KASHMIR (Jurnalislam.com) – Sedikitnya 19 terbunuh dan 200 lainnya terluka oleh pasukan India dan tetap tidak ada satu patah kata pun dari PM Modi atau masyarakat internasional.
Saat korban tewas meningkat menjadi 19 di Kashmir India menyusul serangan berdarah terhadap para pelayat dan pengunjuk rasa akhir pekan ini, Kashmir menyayangkan kurangnya kecaman internasional atas kekerasan pasukan India yang dijatuhkan pada mereka.
Ahad malam, pihak berwenang mencatat sedikitnya 19 orang terbunuh dan 200 lainnya terluka setelah polisi dan tentara paramiliter menembaki puluhan ribu warga Kashmir yang turun ke jalan untuk memberi penghormatan kepada pemimpin perlawanan yang gugur, Mujahidin Burhan Wani, syahid, dalam baku tembak oleh pasukan India pada hari Jumat (08/07/2016). (baca juga: Komandan Muda Mujahidin Kashmir Gugur dalam Baku Tembak dengan Pasukan India)
Mirwaiz Umar Farooq, Imam masjid Jamia Srinagar dan pemimpin faksi the All Parties Hurriyat Conference, mengatakan kepada Al Jazeera, Ahad (10/07/2016), bahwa kurangnya kecaman dari India dan internasional, membuktikan bahwa “nyawa penduduk Muslim Kashmiri tidak penting.”
“Tidak ada pihak atau lembaga politik yang mengutuk kekerasan karena mereka tidak merasa perlu … mereka sangat terputus dari tempat ini,” kata Farook dari rumahnya di Srinagar, di mana ia telah berada di bawah tahanan rumah sejak Jumat.
Ini adalah sentimen yang digemakan oleh serangkaian pengamat dan aktivis hak asasi manusia, yang juga menyatakan bahwa pembunuhan Burhan menjadikan media India menjadi hiruk-pikuk.
Mirza Waheed, seorang novelis Kashmir yang berbasis di London, mengatakan bahwa dalam beberapa kasus, “kita tidak bisa membedakan antara aparat media dan negara.”
Tapi Gautam Navlakha, dari Serikat Rakyat untuk Hak Demokrasi (the People’s Union for Democratic Rights-PUDR), menggambarkan keheningan masyarakat sipil India atas peristiwa tiga hari terakhir tersebut sebagai sangat bermasalah.
“Sepertinya ada sebuah penggabungan antara ekstremisme dan hak Kashmir untuk menentukan nasib sendiri. Orang-orang tampaknya mengurangi semua perbedaan pendapat di Kashmir dan menganggapnya Islam radikal, namun situasi di Kashmir berbeda,” Navlakha, seorang aktivis hak asasi manusia yang berbasis di Delhi, mengatakan.
“Mereka tidak menyadari bahwa hati dan pikiran orang-orang di sana tidak menyatu dengan India, dan ini adalah fakta,” katanya.
Menurut masyarakat sipil Kashmir, jumlah korban tewas kemungkinan akan meningkat, dengan media lokal melaporkan jumlah korban tewas bisa meningkat hingga 22.
Mereka juga menuduh pasukan India menggunakan kekerasan yang tidak proporsional dan menerapkan kebijakan brutal “menembak untuk membunuh”. Salah satu dokter di rumah sakit skims di Srinagar mengkonfirmasi kepada Al Jazeera bahwa pasien dengan luka tembak semua terkena di daerah pinggang ke atas.
Berbicara pada kondisi anonimitas, dokter mengatakan ada sedikitnya empat pasien lain yang berada dalam kondisi kritis di rumah sakit.
“Ada orang-orang yang masih datang dengan luka, pertama mereka datang dari utara dan selatan Kashmir, sekarang mereka datang dari Srinagar itu sendiri, sebagian besar menderita akibat luka peluru,” katanya.
Menanggapi tuduhan kekerasan yang tidak proporsional, Naeem Akhtar, juru bicara pemerintah negara bagian Jammu & Kashmir berdalih bahwa pasukan India mungkin telah diizinkan menggunakan kekerasan sebagai metode membela diri.
“Ada serangan terhadap barak dan kamp-kamp […] jika ada massa berjumlah 1000 orang menyerang sekelompok 10-15 orang, apa yang Anda harapkan mereka lakukan?” ia berkata kepada Al Jazeera, menambahkan bahwa akan ada penyelidikan tentang masalah ini.
Pada hari Sabtu, polisi mengatakan bahwa banyak orang yang marah membakar tiga kantor polisi dan dua bangunan pemerintah selatan Srinagar, dan memblokir jalan-jalan ketika bentrokan terjadi.
Sedikitnya satu polisi tewas. K. Rajendra Kumar, Direktur Jenderal Polisi Jammu dan Kashmir mengatakan sekitar 100 anggota pasukan India terluka. Tiga petugas juga masih hilang.
Tapi Waheed mengatakan kenapa pasukan India dapat bertindak dengan kebrutalan seperti itu karena mereka tahu mereka tidak akan pernah dituntut atas tindakan mereka.
“Ketika itu terjadi pada tahun 2010, tidak ada yang bertanggung jawab atas kekerasan … sehingga mereka melakukan tindakan brutal lagi, dan lagi,” kata Waheed, mengacu pada protes musim panas 2010 ketika Kashmir dilanda aksi protes. Lebih dari 120 pemuda muslim Kashmir meninggal tahun itu.
Menurut Dilnaz Boga, seorang wartawan independen yang berbasis di Mumbai, mengingat hubungan India dengan Amerika Serikat, Perancis, Israel dan Inggris dalam perang melawan Muslim Kashmir, tidak akan ada kecaman dari kekuatan dunia yang mungkin akan keluar.
Masalahnya berakar pada kurangnya pemahaman dan sensor terhadap kisah perlawanan Kashmir.
“Jika orang tahu bagaimana India telah memotong hak-hak muslim Kashmir, orang-orang akan menyadari bahwa ini adalah masalah politik yang membutuhkan solusi politik,” katanya kepada Al Jazeera.