Rusuh Resah Perda Bernuansa Syariat

Rusuh Resah Perda Bernuansa Syariat

PEKAN ini jagat media diramaikan dengan pemberitaan menyoal razia warung makan milik Bu Saeni di Kota Serang, Banten oleh Satpol PP pada Rabu pekan lalu. Berita ini menjadi ramai di seantero negeri, berita lokal yang lantas menjadi isu nasional sampai-sampai para pemangku kebijakan negeri ini ikut bersuara lantang mengkritisi kejadian tersebut, dengan tujuan untuk melanggengkan agenda pencitraan mereka di hadapan rakyat.

Kejadian ini menjadi happy ending bagi Bu Saeni yang dengan ‘akting’ sedihnya ia berhasil meraup simpati netizen. Jutaan netizen kemudian menggalang donasi untuk dirinya dan terkumpul lah uang senilai Rp 172.844.160 yang telah diambil Bu Saeni di Bank BRI Jalan Diponegoro Serang pada Rabu, (15/6/2016) kemarin.

Kronologi kejadian itu bermula ketika implementasi Perda No 02 Tahun 2010 tentang penyakit masyarakat (Pekat) di Kota Serang mendapat benturan yang sangat dahsyat dari mereka yang anti Syariat. Sorotan tajam tertuju kepada Satpol PP Kota Serang yang dalam hal ini mempunyai kapasitas untuk mengawal Perda diatas. Satpol PP dicitrakan refresif, meskipun mereka sudah menjelaskan kewenangannya yang sesuai SOP yang berlaku.

Pendekatan secara preventif sudah dilakukan mulai dari konsolidasi serta sosialisasi perda tersebut tetapi karena alasan tertentu para pedagang itu ‘membandel’. Sialnya, Bu Saeni mengaku buta huruf, ia mengaku tak tahu isi Surat Edaran yang ditempel di warungnya.

Terang saja, kejadian razia warung Bu Saeni oleh satpol PP yang diblow up media mainstream menjadi viral dan memunculkan polemik berkepanjangan. Tekanan bertubi-tubi dari segelintir masyarakat anti syariat mengalir begitu deras untuk segera menghapus perda yang dituduh merugikan masyarakat kelas bawah serta menabrak nilai-nilai toleransi serta keadilan itu.

Sangat tidak fair ketika kejadian ini hanya dilihat dari sudut pandang nilai toleransi saja, sebab banyak sudut pandang lain yang dapat digunakan untuk mengukur persoalan ini menjadi lebih bijak dan proporsioanal agar tidak lantas menjadi polemik berkepanjangan.

Kejadian ini menjadi begitu rusuh bahkan dibuat rusuh oleh mereka para perusuh yang sedari awal tidak pernah menginginkan peraturan yang bernafaskan Islam. Kondisi ini kemudian diperkeruh untuk semakin gaduh dan rusuh oleh mereka media-media kapitalis yang tanpa tendeng aling-aling menyudutkan implementasi Perda tersebut. Menggelontorkan opini kepada masyarakat serta menggaungkan jargon toleransi yang menjadi senjata mereka untuk menyerang Islam.

Jelas saja kontruksi berpikir masyarakat menjadi terpengaruhi sehingga banyak umat Islam yang terbawa suasana untuk mengutuk kejadian ini yang kemudian dijadikan celah oleh mereka para musuh-musuh islam untuk memberangus perda-perda bernuansa syariat tersebut. Hal ini dibuktikan dengan kicauan presiden dan mendagri untuk segera menghapus perda-perda yang dianggap oleh mereka bermasalah.

Sangat paradoks ketika perda yang sudah dibuat 5 tahun yang lalu, sudah berjalan secara efektif, harus dikaji ulang lantaran kesalahan teknis di lapangan. Padahal secara ekses pun razia ini tidak merugikan secara materi hanya karena ulah rusuh mereka kemudian dipublikasikan menjadi gaduh agar umat Islam yang mayoritas ini kembali tertuduh sebagai umat yang “intoleran”.

Perda merupakan proses legislasi yang mengalami perdebatan panjang. Tarik ulur kepentingan sudah barang tentu ada dalam pembuatan perda tersebut. Perda yang lahir atas dorongan para ulama dan tokoh masyarakat yang bertujuan untuk menjaga kondusifitas kehidupan masyarakat disuatu daerah, kekhidmatan beribadah umat beragama pun diatur dalam perda. Jadi singat tidak logis ketika ada sebagian yang mendekriditkan implementasi perda.

Untuk masuk dalam pembahasan legislasi di tingkat legislatif ini sudah barang tentu butuh energi maksimal untuk mengawal jalannya pembahasan perda tersebut, lalu ketika hari ini muncul wacana penghapusan perda oleh tataran pusat maka eksekutif dalam hal ini sudah inkonstitusional, melanggar pancasila serta demokrasi. Tentu wacana penghapusan perda merupakan kegelisahan mereka, gelisah karena takut kepentingannya terusik, gelisah karena khawatir misi ideologi mereka terganggu, bagi mereka kelompok-kelompok yang sering menggemakan kebebasan yang kebablasan tentu menjadi sangat takut ketika perda bernuansa syariat ini terus dijalankan karena jelas akan mengancam kampanye kebebasan mereka.

Tiga elemen ini yaitu rezim yang berkuasa, media sekuler dan kaum liberal bersinergi untuk mengeroyok Islam. Rezim yang dalam hal ini condong kepada tata peraturan sekuler dikawal oleh media-media kapitalis untuk merealisasikan pesanan para majikannya dengan menyuguhkan berita yang tanpa berdasarkan fakta-fakta di lapangan serta didukung oleh mereka kelompok liberal anti Islam agar jargon kebebasan yang digaungkannya bebas tereksperesikan di negeri tercinta ini.

Tiga elemen ini mempropagandakan kepada umat bahwa ideologi Islam tidak layak hadir untuk mengurus masyarakat. Islam cukup hadir di ruang-ruang mesjid dan madrasah saja, atau Islam cukup hanya sekedar ritual seremonial belaka.

Sudah saatnya polemik ini menjadi cambuk bagi umat Islam bahwa rapuhnya ukhuwah akan memporak-porandakan fondasi Islam. Cukuplah mereka mengkotak-kotakan umat islam, saatnya menggalang persatuan umat agar Islam kuat serta kokoh. Momentun Ramadhan seyogyanya dijadikan bulan pembebasan dan perjuangan untuk menyongsong kebangkitan umat dalam menyambut fajar kejayaan Islam.

Terakhir penulis ingin mengutip Pesan Langit dalam surat Al Baqarah ayat 120, yang hari ini pesan itu benar-benar sedang terjadi. “Orang orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah suka kepada kamu sampai kamu mengikuti millah (ideologi) mereka”.

 

Penulis: Feisal Kertapermana

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses