Di Tengah Kecaman Dunia, AS Kembali Kirim Senjata ke Israel Senilai Rp8 Triliun

WASHINGTON (jurnalislam.com)– Pemerintah Amerika Serikat telah menyetujui penjualan peralatan panduan amunisi dan dukungan teknis senilai USD 510 juta (sekitar Rp8,3 triliun) kepada Israel, demikian diumumkan Departemen Luar Negeri AS pada Senin (30/6/2025).

Penjualan tersebut mencakup 3.845 unit peralatan panduan KMU-558B/B Joint Direct Attack Munition (JDAM) untuk bom jenis BLU-109, serta 3.280 unit peralatan JDAM KMU-572F/B untuk bom MK 82. Paket ini juga mencakup layanan rekayasa, logistik, dan dukungan teknis lainnya, menurut pernyataan dari Badan Kerja Sama Keamanan Pertahanan AS (DSCA).

“Penjualan ini akan meningkatkan kemampuan Israel dalam menghadapi berbagai ancaman saat ini dan di masa depan, termasuk mempertahankan perbatasan, infrastruktur vital, dan pusat-pusat populasi,” kata DSCA.

Pengumuman ini muncul di tengah meningkatnya tekanan global terhadap Israel atas serangan militer berkelanjutan di Jalur Gaza.

Sejak dimulainya agresi militer pada Oktober 2023, otoritas kesehatan Gaza melaporkan lebih dari 56.500 warga Palestina tewas akibat serangan udara dan artileri Israel. Hanya pada hari Senin (30/6), sedikitnya 97 warga sipil dilaporkan tewas, dengan puluhan lainnya luka-luka, dalam serangkaian serangan yang menargetkan daerah padat pengungsi di Gaza.

Dukungan militer Washington kepada Tel Aviv terus menuai kritik tajam dari masyarakat internasional. Banyak pihak menilai bantuan persenjataan tersebut justru memperpanjang penderitaan warga sipil di Gaza dan memperburuk krisis kemanusiaan.

Pada November lalu, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.

Selain itu, Israel saat ini juga tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) atas operasi militer yang dilancarkan di wilayah yang terkepung tersebut. (Bahry)

Sumber: AA

Iran: 935 Warga Tewas Akibat Serangan Israel, Termasuk 38 Anak-anak

TEHERAN (jurnalislam.com)– Pemerintah Iran menyatakan sedikitnya 935 orang tewas akibat serangan Israel selama konflik berdurasi 12 hari yang berakhir dengan gencatan senjata permanen. Juru Bicara Kehakiman Iran, Asghar Jahangir, pada Senin (30/6/2025) mengungkapkan bahwa jumlah korban termasuk 38 anak-anak dan 132 perempuan.

Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Esmail Baghaei, menuduh Israel dan Amerika Serikat melakukan tindakan agresi yang melanggar hukum internasional. Ia menyerukan agar komunitas internasional, khususnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), secara resmi menyatakan Israel dan AS sebagai pihak agresor.

“Apa yang terjadi adalah bentuk agresi dalam segala aspeknya, sesuai hukum internasional dan Piagam PBB. Kami menuntut agar PBB mengambil langkah nyata untuk meminta pertanggungjawaban rezim Zionis dan AS,” ujar Baghaei dalam konferensi pers di Teheran.

Baghaei menambahkan bahwa serangan Israel pada 13 Juni lalu terjadi saat Iran tengah melangsungkan negosiasi dengan AS terkait program nuklirnya. Ia menyebut tindakan Washington sebagai bentuk pengkhianatan terhadap proses diplomatik yang sedang berlangsung.

“AS bukanlah mitra yang dapat dipercaya. Sikap mereka yang berubah-ubah membuat perundingan menjadi tidak stabil,” tambahnya.

Israel melancarkan serangan udara dan drone ke berbagai sasaran di Iran, termasuk kawasan sipil dan fasilitas militer utama. Serangan tersebut menewaskan sejumlah perwira tinggi Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) dan ilmuwan nuklir senior Iran.

Sebagai balasan, Iran menembakkan beberapa gelombang rudal balistik dan drone ke wilayah Israel, yang disebut berhasil menembus sistem pertahanan rudal negara itu dan menyebabkan kerugian finansial mencapai setidaknya USD 3 miliar.

Laporan majalah independen +972 menyebutkan bahwa sejak berdirinya Israel pada 1948, belum pernah ada serangan berkelanjutan terhadap kota-kota besar seperti yang terjadi selama perang ini. Beberapa rudal Iran dilaporkan menghancurkan sejumlah bangunan secara total, dan setidaknya 25 gedung lainnya terpaksa dibongkar akibat kerusakan struktural.

