungkin tetap dalam kekafiran karena akan mengucilkan dirinya sendiri dalam masyarakat bahkan anaknya sendiri, Abdullah. Namun, ia bisa melakukan tipu daya merencanakan pengkhianatan dan melakukan serangan mematikan pada kesempatan yang tepat. Hingga api dendam dan dengki yang memenuhi rongga dadanya dapat terpadamkan. Agar bisa melakukan itu semua, ia harus menjadi seorang “muslim”. Kedok Islam ini memungkinkannya untuk melakukan serangan sebanyak mungkin pada waktu yang tepat.
Mental seorang Abdullah bin Ubay lebih berbahaya daripada seorang kafir, karena kemunafikan hakikatnya adalah kekafiran. Kemunafikan dilindungi oleh sebuah “benteng” yaitu Islam, meskipun hanya kulit luar belaka. Mental seperti Abdullah bin Ubay paling mendominasi dalam tubuh umat. Kolaborator Yahudi dan Musyrikin, namun tidak pernah dikeluarkan dari status orang Islam. Dia kerap lepas dari jerat hukum Islam, penampilannya meyakinkan, selalu berkata dengan multi makna dan berdiplomasi yang sukar ditandingi.
Apa makna kehadiran mentalitas dari ketiga tokoh di atas? Dalam beragama dan bermasyarakat kita sering melihat mereka yang tangannya berlumuran darah umat, perut mereka penuh dengan uang hasil kemiskinan umat. Sedangkan otak mereka penuh korupsi, kolusi, nepotisme, “sajadah” dan “haram jadah”. Prinsip ketiga mentalitas itu, “tidak bisa memandang kebenaran kecuali bila keluar dari dirinya.”
Dahulu Yudas Eskariot adalah benalu dalam dakwah nabi Isa as. Dahulu sepuluh saudara nabi Yusuf adalah benalu dalam keluarga nabi Ya’kub as, mereka sama baik dalam sejarah dan darahnya. Ada satu Musa dan satu Isa untuk satu Fir’aun, satu Samiri dan satu Yudas. Hari ini, ratusan Yudas, ratusan Samiri bahkan ratusan Fir’aun berkeliaran menjual aset bangsa dan membantai umat Islam. Mereka senantiasa dilindungi konstitusi dalam rangka kerja sama dengan “penadah” dan “penjarah asing.”
Wallahu ‘Alam.
Muntaha Bulqini | Jurnalislam
Bagikan