Pekan Depan, Deklarasi ANNAS Daerah Tasikmalaya

BANDUNG (Jurnalislam.com) – Dirasakan atau tidak, perkembangan ajaran sesat dan menyesatkan Syiah telah menimbulkan kegelisahan di kalangan ummat Islam. Sikap agresif baik langkah keagamaan maupun gerakan politik yang dilakukannya dapat menimbulkan konflik horizontal sehingga dapat merusak aqidah sekaligus membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).   

Untuk menghadang laju penyebaran ajaran sesat Syiah di wilayah NKRI, Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) telah mendeklarasikan dan mengukuhkan pengurus ANNAS di beberapa daerah.  Usai sukses gelaran Deklarasi dan Pengukuhan Pengurus ANNAS Wilayah Kalimantan Timur Daerah Kota Balikpapan, Ahad, 8 Maret 2015 lalu, pekan depan ANNAS Pusat akan Mendeklarasikan dan Mengukuhkan Pengurus ANNAS Wilayah Jawa Barat Daerah Tasikmalaya, pada:

Hari / Tanggal          : Ahad, 22 Maret 2015;  Pkl. 08.00-12.00 WIB

Tempat                     :  Masjid Agung Tasikmalaya – Jawa Barat

Orator                      : 

1.       K.H. Amang Baden (Tokoh Ulama Pondok Pesantren)

2.       K.H. Achef Noor Mubarok (Ketua MUI Kota Tasikmalaya)

3.       K.H. Drs. Ii Abdul Basith (Ketua MUI Kabupaten Tasikmalaya)

4.       Ust. Yahya Zakariya, MA (Jamaah Anshar Syariah)

5.       K.H. Dedi Rahman (Majelis Syuro ANNAS Pusat)

6.       K.H. Aminuddin Bustomi, M.Ag. (Tokoh Aktifis Muda Tasikmalaya)

7.       Ust. Roinul Balad (DDII Jawa Barat)

8.       Drs. H. Syarif Hidayat, M. Si (Tokoh Masyarakat Tasikmalaya)

9.       H. Aef El Hakim (Aliansi Aktifis & Masyarakat Muslim Tasikmalaya)

10.    K.H. Drs. Dedi Zulharman, MA (PUI)

11.    K.H. Athian Ali M. Da’i, Lc. MA (Ketua ANNAS Pusat)

Gelaran Deklarasi ini didukung oleh tidak kurang dari 200 Tokoh Pesantren, Seluruh Santri, Pelajar, Mahasiswa dan Aktifis Islam Se-Tasikmalaya Raya yang mengusung Tema: Ummat Islam Bersatu Melawan Syiah.  Panitia Deklarasi mengundang kaum Muslimin untuk menghadirinya.

Bandung, 14 Maret 2015

Ally | Pers Rilis ANNAS | Jurniscom

 

 

 

Inilah Amerika dari Penyiksaan Hingga Drone Pembunuh

JURNALISLAM.COM – Pemikir konservatif Carl Schmitt pada tahun 1922 mengatakan, “Penguasa adalah orang yang memutuskan adanya pengecualian”, yang berarti bahwa seorang pemimpin bangsa dapat menentang hukum untuk kebaikan yang lebih besar. Meskipun Schmitt yang pernah menjabat sebagai kepala ahli hukum Nazi Jerman dan member dukungan yang tak tergoyahkan untuk Hitler telah rusak reputasinya selama puluhan tahun, hari ini ide-idenya tersebut telah menjadi pengaruh yang tak terbayangkan. Ide-ide Schmitt telah membentuk pandangan kekuasaan Amerika sejak 9/11. Schmitt telah mempengaruhi politik Amerika secara langsung melalui anak didik intelektualnya yaitu Leo Strauss yang, sebagai profesor imigran di University of Chicago, telah melatih arsitek pemerintahan Bush dalam perang Irak, Paul Wolfowitz dan Abram Shulsky.

Ide Schmitt tersebut juga menjadi landasan filosofis bagi pelaksanaan kekuatan global Amerika dalam seperempat abad menyusul berakhirnya Perang Dingin. Washington telah menciptakan masyarakat hukum dan perjanjian internasional modern, namun sekaligus berhak menentang hukum-hukum yang dibuatnya sendiri tersebut. Seorang penguasa yang berdaulat, menurut Schmitt, harus membuang hukum dalam keadaan darurat nasional. Jadi Amerika Serikat, sebagai negara adidaya terakhir planet ini, atau, dalam istilah Schmitt, berdaulat global, dalam beberapa tahun ini berulang kali mengabaikan hukum internasional, mengikuti aturan tidak tertulis yang dijalaninya sendiri untuk pelaksanaan kekuasaan dunia.

Sama seperti kedaulatan menurut Schmitt yang suka memerintah dalam keadaan pengecualian tak berujung tanpa konstitusi untuk kekayaannya, Washington kini melanjutkan Perang Teror tak berujung yang tampaknya merupakan pengecualian dalam hukum internasional: pembunuhan tak berujung, pembunuhan tak terjangkau hukum, pengawasan menyeluruh, serangan drone yang menyimpang batas-batas nasional, penyiksaan, dan kekebalan dengan alasan rahasia negara. Banyaknya pengecualian bagi Amerika hanyalah permukaan dari manifestasi yang terus berkembang dari negara Amerika. Didukung dengan biaya lebih dari satu triliun dolar sejak 9/11, tujuan dari aparat besar ini adalah untuk mengontrol domain rahasia yang menjadi arena utama persaingan geopolitik di abad kedua puluh satu ini.

Drone, Bukti Aksi Terorisme AS di Dunia Muslim

Seharusnya ini menjadi jalan yang menggelegar dan membingungkan bagi sebuah negara yang memelihara ide, dan menulis aturan untuk sebuah komunitas negara-negara internasional yang diatur oleh aturan hukum. Pada Konferensi Perdamaian Den Haag Pertama pada tahun 1899, delegasi AS, Andrew Dickson Putih, pendiri Universitas Cornell, mendorong terciptanya Pengadilan Arbitrase (Perwasitan) Tetap dan membujuk Andrew Carnegie untuk membangun Istana Perdamaian yang monumental di Den Haag sebagai markasnya. Pada Konferensi Den Haag II pada tahun 1907, Menteri Luar Negeri Elihu Root mendesak agar konflik internasional masa depan diselesaikan oleh pengadilan ahli hukum profesional, sebuah ide yang terealisasi ketika Mahkamah Agung Internasional didirikan pada tahun 1920.