Otoritas Israel melaporkan 29 warga sipil tewas, hampir 10.000 orang kehilangan tempat tinggal, dan lebih dari 40.000 klaim kompensasi telah diajukan ke otoritas pajak properti.

Selain korban fisik dan material, perang ini juga meninggalkan trauma psikologis yang mendalam bagi warga Israel.

“Jika konflik kembali terjadi, Israel kemungkinan besar tidak akan lagi menanggapinya dengan tenang,” tulis +972.

Gencatan senjata antara Israel dan Iran dicapai pada 24 Juni, setelah serangan udara AS ke fasilitas nuklir Iran pada 22 Juni memicu serangan balasan Teheran terhadap pangkalan militer AS di Al-Udeid, Qatar, sehari kemudian.

Meskipun gencatan senjata telah disepakati, Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, menyatakan negaranya siap melancarkan serangan tambahan ke Iran. Ia menyebutnya sebagai bagian dari “kebijakan penegakan hukum”.

“Kami bertekad menjaga superioritas udara, mencegah kemajuan proyek nuklir Iran, serta menghentikan pengembangan rudal jarak jauh yang dapat mengancam keamanan kami,” kata Gallant. (Bahry)

Sumber: Cradle

Tentara Israel Diperintahkan Tembaki Warga yang Antre Bantuan, Media Israel Beberkan Pengakuan Mengejutkan

GAZA (jurnalislam.com)– Tentara Israel diduga telah secara sengaja menembaki warga sipil Palestina tak bersenjata yang tengah mencari bantuan pangan di Gaza, berdasarkan perintah langsung dari komandan mereka. Hal ini terungkap dalam laporan investigasi yang diterbitkan oleh surat kabar Israel, Haaretz, pada Jumat (27/6/2025).

Laporan tersebut memicu penyelidikan resmi oleh militer Israel atas kemungkinan kejahatan perang. Haaretz mengutip beberapa tentara Israel yang mengaku menerima instruksi untuk menggunakan kekuatan mematikan terhadap kerumunan warga sipil yang tidak menimbulkan ancaman.

“Kami menembakkan senapan mesin dari tank dan melemparkan granat,” ujar salah satu tentara yang enggan disebut namanya.

“Ada satu insiden di mana sekelompok warga sipil tertembak saat bergerak di bawah kabut.”

“Itu adalah medan pembantaian,” tambahnya.

Sumber lain dalam laporan menyebut, di lokasi penempatan mereka di Gaza,

“antara satu hingga lima orang tewas setiap hari.”

𝗧𝗮𝗸𝘁𝗶𝗸 “𝗞𝗼𝗻𝘁𝗿𝗼𝗹 𝗠𝗮𝘀𝘀𝗮” 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗹𝘂𝗿𝘂 𝗧𝗮𝗷𝗮𝗺

Nir Hasson, jurnalis Haaretz yang turut menulis laporan tersebut, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa tembakan terhadap warga sipil digunakan sebagai bagian dari metode militer untuk mengontrol massa di titik distribusi bantuan.

“Jika Anda ingin massa lari dari suatu tempat, Anda menembak mereka – bahkan ketika Anda tahu mereka tidak bersenjata,” kata Hasson.

Menurutnya, meskipun nama komandan yang mengeluarkan perintah tersebut belum diketahui, kemungkinan besar ia adalah pejabat militer senior.

𝗚𝗛𝗙, 𝗕𝗮𝗻𝘁𝘂𝗮𝗻 𝗮𝘁𝗮𝘂 𝗣𝗲𝗿𝗮𝗻𝗴𝗸𝗮𝗽 𝗠𝗲𝗺𝗮𝘁𝗶𝗸𝗮𝗻?

Kantor Media Pemerintah Gaza menyebut serangan terhadap titik distribusi bantuan sebagai “kejahatan perang,” terutama di lokasi-lokasi yang dikelola oleh Gaza Humanitarian Foundation (GHF) – sebuah yayasan yang didukung Israel dan Amerika Serikat.

“Pengakuan mengejutkan dalam laporan Haaretz mengonfirmasi bahwa tentara Israel menjalankan kebijakan genosida sistematis dengan kedok palsu bantuan kemanusiaan,” bunyi pernyataan resmi.

GHF telah mengoperasikan empat titik distribusi bantuan sejak Mei, namun telah menuai kritik tajam dari berbagai kelompok kemanusiaan, termasuk PBB, karena dianggap “mempersenjatai bantuan.”

Menanggapi laporan tersebut, Sekjen PBB Antonio Guterres menegaskan bahwa laporan semacam ini hanyalah bagian dari pelanggaran besar yang telah lama terjadi di Gaza.

“Kita tidak memerlukan laporan semacam itu untuk mengakui bahwa telah terjadi pelanggaran besar-besaran terhadap hukum internasional [di Gaza]. Dan ketika terjadi pelanggaran hukum internasional, harus ada akuntabilitas,” kata Guterres dalam konferensi pers di New York.

Sementara itu, organisasi medis Doctors Without Borders (MSF) menyebut titik distribusi bantuan GHF sebagai “pembantaian yang menyamar sebagai bantuan kemanusiaan.”

𝗞𝗼𝗿𝗯𝗮𝗻 𝗧𝗲𝗿𝘂𝘀 𝗕𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗯𝗮𝗵

Kementerian Kesehatan Gaza mencatat, sejak dimulainya serangan Israel ke wilayah tersebut pada Oktober 2023, sedikitnya 56.331 warga Palestina tewas, dan 132.632 lainnya terluka.

Hanya pada Jumat lalu, enam orang dilaporkan tewas akibat tembakan saat sedang berusaha mendapatkan makanan di Gaza selatan.

Warga Gaza, menurut laporan Al Jazeera, kini menghadapi pilihan tragis: “mati kelaparan, atau mati saat mencoba mencari makanan yang sangat terbatas.” (Bahry)

Sumber: Al Jazeera

Usai Perang 12 Hari, Israel Klaim Tewaskan 30 Pejabat Keamanan dan 11 Ilmuwan Nuklir Iran

YERUSALEM (jurnalislam.com)– Seorang pejabat senior militer Israel mengungkapkan bahwa selama 12 hari perang udara melawan Iran, pihaknya telah menewaskan lebih dari 30 pejabat keamanan senior serta 11 ilmuwan nuklir utama Iran. Pernyataan ini disampaikan pada Jumat (27/6/2025) sebagai rangkuman atas serangan udara besar-besaran yang dilancarkan Israel sejak 13 Juni lalu.

“Proyek nuklir Iran mengalami pukulan telak. Kemampuan mereka untuk memperkaya uranium hingga level 90% telah dinetralkan untuk waktu yang lama. Kapasitas mereka untuk memproduksi inti senjata nuklir saat ini juga berhasil kami lumpuhkan,” ujar pejabat tersebut, yang tidak bersedia disebutkan namanya karena alasan keamanan.

Menurut pejabat itu, serangan pembuka Israel pada 13 Juni berhasil melumpuhkan sistem pertahanan udara Iran dan mengganggu kemampuan respons militer Teheran pada jam-jam awal konflik. Angkatan Udara Israel disebut telah menyerang lebih dari 900 target, termasuk fasilitas produksi rudal dan infrastruktur militer strategis Iran.

𝗘𝗳𝗲𝗸𝘁𝗶𝘃𝗶𝘁𝗮𝘀 𝗦𝗲𝗿𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗜𝗿𝗮𝗻 𝗗𝗶𝗿𝗮𝗴𝘂𝗸𝗮𝗻

Di pihak lain, Iran membalas dengan meluncurkan serangan rudal ke berbagai kota dan instalasi militer di Israel. Meski Iran mengklaim keberhasilan dalam menembus pertahanan udara Israel, sejumlah pakar menilai serangan itu tidak efektif secara militer.

Decker Eveleth, analis riset asosiasi di CNA Corporation dan pakar citra satelit, mengatakan tinjauan terhadap citra satelit komersial menunjukkan hanya sebagian kecil dari sekitar 30 rudal Iran yang berhasil mencapai sasaran militer penting.

“Iran belum memproduksi rudal yang menunjukkan akurasi tinggi. Target seperti jet tempur F-35 di dalam hanggar sangat sulit diserang oleh sistem rudal mereka saat ini,” kata Eveleth kepada Reuters.

Ia juga menambahkan bahwa rudal-rudal Iran hanya mampu secara konsisten mengancam kota-kota besar atau fasilitas industri seperti kilang minyak, dan tidak memiliki kepadatan serangan yang cukup untuk menciptakan kerusakan strategis berskala besar.

“Dengan performa seperti saat ini, secara praktis tidak ada yang dapat mencegah Israel untuk melancarkan operasi serupa di masa mendatang,” tulisnya di platform X.

