MYANMAR (Jurnalislam.com) – Pasukan militer Budha Myanmar dan gerombolan preman Buddha di Myanmar melaksanakan sebuah kebijakan bumi hangus di wilayah mayoritas Muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine, membakar seluruh desa Rohingya dan menembaki penduduknya saat mereka mencoba melarikan diri, kata Amnesty International, kepada Aljazeera Kamis (14/9/2017).
Menurut data satelit baru, data deteksi kebakaran, foto dan video dari lapangan, kelompok hak asasi manusia mengatakan pada hari Kamis bahwa sedikitnya ada 80 kebakaran berskala besar di daerah-daerah berpenduduk di negara bagian Rakhine utara sejak 25 Agustus.
Erdogan: Kerahkan Semua Kemampuan untuk Hentikan Kekejaman Myanmar di Rohingya
“Buktinya tidak terbantahkan – pasukan militer Budha Myanmar menetapkan membakar negara bagian Rakhine utara dalam sebuah operasi yang ditargetkan untuk mendorong orang-orang Rohingya keluar dari Myanmar,” kata Tirana Hassan, Direktur Penanggulangan Krisis Amnesty International.
“Tidak salah lagi: ini adalah pembersihan Muslim Rohingya.”
Sedikitnya 370.000 muslim Rohingya diperkirakan telah melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine ke negara tetangga Bangladesh setelah pejuang Arakan Rohingya Solidarity Army (ARSA) menyerang pos polisi, sebagai tanggapan dari pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan dan pembakaran warga dan rumah Muslim Rohingya.
Pemerintah Myanmar mengatakan pada hari Rabu bahwa hampir 40 persen desa Rohingya dijadikan sasaran tentara dalam apa yang mereka sebut “operasi pembersihan,” sehingga 176 dari 471 desa benar-benar kosong, dan 34 desa tambahan “sebagian ditinggalkan penduduknya.”
Myanmar Blokir Diskusi Muslim Rohingya pada Pertemuan ASEAN
Dalam laporan tersebut, Rohingya mengatakan bahwa tentara, polisi dan kelompok preman Buddha kadang-kadang mengepung sebuah desa dan menembak ke udara sebelum masuk, namun seringkali mereka langsung menyerang dan mulai menembak ke segala arah warga.
“Ketika militer datang, mereka mulai menembaki orang-orang yang sangat ketakutan dan mulai berlari, saya melihat militer menembak banyak orang dan membunuhi anak laki-laki. Mereka menggunakan senjata untuk membakar rumah kami,” kata seorang yang selamat.
“Dulu ada 900 rumah di desa kami, sekarang hanya 80 yang tersisa. Tak ada yang tersisa untuk mengubur mayatnya.”
Amnesty mengatakan bahwa pihaknya dapat menguatkan kejahatan pembakaran dengan menganalisis foto-foto yang diambil dari seberang Sungai Naf di Bangladesh, yang menunjukkan bumbungan besar asap yang meninggi di Myanmar.
Organisasi hak asasi internasional tersebut mengatakan bahwa di beberapa daerah, pemerintah daerah terlebih dahulu memperingatkan desa-desa itu bahwa rumah mereka akan dibakar, sebuah indikasi yang jelas bahwa serangan tersebut disengaja dan direncanakan.
Seorang saksi mata dari desa Pan Kyiang di kota Rathedaung menggambarkan bahwa pada pagi hari tanggal 4 September, militer datang dengan administrator desa: “Dia mengatakan pada pukul 10 pagi hari ini agar kami sebaiknya pergi, karena semuanya akan dibakar.”
Ketika keluarganya sedang mengemasi barang-barang mereka, dia melihat ‘bola api’ mengarah ke rumahnya, dan pada saat itu mereka melarikan diri dengan panik.
Penduduk desa yang bersembunyi di sawah di dekatnya menyaksikan tentara tampaknya membakar rumah dengan menggunakan peluncur roket.
Menlu Bangladesh: Pasukan Myanmar Bunuh 3.000 Lebih Muslim Rohingya
Amnesty mengatakan jumlah kebakaran dan tingkat kerusakan properti sebenarnya bisa jauh lebih tinggi, karena awan yang menutupi selama musim hujan telah menyulitkan satelit untuk menangkap semua pembakaran.
Militer semakin kejam di Rakhine sejak pemerintah Aung San Suu Kyi mengirim ribuan tentara ke desa dan dusun Rohingya Oktober lalu setelah sembilan pasukan kejam Budha Myanmar tewas oleh ARSA.
Serangan pasukan militer Budha Myanmar selalu dengan pembakaran, pembunuhan dan pemerkosaan; Antonio Guterres, sekretaris jenderal PBB, memperingatkan kemungkinan pembersihan etnis.
Aung san Suu Kyi banyak dikecam oleh dunia Internaasional karena membiarakan dan tanpa belas kasihan dalam menghadapi tragedi kemanusian tersebut, yang menenggelamkan reputasi peraih Nobel Perdamaian itu.