Setelah Perang Dunia II, AS menggunakan kemenangannya untuk membantu menciptakan PBB, mendorong diadopsinya Deklarasi Universal atas Hak Asasi Manusia, dan meratifikasi Konvensi Jenewa untuk masalah kemanusiaan dalam perang. Ditambah dengan inisiatif lain seperti Organisasi Kesehatan Dunia, Organisasi Perdagangan Dunia, dan Bank Dunia, kita telah cukup banyak memiliki seluruh infrastruktur untuk sebuah “masyarakat internasional.”

AS tidak hanya memainkan peran penting dalam menulis aturan baru bagi masyarakat itu, tetapi juga segera mulai melanggar aturan tersebut. Di samping itu, meskipun kemudian muncul Negara adidaya lainnya yaitu Uni Soviet, Washington pada saat itu merupakan sebuah dunia yang berdaulat dan bisa memutuskan pengecualian untuk aturan mereka sendiri, terutama dengan prinsip dasar kedaulatan. Saat AS berjuang untuk mendominasi seratus negara baru yang muncul tepat setelah perang, yang masing-masing memiliki cita-cita kedaulatan mutlak, Washington membutuhkan cara baru untuk memproyeksikan kekuatan di luar diplomasi konvensional atau kekuatan militer. Akibatnya, operasi rahasia CIA menjadi jalan intervensi dalam tatanan dunia baru di mana Anda bisa atau setidaknya tidak harus campur tangan secara terbuka.

Pengecualian yang benar-benar penting muncul dari keputusan Amerika untuk bergabung dengan spionase setelah Perang Dunia II. Sebuah prosesi yang oleh mantan mata-mata John Le Carré disebut sebagai “jorok, bodoh, sia-sia, pengkhianat … sadis, dan pemabuk.” Sebelum CIA diciptakan pada tahun 1947, Amerika Serikat tidak menguasai dunia intelijen. Ketika Jenderal John J. Pershing memimpin dua juta tentara Amerika ke Eropa selama Perang Dunia I, AS adalah satu-satunya pasukan yang tidak memiliki layanan intelijen. Meskipun Washington membangun aparat keamanan substansial selama perang itu, namun kaum konservatif Partai Republik dengan cepat membubarkannya selama tahun 1920-an. Selama beberapa dekade, dorongan untuk memotong atau menghambat dinas rahasia tersebut tetap kokoh, seperti ketika Presiden Harry Truman menghapuskan pendahulu CIA, yaitu Office of Strategic Services (OSS), setelah Perang Dunia II atau ketika Presiden Jimmy Carter membubarkan 800 operasi rahasia CIA setelah Perang Vietnam.

Namun perlahan-lahan domain rahasia di dalam pemerintah AS telah tumbuh secara diam-diam sejak awal abad kedua puluh hingga saat ini. Dimulai dengan pembentukan FBI pada tahun 1908 dan Intelijen Militer pada tahun 1917. CIA dibentuk setelah Perang Dunia II bersama dengan sebagian besar lembaga utama yang membentuk US Intelligence Community, termasuk Badan Keamanan Nasional (NSA), Badan Intelijen Pertahanan (DIA), dan yang terakhir pada tahun 2004, Kantor Direktur Intelijen Nasional. Jangan salah: ada korelasi yang jelas antara rahasia negara dan penegakan hukum – saat salah satu tumbuh, yang lain pasti menyusut.

Tidak dapat dibantah bahwa masuknya Amerika ke dunia spionase ini dimulai ketika Presiden Truman mengerahkan CIA yang baru dibentuknya untuk membendung subversi Soviet di Eropa. Eropa kental dengan mata-mata dari setiap kelompok: fasis yang gagal berkuasa, calon komunis, dan segala sesuatu yang berada di antara fasis dan komunis. Diperkenalkan untuk memata-matai oleh “sepupu” British-nya, CIA segera menguasai sebagian Eropa dengan membentuk ikatan dengan jaringan mantan mata-mata Nazi, operasi fasis Italia, dan puluhan agen rahasia di benua tersebut.

Sebagai kekuatan berdaulat yang baru di dunia, Washington menggunakan CIA untuk menegakkan pengecualian bagi dirinya yang mereka pilih sendiri dalam aturan hukum internasional, khususnya prinsip inti kedaulatan. Selama dua periode, Presiden Dwight Eisenhower mengesahkan 104 operasi rahasia di empat benua, difokuskan terutama untuk mengendalikan banyak negara baru yang muncul dari abad kolonialisme. Pengecualian Eisenhower untuk AS termasuk pelanggaran kedaulatan nasional secara terang-terangan seperti mengubah Burma utara menjadi batu loncatan untuk mengagalkan invasi dari China, mempersenjatai pemberontakan regional untuk memecah belah Indonesia, dan menggulingkan pemerintah terpilih di Guatemala dan Iran. Pada saat Eisenhower meninggalkan kantor pada tahun 1961, dinas rahasia seperti memperoleh mistik yang kuat di Washington bahwa Presiden John F. Kennedy akan mengotorisasi 163 dari mereka dalam tiga tahun yang mendahului pembunuhan. >>sehingga ia harus dibunuh ??

Saat seorang pejabat senior CIA ditugaskan ke Timur Dekat di awal 1950-an, agen rahasia ini kemudian melihat setiap pemimpin muslim yang tidak pro-Amerika “diakui resmi secara hukum sebagai target berdasarkan undang-undang aksi politik CIA.” Kebijakan ini diterapkan pada skala global dan bukan hanya untuk umat Islam, sehingga menghasilkan “gelombang terbalik” yang berbeda dalam tren global menuju demokrasi 1958-1975, seperti kudeta – kebanyakan dari mereka diberi sanksi oleh AS – sehingga memungkinkan orang militer untuk merebut kekuasaan di lebih dari tiga lusin negara, yang mewakili seperempat dari negara-negara berdaulat di dunia.

