Angkatan Laut Thailand Akan Akhiri Misi Bantuannya, Tinggalkan Imigran Muslim Rohingya di Tengah Laut

BANGKOK (Jurnalislam.com) – Angkatan laut Thailand merubah keputusannya setelah sebelumnya menyatakan bahwa kapal angkatan laut yang digunakan sebagai pusat komando dan kontrol untuk membantu korban krisis manusia perahu Asia Tenggara akan mengakhiri misinya pada hari Rabu (10/06/2015).

Kapten Angkatan Laut Benjamaporn Wongnakornsawang mengatakan bahwa HTMS Ang Thong, yang dilengkapi dengan helikopter pencarian dan unit tanggap darurat, akan melanjutkan misi kemanusiaan di Laut Andaman saat pemerintah berdebat mengenai perannya.

"Kami akan melanjutkan misi sampai ada perintah untuk menghentikannya," kata Wongnakornsawang kepada Anadolu Agency pada hari Rabu.

Angkatan laut tersebut sebelumnya menyatakan bahwa Ang-Thong akan mencapai akhir misinya yang direncanakan selama dua minggu.

Wongnakornsawang berusaha menjelaskan bahwa pertemuan pemerintah saat ini akan menentukan respon yang tepat dan kelanjutan misi mereka.

Sementara itu, laporan terus menyebutkan bahwa para imigran masih terkatung-katung di tengah laut.

The Malay Mail melaporkan hari Rabu bahwa beberapa kapal yang dioperasikan oleh sindikat perdagangan manusia yang membawa Muslim Rohingya dan Bangladesh tetap berada di perairan internasional dekat wilayah Satun, Thailand.

Dikatakan bahwa mereka sedang menunggu untuk melihat apakah mereka bisa masuk Malaysia atau harus berlayar ke Indonesia.

Sejak konferensi tiga-bangsa 20 Mei Thailand menyatakan akan membantu, tapi tidak akan mengijinkan untuk berlabuh. Ribuan manusia perahu tetap berada di laut sejak upaya menindak para pedagang manusia dimulai tanggal 1 Mei.

Malaysia dan Indonesia mengatakan bahwa mereka akan menampung para manusia perahu tersebut selama satu tahun, sambil memastikan yang mana pencari suaka dan yang mana migran ekonomi, dan kemudian masyarakat internasional akan menemukan rumah yang tepat untuk mereka.

The Mail mengutip seorang pejabat senior yang tidak disebutkan namanya dari stasiun penjaga pantai Satun di Pulau Puyu yang mengatakan bahwa mereka telah memantau kapal-kapal tersebut selama lebih dari satu minggu.

Satun adalah salah satu provinsi selatan Thailand. Provinsi tetangga mereka adalah Trang, Phatthalung, dan Songkhla, di mana kamp perdagangan yang mengubur lebih dari 30 mayat di kuburan dangkal ditemukan di dekat perbatasan Malaysia-Thailand pada 1 Mei.

Di sisi selatan, Satun berbatasan dengan Perlis, Malaysia.

"Kami sedang memantau mereka karena kita tidak dapat bereaksi kecuali mereka menyeberang ke perairan kita. Saat mereka menyeberang ke perairan kita, kita akan mengingatkan Angkatan Laut dan polisi laut untuk mengambil tindakan segera," katanya kepada the Mail.

Ia mengatakan ia mengerti bahwa perahu, yang masing-masing membawa antara 300 hingga 500 orang, telah berlayar dari Myanmar dan Bangladesh sebelum berita mengenai tindakan keras pemerintah mencapai desa-desa terpencil tersebut.

Banyak penghuni perahu Rohingya Muslim ini yang melarikan diri dari negara bagian barat Myanmar, Rakhine, akibat kebrutalan para pemimpin militer negara itu.

Beberapa warga Rohingya telah meninggalkan kamp-kamp pengungsi di wilayah Cox Bazar Bangladesh, sementara yang lain mengatakan dipaksa ke kapal oleh penyelundup manusia, yang kemudian menuntut uang tebusan dari keluarga mereka untuk menjamin perjalanan yang aman mereka kembali ke rumah.

Rohingya bergabung dengan migran ekonomi dari Bangladesh, yang putus asa dan berusaha mencapai kesempatan kerja yang mereka percaya sedang menunggu mereka di pembangkit tenaga listrik daerah Malaysia.

The Mail mengutip seseorang warga Myanmar berusia 42 tahun yang tidak disebutkan namanya yang mengatakan bahwa kapal membutuhkan waktu antara 30-40 hari untuk tiba ke Satun dari Myanmar.

"Ada lima atau enam kapal yang berlabuh di Pulau Puyu, sebelum terjadi tindakan keras oleh pemerintah Thailand awal bulan lalu menyusul ditemukannya kuburan massal di perbatasan Malaysia-Thailand," tambahnya.

Imran Gafur, seorang nelayan Thailand berusia 45 tahun, mengatakan kepada Mail bahwa sampai 10 hari yang lalu empat muatan kapal imigran berlabuh di dekat pulau hingga otoritas mengusir mereka.

"Kapal yang membawa imigran Myanmar dan Bangladesh telah mendarat di sini selama satu dekade dan kami pikir mereka ingin pergi ke Malaysia. Penduduk desa tidak menyadari bahwa sindikat mengambil uang untuk mengangkut mereka, sampai ditemukan kuburan massal ini," katanya.

"Para penduduk desa bersimpati dengan para pendatang. Sekarang kita menyadari bahwa mereka adalah orang-orang tak berdosa yang disiksa, dilecehkan dan perempuan diperkosa oleh agen. Kami tidak mentolerir kekejaman terhadap manusia lain."

Sejak krisis dimulai, sekitar 5.600 Muslim Rohingya telah tiba di Thailand, Malaysia dan Indonesia, Chris Lewa dari Arakan Project mengatakan kepada Anadolu Agency.

Namun, dia mengatakan tidak jelas berapa banyak yang masih di laut.

Sejak 2012, Rohingya – yang oleh PBB dianggap etnis minoritas paling teraniaya di dunia – telah melarikan diri dari Myanmar berbondong-bondong, takut akan kekerasan yang oleh beberapa kelompok hak asasi manusia dianggap disponsori negara.

Kelompok-kelompok HAM memperkirakan bahwa sebanyak 10 persen dari jutaan etnis yang kuat telah melarikan diri dari negara tersebut untuk mencari peluang yang lebih baik di Negara mayoritas Muslim, Indonesia dan Malaysia.

 

Deddy | Anadolu Agency | Jurniscom

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.