Oleh : Nabilaturra’yi
Dikutip dari laman Kompas.com (13/12/2025), Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti menyampaikan bahwa pemerintah berencana memulai kembali pembangunan sekolah-sekolah yang rusak akibat banjir bandang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada Februari 2026, setelah proses pendataan kerusakan rampung dilakukan. Sambil menunggu pembangunan, pemerintah menyiapkan tiga skenario pembelajaran darurat, termasuk penyediaan ruang kelas sementara, perlengkapan belajar, serta dukungan psikososial agar kegiatan belajar mengajar tetap berlangsung di tengah proses pemulihan pascabencana.
Benar sekali adanya bahwa bencana yang melanda wilayah Sumatra tidak hanya menyisakan kerusakan fisik, tetapi juga menyingkap persoalan mendasar dalam tata kelola negara, khususnya dalam menjamin keberlangsungan pendidikan generasi pascabencana. Data yang dipaparkan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah menunjukkan ribuan satuan pendidikan terdampak dan ratusan ribu siswa mengalami gangguan layanan pendidikan. Sekolah rusak, akses terputus, bahkan sebagian dialihfungsikan sebagai posko pengungsian. Namun, kondisi ini justru berbanding terbalik dengan pernyataan elite yang menyebut situasi pascabencana dalam keadaan baik dan terkendali.
Kesenjangan antara narasi penguasa dan realitas lapangan menunjukkan lambannya respon negara dalam pemulihan pendidikan. Hingga kini, langkah pemulihan sarana dan prasarana pendidikan terbilang tertunda, sementara hak generasi untuk memperoleh pendidikan yang layak dibiarkan terkatung-katung.
Di banyak lokasi, justru lembaga kemanusiaan, NGO, dan individu yang bergerak cepat menyediakan ruang belajar darurat dan bantuan pendidikan. Negara, yang seharusnya menjadi penanggung jawab utama, tampak hadir sebatas wacana dan rencana jangka panjang.
Kondisi ini mencerminkan krisis paradigma kepemimpinan. Dalam sistem yang berorientasi administratif dan anggaran, pemenuhan hak rakyat seringkali kalah oleh prosedur dan perhitungan efisiensi.
Pendidikan pascabencana tidak diposisikan sebagai kebutuhan mendesak, melainkan sekadar bagian dari program yang menunggu waktu dan kesiapan anggaran. Akibatnya, generasi korban bencana harus membayar mahal kelalaian negara dengan terhambatnya proses belajar dan masa depan mereka.
Islam memandang kepemimpinan sebagai ri‘ayah pengurusan total terhadap urusan rakyat. Pemimpin bukan sekadar pengambil kebijakan, melainkan pelayan yang wajib memastikan kebutuhan asasi rakyat terpenuhi, termasuk pendidikan.
Dalam perspektif Islam, kesiapsiagaan pada penanganan bencana tidak berhenti pada tanggap darurat, tetapi berlanjut pada pemulihan cepat dan menyeluruh.
Bahkan Negara juga wajib segera membangun kembali infrastruktur pendidikan, memobilisasi tenaga pendidik, serta menyediakan sarana belajar darurat yang layak tanpa jangka waktu yang cukup lama.
Sejarah pemerintahan Islam menunjukkan bahwa penanganan bencana dilakukan dengan koordinasi kuat antara pusat dan wilayah. Para wali (gubernur) diberi kewenangan luas untuk bertindak cepat, sementara baitul mal difungsikan optimal untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Tidak ada alasan menunda pemulihan pendidikan karena keterbatasan anggaran, sebab harta publik dalam sistem Islam diperuntukkan sepenuhnya bagi kemaslahatan umat.
Perbedaan ini semakin jelas jika dibandingkan dengan sistem kapitalisme hari ini, di mana APBN kerap terikat pada skema anggaran tahunan, efisiensi, dan prioritas politik. Bahkan menjelang akhir tahun anggaran, dana sering habis untuk proyek administratif, sementara pemulihan pendidikan korban bencana berjalan lambat. Dalam sistem Islam, pengelolaan keuangan negara tidak tunduk pada logika pasar, tetapi pada kewajiban syar’i untuk menjamin hak rakyat.
Dengan demikian, bencana di Sumatra seharusnya menjadi cermin untuk menilai sejauh mana negara benar-benar hadir sebagai pengurus rakyat. Selama pendidikan generasi pascabencana masih terabaikan, klaim keberhasilan pemulihan hanyalah ilusi.
Islam menawarkan paradigma kepemimpinan yang tegas, cepat, dan berpihak pada rakyat sebuah solusi hakiki agar tidak ada lagi generasi yang kehilangan masa depan hanya karena negara terlambat bertindak.
Maka dari itu, merupakan sebuah keharusan bagi seluruh kaum muslimin untuk mengembalika kembali paradigma kepemimpinan Islam yang terjamin mampu menjadi solusi hakiki atas berbagai persoalan di muka bumi ini.
Wallahu a’lam bish showwab