“Pengecualian” bagi Gedung Putih juga menghasilkan sikap AS yang sangat bertentangan terkait penyiksaan sejak tahun-tahun awal Perang Dingin dan seterusnya. Di depan publik, Washington menentang tindakan penyiksaan dan tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB pada tahun 1948 dan Konvensi Jenewa tahun 1949. Namun secara bersamaan dan diam-diam, CIA mulai mengembangkan teknik penyiksaan baru yang cerdik dan bertentangan dengan konvensi-konvensi internasional yang mereka ciptakan. Setelah penelitian berlangsung satu dekade, CIA ternyata merumuskan metode baru penyiksaan psikologis dalam buku manual pegangan pengajaran rahasia, “Interogasi Kontra Intelijen KUBARK,” yang kemudian disebarluaskan dalam Komunitas Intelijen AS dan agen keamanan sekutu di seluruh dunia.

Sebagian besar penyiksaan yang identik dengan era pemerintahan otoriter di Asia dan Amerika Latin selama tahun 1960 dan 1970-an tampaknya berasal dari program pelatihan AS yang memberikan teknik canggih, peralatan up-to-date, dan legitimasi moral untuk berlatih. Dari tahun 1962 sampai 1974, CIA bekerja melalui Kantor Keamanan Publik (OPS), yaitu sebuah divisi dari US Agency for International Development yang mengirim penasihat polisi Amerika ke negara-negara berkembang. Didirikan oleh Presiden Kennedy pada tahun 1962, hanya dalam waktu enam tahun OPS tumbuh menjadi sebuah operasi anti-komunis global dengan lebih dari 400 penasihat polisi AS. Pada tahun 1971, ia telah melatih lebih dari satu juta polisi di 47 negara, termasuk 85.000 di Vietnam Selatan dan 100.000 di Brasil.

Tersembunyi dalam upaya OPS besar, pelatihan interogasi CIA menjadi identik dengan pelanggaran hak asasi manusia yang serius, terutama di Iran, Filipina, Vietnam Selatan, Brasil, dan Uruguay. Amnesty International mendokumentasikan penyiksaan yang tersebar luas, yang biasanya dilakukan oleh polisi setempat, di 24 dari 49 negara yang menjadi tuan rumah bagi pelatihan polisi dari tim OPS. Untuk melacak penyiksaan di seluruh dunia, Amnesty mengikuti jejak program pelatihan CIA. Secara signifikan, penyiksaan mulai surut ketika Amerika berpaling secara tegas menentang praktek-praktek penyiksaan pada akhir Perang Dingin.

Meskipun otorisasi CIA terhadap pembunuhan, intervensi terselubung, pengawasan, dan penyiksaan dibatasi saat berakhirnya Perang Dingin, serangan September 2001 memicu ekspansi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam skala komunitas intelijen dan membangkitkan kembali pengecualian eksekutif bagi AS. Dalam dekade pertama, Perang Melawan Teror secara rakus dan bernafsu menghasilkan – yang oleh Washington Post diberi julukan “cabang keempat” pemerintah federal AS – 854.000 petugas keamanan, 263 organisasi keamanan, lebih dari 3.000 agen intelijen swasta dan publik, dan 33 kompleks keamanan baru – keseluruhannya berjumlah total 50.000 laporan rahasia intelijen pada tahun 2010.

Pada saat itu, salah satu anggota terbaru dari Komunitas Intelijen, yaitu Badan National Geospatial-Intelligence, telah memiliki 16.000 karyawan, diberi anggaran $5 miliar, dan membangun markas besar-besaran senilai hampir $2 milyar di Fort Belvoir, Virginia – yang semuanya bertujuan untuk mengkoordinasikan banjir data pengamatan yang mengalir dari drone, pesawat mata-mata U-2, Google Earth, dan satelit yang mengorbit.

Menurut dokumen whistleblower Edward Snowden yang bocor ke the Washington Post, AS menghabiskan $ 500.000.000.000 pada badan-badan intelijen dalam belasan tahun setelah serangan 9/11, termasuk alokasi tahunan pada tahun 2012 sebesar US$11 miliar untuk Badan Keamanan Nasional (NSA) dan $15.000.000.000 untuk CIA. Jika kita menambahkan $790.000.000.000 yang dikeluarkan bagi Department of Homeland Security ke dalam $500.000.000.000 yang dianggarkan untuk intelijen luar negeri, maka Washington telah menghabiskan hampir $ 1,3 triliun untuk membangun sebuah “negara-rahasia-dalam-negara” dengan ukuran dan kekuasaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Saat rahasia negara ini membengkak, kedaulatan di dunia memutuskan untuk mengatur beberapa pengecualian yang luar biasa bagi kebebasan sipil di rumah dan di luar negeri. Yang paling mencolok adalah menggunakan CIA metode penyiksaan tersangka teroris yang baru dan terkenal saat ini dan mengatur jaringan global penjara rahasia, atau “situs hitam,” yang berada di luar jangkauan pengadilan atau otoritas hukum. Seiring dengan pembajakan dan perbudakan, penghapusan penyiksaan telah lama menjadi masalah utama ketika berhadapan dengan aturan hukum internasional. Begitu kuatnya prinsip ini hingga Majelis Umum PBB dengan suara bulat pada tahun 1984 setuju untuk mengadopsi Konvensi Menentang Penyiksaan. Namun ketika tiba saatnya untuk meratifikasi konvensi itu, Washington ragu-ragu sampai akhir Perang Dingin ketika akhirnya mereka kembali mengadvokasi keadilan internasional, berpartisipasi dalam Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia di Wina pada tahun 1993 dan, setahun kemudian, meratifikasi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan.

Tapi kemudian, Washington memutuskan untuk melakukan beberapa pengecualian untuk negaranya sendiri. Hanya setahun setelah Presiden Bill Clinton menandatangani Konvensi PBB, agen CIA mulai menyambar tersangka teror di Balkan, beberapa dari mereka adalah warga Mesir, dan mengirim mereka ke Kairo, di mana penguasa yang menyetujui penyiksaan bisa melakukan apa pun yang mereka inginkan di penjara-penjaranya. Mantan Direktur CIA George Tenet kemudian bersaksi bahwa, pada tahun-tahun sebelum 9/11, CIA mengirim sekitar 70 orang ke luar negeri tanpa ekstradisi resmi – dalam sebuah proses yang disebut “rendisi luar biasa” yang secara eksplisit telah dilarang dalam Pasal 3 Konvensi PBB.