𝗞𝗲𝗿𝘂𝗴𝗶𝗮𝗻 𝗱𝗶 𝗞𝗲𝗱𝘂𝗮 𝗣𝗶𝗵𝗮𝗸

Pemerintah Iran melaporkan bahwa sedikitnya 627 warga tewas akibat serangan Israel, meskipun angka tersebut belum dapat diverifikasi secara independen karena pembatasan ketat terhadap media asing. Sementara itu, Israel melaporkan 28 warganya tewas akibat serangan balasan Iran.

Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, dalam pernyataannya Jumat kemarin menegaskan bahwa militer telah diperintahkan untuk menyusun rencana menjaga superioritas udara di atas Iran, mencegah pengembangan program nuklir dan produksi rudal Teheran, serta membatasi dukungan Iran terhadap kelompok-kelompok militan anti-Israel.

𝗞𝗮𝗶𝘁𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗚𝗮𝘇𝗮

Kepala Staf Angkatan Pertahanan Israel (IDF), Letjen Eyal Zamir, menambahkan bahwa keberhasilan operasi di Iran dapat dimanfaatkan untuk memperkuat posisi Israel dalam konflik berkepanjangan melawan Hamas di Jalur Gaza, yang diduga mendapat dukungan dari Iran.

Zamir menginformasikan kepada pasukan Israel di Gaza bahwa operasi darat yang disebut “Kereta Perang Gideon” hampir mencapai tujuannya, yakni mengambil alih penuh wilayah kantong Palestina dan memberikan opsi strategis baru bagi pemerintah Israel.

Sementara itu, Iran tetap membantah tuduhan bahwa mereka tengah mengembangkan senjata nuklir. Meski demikian, Teheran diketahui telah memperkaya uranium hingga tingkat yang tidak dapat digunakan untuk kepentingan sipil, menolak akses inspektur internasional ke fasilitas-fasilitas nuklirnya, serta terus memperluas kemampuan rudal balistik.

Israel menuding bahwa langkah-langkah Iran saat ini merupakan sinyal bahwa negara itu tengah menuju persenjataan nuklir. (Bahry)

Sumber: TOI

Netanyahu Dihadapkan pada Dugaan Korupsi dan Kejahatan Perang, Trump Beri Pembelaan Terbuka

WASHINGTON (jurnalislam.com)– Presiden Amerika Serikat Donald Trump melontarkan kritik keras terhadap jaksa penuntut Israel atas persidangan korupsi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Trump menyebut proses hukum itu sebagai “kegilaan” dan menilai hal tersebut bisa mengganggu perundingan damai di Timur Tengah.

Dalam unggahan di platform Truth Social pada Sabtu (28/6/2025), Trump mengecam otoritas Israel karena dinilai melemahkan posisi Netanyahu dalam menghadapi kelompok Hamas di Gaza dan ketegangan dengan Iran.

“Sungguh GILA melakukan apa yang dilakukan jaksa penuntut yang tidak terkendali terhadap Bibi Netanyahu,” tulis Trump, merujuk pada Netanyahu dengan nama panggilannya.

“Amerika Serikat menghabiskan miliaran dolar setiap tahun… untuk melindungi dan mendukung Israel. Kami tidak akan membiarkan ini,” tambahnya.

Netanyahu dijadwalkan bersaksi pada Senin mendatang dalam pemeriksaan silang terkait kasus korupsi yang telah berlangsung sejak 2020. Ia menghadapi dakwaan penyuapan, penipuan, dan pelanggaran kepercayaan.

Pengacaranya sebelumnya mengajukan permohonan penundaan persidangan selama dua pekan dengan alasan beban tugas keamanan nasional usai konflik 12 hari dengan Iran. Namun, pengadilan menolak permintaan tersebut pada Jumat (27/6).

𝗞𝗿𝗶𝘁𝗶𝗸 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗗𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗡𝗲𝗴𝗲𝗿𝗶

Sejumlah anggota Knesset Israel menuding Netanyahu sengaja memanfaatkan konflik regional untuk mengalihkan perhatian dari kasus hukumnya.

“[Netanyahu] sedang mengondisikan masa depan Israel dan anak-anak kita dalam persidangannya,” kata Naama Lazimi, anggota Knesset dari Partai Demokrat, dikutip The Times of Israel.

Karine Elharrar, anggota Knesset dari partai Yesh Atid, menyebut Netanyahu “bertindak melawan kepentingan publik” karena mengaitkan proses hukum dengan negosiasi pembebasan tawanan dan normalisasi hubungan regional.