Tepat setelah bangsanya terguncang akibat serangan 11 September 2001, Presiden George W. Bush memberi perintah rahasia secara luas kepada stafnya untuk menggunakan penyiksaan, seraya menambahkan (dalam versi Schmitt), “Saya tidak peduli apa yang dikatakan para pengacara internasional, kita akan menendang beberapa keledai.” Dalam semangat ini, Gedung Putih memberi wewenang kepada CIA untuk mengembangkan matriks global penjara rahasia, serta armada pesawat untuk menculik tersangka teroris dan jaringan sekutu yang bisa membantu merebut para tersangka dari negara mereka yang berdaulat dan mengirim mereka ke salah satu dari delapan lokasi lembaga situs hitam supranasional yang membentang mulai dari Thailand ke Polandia atau menjebloskannya ke mahkota permata sistem tersebut, yaitu Guantanamo, sehingga mereka akan berhasil menghindari hukum dan perjanjian yang telah disepakati mengenai konsep dasar kedaulatan teritorial.

Setelah CIA menutup situs hitam pada 2008-2009, kelompok yang berkolaborasi di penjara global tersebut mulai merasakan kekuatan hukum atas kejahatan mereka terhadap kemanusiaan. Di bawah tekanan Dewan Eropa, Polandia memulai penyelidikan kriminal yang berlangsung di tahun 2008 saat menjadi petugas keamanan yang memfasilitasi penjara rahasia CIA di timur laut negara itu. Pada bulan September 2012, Mahkamah Agung Italia menegaskan kesaksian 22 agen CIA yang membawa secara ilegal tahanan Mesir, Abu Omar, dari Milan ke Kairo, dan memerintahkan pengadilan bagi kepala intelijen militer Italia atas berbagai tuduhan yang membuatnya dijatuhkan hukuman 10 tahun penjara. Pada tahun 2012, Scotland Yard membuka penyelidikan kriminal agen MI6 yang menyerahkan pembangkang Libya ke penjara Kolonel Gaddafi untuk disiksa, dan dua tahun kemudian Pengadilan Tinggi mengizinkan beberapa orang Libya mengajukan gugatan perdata terhadap MI6 untuk penculikan dan penyiksaan.

Tapi tidak demikian bagi CIA. Bahkan setelah Laporan Penyiksaan Senat tahun 2014 secara rinci mendokumentasikan kejamnya penyiksaan CIA, tidak ada sanksi pidana atau perdata terhadap mereka yang memerintahkan penyiksaan atau orang-orang yang melakukan penyiksaan. Dalam editorial yang kuat pada tanggal 21 Desember 2014, New York Times bertanya “apakah bangsa hanya akan berdiri dan membiarkan para pelaku penyiksaan memiliki kekebalan abadi.” Jawabannya, tentu saja, adalah iya. Kekebalan adalah salah satu pengecualian yang paling penting bagi “sang penguasa.”

Saat Presiden Bush menyelesaikan masa jabatan keduanya pada tahun 2008, penyelidikan oleh Komisi Ahli Hukum Internasional menemukan bahwa mobilisasi CIA terhadap badan-badan keamanan sekutu di seluruh dunia telah menyebabkan kerusakan serius pada aturan hukum internasional. “Eksekutif … dalam keadaan apapun tidak seharusnya memaksa situasi krisis untuk menghilangkan korban pelanggaran hak asasi manusia… terhadap… akses keadilan bagi mereka,” rekomendasi Komisi setelah mendokumentasikan adanya pencabutan kebebasan sipil di sekitar 40 negara. “Kerahasiaan dan pembatasan bagi Negara tidak harus menghambat hak pemulihan akibat pelanggaran hak asasi manusia.”

Masa pemerintahan Bush juga memperlihatkan penolakan Washington terhadap aturan hukum yang paling mencolok. Saat Pengadilan Pidana Internasional (ICC) yang baru dibentuk diselenggarakan di Den Haag pada tahun 2002, Gedung Putih yang dipimpin Bush “merubah-penandatanganan” atau malah “me-menandatangani” perjanjian PBB untuk menciptakan pengadilan dan kemudian melakukan upaya diplomatik yang berkelanjutan untuk mengimunisasi operasi militer AS terhadap surat perintah tersebut. Ini adalah pelepasan yang luar biasa bagi bangsa yang telah menghembuskan konsep pengadilan internasional menjadi nyata.

Presiden Eisenhower dan Bush memutuskan pengecualian yang melanggar batas-batas nasional dan perjanjian internasional, sedangkan Presiden Obama menggunakan hak prerogatifnya yang luar biasa dalam domain kedirgantaraan dan dunia maya yang tak terbatas.

Cara Eisenhower dan Bush maupun Obama merupakan masalah konflik militer yang baru dan tidak dapat diatur yang jauh melampaui rubrik hukum internasional dan Washington yakin dapat menggunakannya sebagai tuas Archimedes mereka untuk kekuasaan global. Sama seperti ketika Inggris memerintah dari laut dan Amerika yang menjangkau secara global melalui kekuatan udara sesudah perang, saat ini Washington menganggap kedirgantaraan dan dunia maya sebagai alat untuk mendominasi di abad kedua puluh satu ini.

Di bawah Obama, drone berkembang dari sebuah perangkat penunjang taktis di Afghanistan menjadi senjata strategis bagi pelaksanaan kekuasaan global. Sejak 2009 hingga 2015, CIA dan Angkatan Udara AS telah mengerahkan lebih dari 200 armada drone Predator dan Reaper, meluncurkan 413 serangan di Pakistan saja, dan telah menewaskan sebanyak 3.800 orang. Setiap Selasa di Situation Room Gedung Putih, sebagaimana New York Times melaporkan pada tahun 2012, Presiden Obama mengulas “daftar pembunuhan” pesawat tak berawak CIA dan menatap wajah orang-orang yang ditargetkan untuk dapat dibunuh dari udara. Dia kemudian memutuskan, tanpa prosedur hukum, siapa yang akan hidup dan siapa yang akan mati, bahkan dalam kasus yang menyangkut warga negara Amerika. Tidak seperti para pemimpin dunia lainnya, AS memberlakukan pengecualian utama di seluruh wilayah Timur Tengah, sebagian Afrika, dan di tempat lain jika ia menginginkannya.

Keberhasilan yang mematikan ini adalah ujung tombak proyek rahasia Pentagon yang pada tahun 2020 akan menggunakan ruang “perisai” triple-kanopi dari mulai stratosfer ke eksosfer, serta dijaga oleh Global Hawk dan drone X-37B yang dipersenjatai dengan rudal tangkas.

Saat Washington berusaha untuk menjadi polisi dunia yang gelisah dari langit dan ruang angkasa, dunia mungkin bertanya: Seberapa tinggi sebenarnya kedaulatan setiap negara? Setelah konferensi penerbangan Paris gagal secara berturut-turut sejak tahun 1910, Peraturan Den Haag Aerial Warfare 1923, dan Jenewa Protokol I tahun 1977 untuk menetapkan batas wilayah udara suatu negara atau menahan perang udara, beberapa pengacara Pentagon yang nakal mungkin akan menjawab: hanya setinggi Anda bisa menegakkannya.

Presiden Obama juga mengadopsi sistem pengamatan besar NSA sebagai senjata permanen untuk latihan kekuatan global. Pada tingkat yang lebih luas, pengawasan tersebut melengkapi strategi pertahanan Obama secara keseluruhan, mengumumkan pada tahun 2012, pemotongan pasukan konvensional sambil menjaga kekuasaan AS secara global melalui kapasitas untuk “gabungan persenjataan di semua domain: darat, udara, laut, ruang angkasa, dan dunia maya.” Dan tidak lagi mengejutkan bahwa setelah merintis perang dunia maya, presiden tidak ragu-ragu untuk memulai cyberwar pertama dalam sejarah terhadap Iran.

Pada akhir masa jabatan pertama Obama, NSA bisa menyapu miliaran pesan di seluruh dunia melalui arsitektur pengawasan mereka yang lincah. Ini termasuk ratusan jalur akses untuk penetrasi kabel serat optik Worldwide Web; penyadapan tambahan melalui protokol khusus dan perangkat lunak “backdoor”; superkomputer untuk memecahkan enkripsi torrent digital; dan sebuah peternakan data besar di Bluffdale, Utah, yang dibangun dengan biaya sebesar $2 milyar untuk menyimpan Yottabytes data curian.

Bahkan setelah eksekutif Silicon Valley yang marah memprotes bahwa software pengawasan “backdoor” NSA telah mengancam industri multi-triliun dolar mereka, Obama menyebut kombinasi informasi internet dan superkomputer mereka sebagai “alat yang ampuh.” Dia bersikeras bahwa, sebagai “satu-satunya negara adidaya di dunia,” Amerika Serikat “tidak bisa secara sepihak melucuti badan intelijen miliknya.” Dengan kata lain, sebagai penguasa AS tidak boleh dijatuhkan sanksi atas segala hak pengecualian untuk persenjataan lengkap.

Informasi dari Edward Snowden tentang dokumen yang bocor pada akhir 2013 menunjukkan bahwa NSA telah melakukan pengawasan terhadap sekitar 122 pemimpin negara di seluruh dunia, 35 di antaranya diawasi secara ketat, termasuk Presiden Brasil Dilma Rousseff, mantan presiden Meksiko Felipe Calderon, dan Kanselir Jerman Angela Merkel. Setelah Merkel protes keras, Obama setuju untuk membebaskan telepon Merkel dari pengawasan NSA, tetapi mempertahankan hak AS, seperti yang ia katakan, untuk terus “mengumpulkan informasi tentang rencana pemerintah … di seluruh dunia.” Si Penguasa AS menolak untuk mengatakan siapa pemimpin dunia yang dibebaskan dari pengawasan (mata-mata).

Bila timbul pertanyaan bahwa, akankah Washington dalam beberapa dekade ke depan, terus melanggar kedaulatan nasional melalui agen rahasia model lama serta intervensi terbuka, bahkan saat bersikeras menolak setiap konvensi internasional yang mengendalikan penggunaan kekuatan dirgantara atau dunia maya untuk memproyeksikan kekuatan, di mana saja, kapan saja? Hukum atau konvensi yang masih ada yang berusaha dengan cara apapun untuk memeriksa kekuatan AS akan dipatahkan saat Si Penguasa memutuskan. Ini adalah aturan tidak tertulis bagi planet kita saat ini. Mereka menggambarkan eksepsionalisme (pengecualian yang luar biasa) bagi Amerika yang sebenarnya.

Alfred W. McCoy adalah profesor sejarah di University of Wisconsin-Madison. Tom Dispatch adalah penulis Penyiksaan & Impunitas: Doktrin Koersif Interogasi AS selain karya-karya lainnya.

25 Pasukan ANA dan Arbakis Tewas Dalam Pertempuran Dengan Mujahidin IIA di Khalj

DAIKONDI (Jurnalislam.com) – 13 Maret, Para pejabat melaporkan dari distrik Gezab mengatakan bahwa sejak 9 Jumadil Ula 1436 (01/03/2015), sejumlah besar pasukan ANA (bentukan AS), polisi dan milisi Arbaki yang didukung oleh sekitar 70 kendaraan tempur melancarkan operasi di wilayah Khalj.

Mujahidin melakukan berbagai serangan terhadap musuh dalam pertempuran selama 13 hari yang akhirnya memaksa musuh melarikan diri pada hari Kamis (12/02/2015).

24 tentara musuh tewas di seluruh pertempuran dan 25 lainnya luka-luka, sementara 4 APC dan 2 truk pickup juga hancur.

Para pejabat mengatakan bahwa 2 Mujahidin juga terluka dalam pertempuran itu dan 2 orang lainnya memperoleh syahid (semoga Allah menerima mereka), seraya menambahkan bahwa musuh pengecut menyerang dan menjarah rumah-rumah warga sipil, menghancurkan 13 bangunan.

                                                                                  

Deddy | Shahamat | Jurniscom

Pemerintah Pusat Italia Blokir Peraturan ‘Anti Masjid’ Yang Akan Digulirkan Pemerintah Daerah

ITALIA (Jurnalislam.com) – Pemerintah Italia berencana membatalkan peraturan bangunan baru untuk wilayah Lombardy, wilayah yang paling padat penduduknya.

Peraturan, yang dikenal sebagai hukum "anti-masjid" tersebut akan membuat masjid baru hampir mustahil untuk dibangun di Lombardy. Peraturan tersebut telah disetujui oleh kelompok sayap kanan yang mendominasi dewan daerah Lombardy pada akhir Januari.