𝗗𝗶𝗵𝗮𝗱𝗮𝗽𝗸𝗮𝗻 𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗦𝘂𝗿𝗮𝘁 𝗣𝗲𝗿𝗶𝗻𝘁𝗮𝗵 𝗣𝗲𝗻𝗮𝗻𝗴𝗸𝗮𝗽𝗮𝗻

Masalah hukum Netanyahu tak berhenti di pengadilan domestik. Ia juga menjadi subjek surat perintah penangkapan yang dikeluarkan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) tahun lalu, bersama mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant.

Keduanya didakwa melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terkait dengan perang di Gaza sejak Oktober 2023. Netanyahu dan Gallant membantah tuduhan itu dan menyebutnya sebagai bentuk “anti-Semitisme”.

Komentar Trump datang beberapa hari setelah ia mengisyaratkan bahwa kesepakatan gencatan senjata dengan Hamas mungkin sudah dekat. Ia mengklaim Netanyahu sedang terlibat dalam perundingan, meski tidak memberikan rincian lebih lanjut.

Hamas telah menyatakan kesediaannya membebaskan tawanan Israel yang tersisa di Gaza sebagai bagian dari kesepakatan damai, namun tetap menolak tuntutan Israel untuk pelucutan senjata sepenuhnya.

Netanyahu merespons dukungan Trump melalui unggahan di platform X:

“Terima kasih sekali lagi, @realDonaldTrump. Bersama-sama, kita akan membuat Timur Tengah Hebat Lagi!”

𝗦𝗲𝗿𝘂𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗻𝗴𝘂𝗻𝗱𝘂𝗿𝗮𝗻 𝗗𝗶𝗿𝗶

Di tengah memanasnya situasi politik, seruan agar Netanyahu mengundurkan diri kembali muncul. Dalam wawancara dengan Channel 12, mantan Perdana Menteri Naftali Bennett menyatakan bahwa sudah saatnya Netanyahu mundur dari jabatannya.

“Dia telah berkuasa selama 20 tahun… itu terlalu lama,” kata Bennett.

“Dia memikul tanggung jawab besar atas perpecahan dalam masyarakat Israel.”

Bennett, yang sempat mundur dari politik, disebut-sebut tengah mempertimbangkan kembali ke panggung politik. Sejumlah survei menunjukkan peluangnya untuk kembali menantang Netanyahu cukup besar. (Bahry)

Sumber: Al Jazeera

Serangan Udara Israel di Lebanon Tewaskan Satu Warga Sipil dan Lukai 20 Orang

BEIRUT (jurnalislam.com)— Kementerian Kesehatan Lebanon melaporkan bahwa satu orang tewas dan 20 lainnya terluka dalam serangan udara besar-besaran yang dilancarkan Israel di wilayah selatan Lebanon pada Jumat (27/6/2025). Serangan tersebut terjadi meskipun masih berlaku gencatan senjata antara Israel dan kelompok Hizbullah.

“Serangan musuh Israel terhadap sebuah apartemen di Nabatiyeh menyebabkan korban jiwa awal satu wanita tewas dan 11 orang lainnya terluka,” demikian pernyataan resmi Kementerian Kesehatan yang disiarkan oleh Kantor Berita Nasional Lebanon.

Menurut laporan, angkatan udara Israel menggempur wilayah pegunungan yang menghadap ke kota Nabatiyeh dalam dua gelombang serangan. Kantor Berita Nasional Lebanon menyebut bahwa bom penghancur bunker digunakan dalam serangan tersebut.

Militer Israel mengklaim bahwa jet-jet tempurnya menargetkan infrastruktur bawah tanah milik Hizbullah yang digunakan untuk sistem pertahanan dan pengelolaan tembakan. Mereka juga menyatakan telah mengidentifikasi dan menghentikan upaya rehabilitasi infrastruktur militer oleh kelompok tersebut.

“Lokasi yang diserang merupakan bagian dari proyek bawah tanah penting Hizbullah, yang kini telah dinonaktifkan sepenuhnya,” demikian pernyataan militer Israel.

Sejak berakhirnya perang 14 bulan antara Israel dan Hizbullah dengan gencatan senjata yang dimediasi Amerika Serikat pada November lalu, Israel telah melakukan serangan hampir setiap hari ke wilayah selatan Lebanon. Namun, serangan udara pada Jumat disebut sebagai salah satu yang paling intens sejak kesepakatan damai itu diberlakukan.