Kritikus mengecam langkah diskriminatif yang terang-terangan di wilayah utara tersebut, yang juga meliputi ibukota Milan. Pemerintah yang dipimpin Perdana Menteri Matteo Renzi dari kelompok kiri-tengah mengatakan pada hari Jumat bahwa mereka telah memutuskan untuk mengajukan aturan baru tersebut ke Mahkamah Konstitusi untuk diperiksa, Kantor berita AFP melaporkan.

Berdasarkan peraturan “anti masjid” itu, siapa pun yang ingin membangun tempat ibadah baru bagi agama yang tidak diakui secara resmi oleh negara harus tunduk pada sejumlah aturan khusus, mulai dari ukuran fasilitas parkir, hingga bentuk luar bangunan.

Islam adalah satu-satunya agama besar yang tidak diakui oleh negara Italia, sehingga aturan baru itu terlihat sebagai aturan yang khusus ditujukan untuk lebih dari satu juta Muslim Italia.

Kritikus mengatakan bahwa undang-undang tersebut melanggar konstitusi Italia dengan beberapa alasan dan pasti akan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Hakim diharapkan untuk mempertimbangkan beberapa hal, seperti: apakah langkah-langkah baru tersebut melanggar jaminan kebebasan beragama, apakah wilayah tersebut melampaui wewenangnya dengan mengatur hubungan antara negara dan agama, dan apakah undang-undang baru tersebut mengakibatkan terlalu banyak kebijaksanaan baru yang harus diatur oleh walikota setempat.

Di bawah satu ketentuan hukum di wilayah Lombardy, walikota setempat yang tidak senang dengan pembangunan masjid baru boleh berusaha untuk menyelenggarakan suatu referendum lokal sebelum memberikan atau menolak izin.

Peraturan tersebut juga menetapkan bahwa dimensi dan proporsi arsitektur tempat ibadah baru harus sesuai dengan tata ruang wilayah Lombardy – persyaratan tertulis tersebut tampaknya muncul untuk memblokir rencana pembangunan menara ramping-tinggi yang merupakan bagian dari masjid.

Keputusan pemerintah Renzi untuk memblokir rencana pemerintah daerah wilayah Lombardy mendapat tanggapan pedas dari Matteo Salvini, pemimpin Liga Utara dari kelompok kanan yang terang-terangan anti-Islam.

"Renzi dan [Menteri Dalam Negeri] Alfano adalah Imam baru," Salvini menulis di halaman Facebook-nya. Liga Utara adalah kekuatan dominan dalam koalisi yang memimpin wilayah Lombardy.

 

Deddy | Aljazeera | Jurniscom

Peduli Aqidah Umat Islam Bima, Suami Istri Ini Bagikan Sendiri 500 Buku Kesesatan Syiah

BIMA (Jurnalislam.com)  Melihat semakin maraknya perkembangan paham sesat Syiah, sepasang suami istri di Kota Bima membagikan buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia" di Masjid Khusnul Khatimah, Jawa Baru, Bima, Jumat (13/3/2015). Buku yang ditulis oleh tim ahli Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu dibagikan secara gratis oleh Abu Hasif dan istrinya kepada masyarakat di sekitar Masjid Khusnul Khatimah.

"Pembagian buku ini adalah untuk menyelamatkan aqidah daripada saudara-saudara kita kaum muslimin yang yang ada di Bima ini, karena kita melihat perkembangan Syiah di Indonesia ini sudah semakin menyebar luas," kata Abu Hasif di sela-sela aksi.

Ia menilai aqidah umat Islam rapuh, hingga mudah disusupi oleh pemahaman-pemahaman sesat seperti Syiah. "Sehingga kami memiliki inisiatif untuk menyebarkan buku ini guna untuk mencounter pemahaman-pemahaman sesat yang ada,” lanjutnya.

Ustadz Abu Hasif juga akan terus berupaya untuk mensosialisasikan kesesatan Syiah kepada masyarakat, agar masyarakat dapat memahami pergerakan Syiah di Indonesia yang pada hari ini sudah semakin meresahkan.

"Selain di masjid-masjid, buku ini juga akan kita bagikan kepada instansi-instansi pendidikan serta seluruh kampus yang ada di Bima," tutupnya.

Hari itu, 500 buku dibagikan Abu Hasif bersama istrinya dan akan menyusul dua sampai tiga ribu buku lagi. Rencananya, Abu Hasif akan bekerjasama dengan ormas Islam di Bima untuk mengoptimalkan penyebaran buku terbitan MUI berjudul "Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia" itu.

Reporter : Sirath | Editor | Ally | Jurniscom

Melalui HASI, Kaum Muslimin Indonesia Salurkan Bantuan $1000 untuk Pengungsi Uighur dan Rohingya

JAKARTA (Jurnalislam.com) – Kaum muslimin Indonesia melalui Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI) telah menyalurkan bantuan kemanusiaan senilai 1000 US Dollar untuk kaum muslimin yang tertindas di wilayah Thailand Selatan. Bantuan itu diserahkan kepada komunitas pengungsi Uighur, pengungsi Rohingya dan muslim Patani di Thailand. 

Penyerahan bantuan itu dilakukan dalam rangkaian perjalanan misi kemanusiaan untuk Rohingya, Uighur dan Patani, yang diselenggarakan pada 6-9 Maret 2015.

“Misi kemanusiaan ini adalah misi Road4Peace keenam,” ungkap Mustofa Manshor, yang memimpin perjalanan tersebut.

Misi ini diikuti oleh tiga rombongan bermobil dari Indonesia dan Malaysia. Peserta Road4Peace 6 ini diikuti oleh LSM lintasnegara, seperti MASSSA, Persatuan Ulama Wilayah Persekutuan, dan Borderless Volunteer dari Malaysia. Sedangkan dari Indonesia, diwakili oleh Road4Peace Indonesia, HASI dan JITU.

Menurut Mustofa, misi utama perjalanan Road4Peace 6 ini adalah silaturahmi kepada saudara Muslim dari etnis minoritas Rohingya dan Uighur yang banyak terdampar di wilayah Thailand dan perbatasan Malaysia.

Tim Road4Peace 6 ini mengunjungi rumah detensi imigrasi Padang Besar, Distrik Sadao Provinsi Songkhla untuk menyerahkan bantuan makanan kepada para pengungsi di dalam tahanan; dan berkunjung sekolah dan pondok pesantren di Pattani.

Rombongan juga berkunjung ke Konsulat Jenderal Malaysia di Songkhla, Thailand. Hasil pertemuan, pihak konsulat telah memberi dukungan penuh atas misi ini dan berkomitmen untuk membantu birokrasi bantuan dan juga kunjungan ke penjara. 

Kontributor : Road4Peace | Editor : Ally | Jurniscom

Inilah Implementasi Fatwa Sesat Syiah di Malaysia

KUALA LUMPUR (Jurnalislam.com) – Malaysia telah menerapkan fatwa larangan penyebaran ajaran seluruh aliran Syiah sejak 1996. Fatwa ini efektif untuk membendung pergerakan Syiah di Malaysia.

Seperti dijelaskan oleh salah seorang pejabat di Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM), pada Selasa 10 Maret 2015, di Kuala Lumpur, implementasi fatwa sesat syiah terwujud dalam tiga hal, yaitu:

1. Melarang publikasi dalam bentuk apa pun yang bertujuan menyebarkan ajaran Syiah. Dalam hal ini, Kementrian Dalam Negeri berwenang merampas buku-buku Syiah dan publikasi lainnya.

Demikian pula otoritas Jabatan Agama Islam Wilayah Persekutuan (JAWI) berwenang melakukan penindakan ini. Bukan hanya mengedarkan, siapa pun yang menyimpan buku-buku yang dilarang bisa dikenai hukuman.

2. Edukasi kepada masyarakat tentang kesesatan Syiah. JAKIM bertanggung jawab atas ceramah, selebaran, dan penjelasan-penjelasan tentang Syiah. Famlet dan brosur diterbitkan dan ditempel di masjid-masjid agar masyarakat waspada dan mengetahui bahaya Syiah.

3. Razia Penyebar Syiah. Hal ini dilakukan oleh otoritas JAWI di semua kekuasaan di negeri-negeri, terutama Selangor dan Pahang yang sering melakukan penangkapan. Hal itu dilakukan terhadap oknum yang diketahui menyebarkan ajaran Syiah.

Mereka yang tertangkap didakwa di Mahkamah Syariah karena melanggar fatwa. Wewenang Mahkamah Syariat, seperti dijelaskan oleh sumber tersebut, adalah tiga lima enam. Tiga tahun penjara, 5000 ringgit, dan 6 cambukan.

Dengan tindakan tersebut, Syiah di Malaysia sekarang tidak berani terang-terangan menyebarkan ajarannya. Kendati demikian, mereka masih muncul di depan publik. Mereka memperjuangkan alirannya melalui dua cara:

1. Mengangkat isu pelanggaran HAM terkait hak-hak kelompok minoritas seperti tertuang dalam HAM PBB. Dalam hal ini, Syiah sama dengan Ahmadiyah, Qadiyaniyah, LGBT, Bahaiyyah dalam menuntut hak minoritas.

Syiah juga mencari celah melalui pendekatan sejarah, penulisan novel, sastra, dan klaim Islam dibawa ke Malaysia oleh Syiah. Ini semua dibawa ke PBB. Namun Malaysia memiliki hak jawab, bahwa kerajaan memiliki undang-undang yang berlaku.

2. Bergerak atas nama sekolah-sekolah agama yang dikenal dengan Hauzah. Syiah mengirimkan kadernya untuk sekolah ke Iran, dan pulang ke Malaysia menyebarkan Syiah dengan membuka hauzah-hauzah Syiah, terutama di Gombak, Selangor, dan Pahang.

Namun, dengan fatwa larangan Syiah di Malaysia, pergerakan Syiah sangat terbatas. Sumber JAKIM menyebutkan bahwa fatwa itu sangat efektif mencegak penyebaran Syiah. Selain itu juga ada Suruhanjaya Syarikat Malaysia (SSM), badan hukum setempat yang mengatur perizinan syarikat dan perusahaan, yang berwenang membatalkan syarikat atau lembaga apa pun yang melanggar fatwa.

Dimintai komentar tentang pemberantasan Syiah di Indonesia, ia menjawab, “Indonesia kurang tegas. Mestinya negara menindak, bukan NGO (LSM/Ormas). NGO berwenang mendesak saja. Sedangkan negara harus mengeluarkan undang-undang. Bila negara tidak tegas, akhirnya NGO yang ambil tindakan sendiri,” pungkasnya.

Kontributor : Road4Peace | Editor : Ally | Jurniscom

 

Berita Terkait :

Tidak Ada Syiah Moderat, Semua Syiah Dilarang di Malaysia

Tidak Ada Syiah Moderat, Semua Syiah Dilarang di Malaysia

KUALA LUMPUR (Jurnalislam.com) – Kerajaan Malaysia telah menerapkan larangan terhadap seluruh ajaran Syiah setelah pihak yang berwenang mengeluarkan fatwa 5 Mei 1996.

Sebelumnya, Syiah Zaidiyah dan Ja’fariyah boleh dikembangkan oleh penganutnya. Hal ini berdasarkan kepada Keputusan Muzakarah Jawatankuasa Fatwa pada 24 dan 25 September 1984 [Kertas Bil. 2/8/84, Perkara 4.2. (2)] mengenai aliran Syiah yang menyebutkan:

“Setelah berbincang dan menimbang kertas kerja ini Jawatankuasa telah mengambil keputusan bahawa hanya Mazhab Syiah dari golongan Al-Zaidiyah dan Jaafariah sahaja yang diterima untuk diamalkan di Malaysia.”

Namun, Jawatankuasa Fatwa Majelis Kebangsaan untuk Agama Islam Malaysia yang bersidang pada 5 Mei 1996 memutuskan bahwa fatwa tersebut telah dihapuskan dan tidak berlaku lagi.

Selanjutnya, menetapkan bahwa umat Islam di Malaysia hanya mengikuti ajaran Islam yang berasaskan pegangan Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Penerbitan, penyiaran dan penyebaran buku, risalah, film, video dan lain-lain berhubung dengan ajaran Islam yang bertentangan dengan pegangan Ahli Sunnah Wal Jamaah adalah diharamkan.

“Syiah Zaidiyah dan Ja’fariyah tidak dimasukkan ke dalam fatwa tahun 1984 karena dianggap masih baik, dan dekat dengan ahli sunah. Mereka tidak berbahaya,” kata salah seorang pejabat di Jawatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) yang meminta untuk tidak disebutkan namanya.