Hizbullah sebelumnya dipaksa mundur dari wilayah perbatasan Lebanon dengan Israel sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata. Kelompok tersebut tidak diperbolehkan memiliki kehadiran bersenjata di selatan Sungai Litani. Namun, serangan udara kali ini terjadi di sebelah utara sungai tersebut.

Selama konflik bersenjata antara Israel dan Hizbullah, lebih dari 4.000 orang dilaporkan tewas di Lebanon, dan kerugian material diperkirakan mencapai 11 miliar dolar AS, atau setara dengan sekitar Rp177 triliun (dengan kurs Rp16.100 per dolar AS). Di pihak Israel, sebanyak 127 orang dilaporkan tewas, termasuk 80 personel militer. (Bahry)

Sumber: Alarabiya

Ada Jejak Radioaktif, Israel Dituding Gunakan Senjata Uranium Terdeplesi di Iran

TEHERAN (jurnalislam.com)– Israel diduga menggunakan amunisi uranium terdeplesi (depleted uranium/DU) dalam serangan udara terbarunya yang menyasar sejumlah lokasi sensitif di Iran. Hal itu diungkapkan sebuah sumber yang memiliki informasi langsung kepada kantor berita Fars News Agency pada Kamis (26/6/2025).

Menurut sumber tersebut, “uji coba awal yang dilakukan di zona-zona dampak dilaporkan mendeteksi jejak-jejak yang menunjukkan uranium,” meskipun analisis teknis lebih lanjut masih berlangsung untuk memastikan temuan tersebut.

Uranium terdeplesi merupakan logam padat yang biasa digunakan dalam peluru dan bom untuk menembus target lapis baja. Meskipun tidak termasuk dalam kategori senjata nuklir, DU tetap mengandung radioaktivitas tingkat rendah dan unsur kimia beracun, yang bisa memicu dampak kesehatan serius dalam jangka panjang.

Organisasi-organisasi kesehatan internasional telah memperingatkan bahwa paparan DU dapat dikaitkan dengan “peningkatan angka leukemia, kerusakan ginjal, dan anemia – terutama pada anak-anak yang tinggal di daerah-daerah yang terkontaminasi.”

Penggunaan senjata DU oleh militer Amerika Serikat selama Perang Teluk pada tahun 1991 dan invasi ke Irak tahun 2003 juga dikaitkan dengan lonjakan kasus kanker dan penyakit kronis lainnya di wilayah terdampak.

Sumber itu menyebutkan bahwa para pakar militer kini sedang memeriksa “puing-puing dan sisa-sisa amunisi dari bom yang dijatuhkan oleh Israel di Iran selama perang 12 hari baru-baru ini.”

Ia menambahkan, “temuan yang lebih rinci akan dirilis setelah hasil lab akhir tersedia,” sambil memperingatkan agar publik tidak menarik “kesimpulan yang terlalu dini.”

Ini bukan pertama kalinya Israel dituduh menggunakan senjata yang dilarang secara internasional. Kelompok-kelompok hak asasi manusia sebelumnya telah mengutuk penggunaan fosfor putih dan amunisi berbasis uranium oleh militer Israel dalam operasi militer di Lebanon dan Jalur Gaza.

Pada 6 Oktober, Presiden Asosiasi Kedokteran Sosial Lebanon, Dr. Raif Reda, menyatakan bahwa “Israel telah mengebom pinggiran selatan Beirut menggunakan bom terlarang dengan hulu ledak uranium.”

Ia menyerukan agar dilakukan “pengumpulan sampel dari lokasi pengeboman dan pengiriman laporan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa sehingga dunia dapat menyaksikan sejarah kriminal berdarah dari musuh Zionis,” sebagaimana dilaporkan oleh National News Agency (NNA).

Setelah serangan udara besar-besaran Israel terhadap Lebanon, Sindikat Ahli Kimia Lebanon (SCL) juga memperingatkan bahwa “penggunaan jenis senjata yang dilarang secara internasional tersebut, terutama di Beirut yang berpenduduk padat, menyebabkan kerusakan besar-besaran, dan debunya menyebabkan banyak penyakit, terutama jika terhirup.” (Bahry)

Sumber: Cradle

Netanyahu Minta Penundaan Sidang Kasus Korupsinya, Pengacara Alasan Situasi Keamanan dan Dukungan Trump

YERUSALEM (jurnalislam.com)– Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu meminta pengadilan untuk menunda kesaksiannya dalam persidangan kasus korupsi yang telah berlangsung lama, dengan alasan situasi keamanan nasional dan dukungan dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

Permintaan itu diajukan pada Kamis (26/6/2025) melalui pengacaranya, Amit Hadad, yang menyebut bahwa kesaksian Netanyahu perlu ditunda karena “perkembangan regional dan global”.