“Karena masa itu kita tidak menyangka Syiah ini bahaya. Zaidiyah ini masih kita anggap paling baik, paling dekat dengan ahli sunah, seperti di Yaman. Demikian pula Ja’fariyah, kita tidak menyangka mereka mengembangkan ajarannya (yang berbahaya),” ungkapnya kepada wartawan JITU, Selasa 10 Maret 2015.

Malaysia menilai ajaran Syiah tidak hanya sesat, tetapi juga berbahaya, sehingga fatwa larangan untuk penyebaran seluruh aliran Syiah kemudian dikeluarkan. Selain itu, “untuk mencegah Syiah memakai double standard, kita mengeluarkan fatwa itu,” tambahnya.

Syiah di Malaysia ini dibawa oleh revolusi Iran. Doktrin-doktrin dari Iran itulah yang berbahaya. Mereka telah memiliki negara dan menyebarkan ajarannya melalui kedutaan-kedutaannya di semua negara. “Itulah yang kita lihat sebagai bahaya,” ungkapnya.

Kontributor : Road4Peace | Editor : Ally | Jurniscom

 

Berita Terkait :

Inilah Implementasi Fatwa Sesat Syiah di Malaysia

Sambangi Kemenag, KMKI Minta Klarifikasi Menag Terkait Sambutannya dalam Buku Syiah

JAKARTA (Jurnalislam.com) – Kajian Muslimah untuk Kemaslahatan Islam (KMKI) siang tadi Jumat (13/03/2015) mendatangi kantor Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag) Jl. Lapangan Banteng Barat No. 3-4, Jakarta untuk menyampaikan surat terbuka kepada Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin terkait sambutan yang ia berikan di dalam buku “Syiah Menurut Syiah” terbitan Ahlul Bait Indonesia (ABI),salah satu wadah terbesar penganut Syiah di Indonesia.

Ditemui Sekjen Kemenag, KMKI menitikberatkan pada persoalan nikah mut'ah (kawin kontrak) dinilainya merendahkan martabat perempuan dan merusak keluarga.

"Di dalam buku itu jelas-jelas mut'ah itu diperbolehkan, sementara bagi kami mut'ah ini merendahkan harkat martabat perempuan dan merusak keluarga. Ini yang menjadi titik poin kami dan posisi Pak menteri sendiri terhadap ini seperti apa," tegas Sekretaris Umum KMKI Rita Soebagio.

KMKI juga mengungkapkan kekecewaannya atas sambutan Menag yang mengatakan mengapreasiasi buku tersebut dengan alasan meluruskan isu negatif tentang Syiah.

"Kami agak kecewa kepada Pak Menteri yang dalam kata sambutan itu beliau mengatakan bahwa kami (Menag-red) mengapresiasi kehadiran buku ini karena buku ini mengklarifikasi dan meluruskan tentang berbagai pemberitaan negatif terkait dengan Syiah," ungkap Rita mengutip pernyataan Menag dalam buku Syiah tersebut.

Artinya, lanjut Rita, secara tidak langsung Menag juga mengkritisi apa yang telah dilakukan oleh para ulama termasuk di dalamnya MUI. "Posisi Pak Menteri ini sebenarnya dimana terhadap fatwa-fatwa ulama sebelumnya?" tanya Rita.

Untuk itu, KMKI mengharapkan jawaban secepatnya dari Menag. "Nanti kita tunggu klarifikasi Pak Menteri seperti apa," lanjutnya.

KMKI merupakan ormas Islam perempuan pertama yang menyampaikan surat terbuka kepada Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin terkait sambutannya dalam buku Syiah.

Reporter : Ridwan | Editor : Ally | Jurniscom

Arab Saudi Undang Pemberontak Syiah Houthi Untuk Diskusi

RIYADH (Jurnalislam.com) – The Gulf Cooperation Council (GCC) mengatakan pada hari Kamis (12/03/2015) bahwa pemberontak Syiah Houthi Yaman telah diundang untuk menghadiri pembicaraan yang direncanakan di Riyadh untuk mengatasi krisis politik yang sedang berlangsung di negara itu.

"Undangan ini terbuka untuk semua," kata Menteri Luar Negeri Qatar Khaled al-Attiyah, dalam konferensi pers setelah pertemuan tingkat menteri GCC. Qatar saat ini menjadi pemimpin GCC.

"Kami berharap semua pihak akan berpartisipasi dengan maksud mengarahkan Yaman menjadi tempat yang aman," tambahnya.

Presiden Yaman Abd Rabbuh Mansour Hadi baru-baru ini mengusulkan untuk mengadakan pembicaraan antar rival negaranya di Riyadh.

Namun hingga saat ini, belum ditetapkan pembicaraan yang diusulkan tersebut.

Pada bulan Februari, Houthi mengeluarkan deklarasi konstitusi untuk membubarkan parlemen dan membentuk dewan transisi dengan 551 anggota.

Deklarasi tersebut ditolak oleh sebagian besar kekuatan politik Yaman – juga beberapa negara Teluk – yang menganggapnya sebagai kudeta terhadap legitimasi konstitusional.

Al-Attiyah mengatakan negara-negara GCC mampu membela diri dalam menanggapi laporan bahwa Syiah Houthi berencana untuk melakukan "latihan perang" di perbatasan Yaman dengan Arab Saudi.

"Negara-negara GCC mampu membela kepentingan dan perbatasan mereka," katanya dalam konferensi pers.

Pada hari Kamis, anggota terkemuka Houthi mengatakan bahwa kelompok Syiah tersebut berencana untuk melakukan "manuver militer" pertama dekat perbatasan Saudi.

"Manuver dimaksudkan untuk mengirim pesan yang jelas kepada siapa pun yang berusaha untuk ikut campur masalah keamanan negara, baik itu domestik maupun asing," anggota kelompok tersebut mengatakan kepada The Anadolu Agency.

Latihan militer, yang akan melibatkan berbagai persenjataan tersebut akan diadakan pada hari Kamis di distrik Ketaf utara, terletak berdekatan dengan perbatasan Arab Saudi.

Pemberpntak Houthi telah lama menuduh Riyadh mendananai lawan mereka di Yaman.

Riyadh menganggap pengambilalihan Sanaa tahun lalu oleh Houthi sebagai keuntungan strategis utama untuk Teheran (Iran) – musuh regional – di halaman belakang mereka sendiri.

 

Deddy | World Bulletin | Jurniscom