“Pengadilan dengan hormat diminta untuk membatalkan sidang di mana perdana menteri dijadwalkan untuk memberikan kesaksian dalam dua minggu mendatang,” demikian tertulis dalam dokumen pengajuan tersebut.

Hadad menambahkan bahwa Netanyahu “dipaksa untuk mencurahkan seluruh waktu dan energinya untuk mengelola persoalan nasional, diplomatik, dan keamanan yang sangat penting”, merujuk pada konflik singkat dengan Iran serta pertempuran yang sedang berlangsung di Jalur Gaza, tempat sejumlah sandera Israel masih ditahan.

Sebelumnya, pada Rabu (25/6), Presiden AS Donald Trump turut mengomentari kasus Netanyahu. Melalui akun Truth Social miliknya, Trump menyebut kasus tersebut sebagai “perburuan penyihir” dan meminta agar persidangan “DIBATALKAN, SEGERA, atau diberikan Pengampunan kepada Pahlawan Besar”.

Netanyahu membalas dukungan tersebut dengan ucapan terima kasih melalui akun X (dulu Twitter).

“Terima kasih atas dukungan Anda yang tulus kepada saya, dan dukungan luar biasa Anda bagi Israel dan rakyat Yahudi. Saya berharap dapat terus bekerja sama dengan Anda untuk mengalahkan musuh bersama, membebaskan para sandera, dan memperluas lingkaran perdamaian,” tulis Netanyahu sambil membagikan unggahan Trump.

Namun, pernyataan Trump menuai reaksi dari kubu oposisi Israel. Pemimpin oposisi Yair Lapid memperingatkan agar Trump tidak ikut campur dalam urusan hukum internal Israel.

“Kami menghargai Presiden Trump, tetapi seorang presiden tidak seharusnya mencampuri proses peradilan di negara yang independen,” ujar Lapid dalam wawancara dengan situs berita Ynet.

Netanyahu saat ini merupakan perdana menteri terlama dalam sejarah Israel. Persidangan terhadapnya pertama kali dimulai pada Mei 2020 dan telah beberapa kali mengalami penundaan.

Dalam kasus pertama, Netanyahu dan istrinya, Sara, dituduh menerima hadiah mewah senilai lebih dari 260.000 dolar AS setara sekitar Rp4,2 miliar (kurs Rp16.300 per USD)  termasuk cerutu, perhiasan, dan sampanye dari sejumlah miliarder, sebagai imbalan atas bantuan politik.

Dalam dua kasus lainnya, Netanyahu dituduh mencoba mengatur liputan media yang lebih menguntungkan dirinya di dua outlet berita besar Israel. (Bahry)

Sumber: France24

Uni Eropa Mengecam Tanpa Taring, Gagal Tekan Israel Hentikan Perang di Gaza

BRUSSELS (jurnalislam.com)– Para pemimpin Uni Eropa (UE) yang bertemu dalam KTT di Brussels pada Kamis (26/6/2025) menyatakan keprihatinan mendalam atas situasi kemanusiaan yang memburuk di Jalur Gaza. Meski mengutuk “jumlah korban sipil yang tidak dapat diterima” dan “tingkat kelaparan” yang terjadi, blok tersebut belum mampu menyepakati langkah konkret untuk menekan Israel agar menghentikan agresinya.

Dalam pernyataan resmi, Dewan Eropa menyerukan gencatan senjata segera serta pembebasan tanpa syarat seluruh sandera, sebagai upaya menuju penghentian permanen permusuhan.

Kecaman ini muncul setelah laporan dinas diplomatik UE yang diterbitkan pekan lalu menilai bahwa Israel kemungkinan besar telah melanggar kewajiban hak asasi manusia dalam kerangka Perjanjian Asosiasi UE-Israel yang ditandatangani pada tahun 2000. Namun, blok tersebut belum mengambil tindakan terhadap hasil penilaian itu, termasuk menangguhkan atau mencabut perjanjian tersebut.

UE sebelumnya telah memerintahkan peninjauan ulang perjanjian asosiasi pada Mei lalu, seiring meningkatnya tuduhan—termasuk dari organisasi HAM dan pakar PBB—bahwa Israel secara sistematis membuat warga Gaza kelaparan. Temuan dalam laporan peninjauan, menurut beberapa diplomat, menyoroti blokade terhadap Gaza, pembunuhan warga sipil, serangan terhadap rumah sakit, serta pemindahan paksa dan perluasan permukiman ilegal di Tepi Barat.

Namun, perpecahan di internal UE—terutama antara negara-negara yang vokal menentang pelanggaran Israel seperti Irlandia dan Spanyol, dan pendukung kuat Israel seperti Jerman dan Hongaria—membuat pernyataan akhir pertemuan tersebut lebih moderat dan tidak mencerminkan sikap tegas.

“Mereka hanya berhasil menyusun pernyataan lunak karena perbedaan besar antarnegara anggota mengenai bagaimana bersikap terhadap Israel,” lapor Hashem Ahelbarra dari Al Jazeera di Brussels.

Jerman disebut sebagai negara yang paling konsisten mendukung Israel, termasuk dalam hal bantuan politik dan militer.

Sementara itu, Perdana Menteri Irlandia Micheal Martin menyuarakan ketidakpuasannya terhadap posisi UE yang dinilainya lemah.

“Perang harus dihentikan. Rakyat Eropa merasa tidak dapat dipahami mengapa Uni Eropa tampaknya tidak mampu memberi tekanan pada Israel untuk mengakhiri perang ini, menghentikan pembantaian anak-anak dan warga sipil tak berdosa di Gaza,” ujarnya.

Seruan dari Irlandia dan Spanyol untuk menangguhkan Perjanjian Asosiasi UE-Israel hingga kini belum mendapatkan dukungan mayoritas anggota.

Di hari yang sama, serangan Israel kembali menewaskan sedikitnya 62 orang, termasuk di sekitar lokasi distribusi bantuan yang dikelola Gaza Humanitarian Foundation (GHF), sebuah lembaga bantuan kemanusiaan swasta yang didukung Amerika Serikat dan bekerja di bawah koordinasi tentara Israel serta kontraktor keamanan.

Kantor Media Pemerintah Gaza melaporkan bahwa sejak GHF mulai beroperasi satu bulan lalu, setidaknya 549 warga Palestina telah tewas di sekitar lokasi distribusi bantuan tersebut. Secara keseluruhan, perang yang berlangsung sejak Oktober 2023 telah menewaskan 56.156 orang, menurut data terbaru Kementerian Kesehatan Gaza.

Dalam pernyataannya, para pemimpin UE juga mendesak Israel untuk mencabut blokade terhadap Gaza agar bantuan kemanusiaan dapat masuk dan terdistribusi tanpa hambatan. Selain itu, mereka mengecam eskalasi kekerasan di Tepi Barat, khususnya peningkatan kekerasan oleh pemukim Israel dan perluasan permukiman ilegal.

Meskipun mengutuk pelanggaran-pelanggaran tersebut, Uni Eropa hingga kini masih menjadi mitra dagang terbesar Israel. (Bahry)

Sumber: Al Jazeera

Penembak Jitu Israel Tewaskan Anak 13 Tahun di Tepi Barat, Korban Anak ke-30 Tahun Ini

TEPI BARAT (jurnalislam.com)— Seorang anak laki-laki Palestina berusia 13 tahun, Rayan Tamer Anwar Houshyeh, tewas ditembak penembak jitu Israel pada Rabu sore (25/6/2025) di kota al-Yamoun, Tepi Barat yang diduduki. Insiden ini terjadi saat pasukan Israel melakukan penggerebekan militer di wilayah tersebut.

Menurut laporan organisasi hak anak Defense for Children International – Palestine (DCI-P), Rayan ditembak dari jarak sekitar 50 hingga 60 meter saat ia mengintip dari balik tembok batu di sebuah gang dekat Masjid Omar Ibn Al-Khattab untuk mengamati pergerakan pasukan Israel.

“Anak tersebut mengalami luka tembak di leher, perut, dan paha,” ungkap DCI-P dalam pernyataan tertulis yang dirilis Kamis (26/6).

Ayed Abu Eqtaish, Direktur Program Akuntabilitas DCI-P, menyatakan bahwa pembunuhan ini menunjukkan kondisi tragis yang dihadapi anak-anak Palestina di wilayah pendudukan.

“Tentara Israel memasuki kampung halaman Rayan, membunuhnya tanpa berpikir dua kali, dan tidak seorang pun akan bertanggung jawab. Inilah masa kanak-kanak di Palestina saat ini,” tegasnya.

DCI-P mencatat, kematian Rayan menjadi anak Palestina ke-30 yang tewas di tangan pasukan Israel di Tepi Barat sepanjang tahun 2025.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari militer Israel terkait insiden penembakan tersebut. (Bahry)

Sumber: Al Jazeera