Loneliness dan Hopelessness Pintu Masuk Mengakhiri Hidup?

Loneliness dan Hopelessness Pintu Masuk Mengakhiri Hidup?

Oleh : Herliana Tri M

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan dunia ini sebagai ujian keimanan bagi hamba-hamba Nya. Maka setiap manusia akan memiliki ujiannya masing- masing. Namun janji Allah yang patut kita pegang bahwa tak ada ujian melebihi kadar kemampuan kita untuk menanggungnya. Artinya setiap ujian yang hadir sudah tertakar dan terukur. Disinilah pentingnya keimanan memegang peranan dalam jiwa setiap hamba sehingga mampu mengatasi dan siap dengan berbagai ujian.

Banyaknya peristiwa yang hadir sehingga menghantarkan depresi bahkan berujung pada keputusan mengakhiri hidupnya sebagai wujud kelemahan dan ketidakmampuan menghadapi dan menyelesaikan masalah.

Beberapa kasus upaya bunuh diri yang dilakukan oleh generasi terdidik termasuk mahasiswa, kita temukan. Polresta Bogor Kota menyampaikan tentang jatuhnya mahasiswi Universitas Pakuan, tak ditemukan tanda-tanda tindak kriminal, melainkan korban diduga depresi.

Setelah kejadian, dalam penyelidikannya, polisi mengamankan beberapa barang milik korban, termasuk secarik surat yang menyatakan kondisi mental korban sedang terganggu serta berisi permintaan maaf kepada orang tuanya. Isi tulisan itu antara lain berbunyi, “Maafkan Ira bu, ayah, Ira cape, Ira nyerah mental Ira rusak mental Ira hancur, Ira gagal jadi anak ibu sareng ayah”
tribratanews.jabar.polri.go.id(16/11/2025)

Fenomena bunuh diri di negeri ini patut mendapatkan perhatian serius dari semua pihak. Secara data yang tercatat, Polri (Pusiknas Bareskrim): Sebanyak 1.270 kasus bunuh diri ditangani Polri dari Januari hingga 7 November 2025.

Rata-rata terjadi lebih dari 100 kasus pada setiap bulannya. Sedangkan kasus terbanyak terjadi pada Oktober 2025, dengan 142 kasus, meningkat 10,93% dari September.

Permasalahan mental tidak hanya terjadi di negeri ini. Di Amerika Serikat, situasinya pun tak jauh beda. Survei Healthy Minds pada tahun ajaran 2022/2023 saja, menemukan bahwa 41 persen mahasiswa berbagai jenjang di sana mengalami depresi. Meski sedikit menurun daripada tahun sebelumnya (44 persen), tapi trennya terus naik sejak 2014/2015 yang waktu itu masih di kisaran 20 persen.

keterasingan (loneliness) dan ketidakberdayaan (hopelessness) merupakan beberapa rasa yang sering kali hadir di tengah keramaian dan hiruk pikuknya kehidupan. Rasa yang hadir dengan minimnya support system menjadi bagian pemicu depresi.

Faktor Pemicu Depresi

Tak mengenal usia, kasus depresi dapat dihadapi oleh siapapun juga yang sedang mengalami permasalahan hidup dan merasa buntu atas jalan keluarnya.

Faktor eksternal dan internal merupakan dua faktor penting sebagai pemicu depresi dan berakhir dengan keputusan bunuh diri. Kedua faktor inilah yang memiliki peranan terhadap ketahanan mental setiap individu.

Faktor Eksternal

Tak dapat dimungkiri, kita sekarang hidup dalam sistem kapitalisme dengan standart kehidupan bertumpu pada materi. Kehidupan yang segala sesuatunya distandarkan dengan kepemilikan materi, apa yang dimiliki dan dikuasai. Sehingga dunia nyata maupun dunia maya dipenuhi dengan rangsangan yang sifatnya duniawi, kenikmatan, gaya hidup glamor dan kemewahan.

Kehidupan yang serba materialistis, hedonistik, pencitraan yang begitu rupa, diterima melalui media, khususnya media sosial begitu masifnya. Dalam dunia maya, orang sering menunjukkan kehidupan yang serba enak, liburan, traveling, makanan, rumah, dan keluarga yang harmonis.

Kondisi ini secara langsung ataupun tidak akan memberikan pengaruh kepada seseorang tentang bagaimana citra diri yang berpengaruh terhadap harapan-harapannya di masa yang akan datang. Sementara itu, pada saat ia memandang dirinya, kehidupan riilnya tidaklah demikian, sehingga terjadi gap antara realitas dengan keinginan.

Faktor Internal

Faktor internal menjadi pengendali utama dalam bersikap. Adanya gab realitas kondisi diri dengan kehidupan glamor yang hadir dapat menjadi motivasi jika ia mempunyai jalan untuk mencapai cita-cita dan impiannya.

Jika ia menemukan jalan, maka gap itu lambat laun akan menipis sampai akhirnya cita-cita tercapai. Tetapi, jika tidak punya jalan, maka gap itu akan semakin lebar dan berpengaruh kepada dirinya seolah-olah kehidupan itu tidak mungkin berubah, tidak akan mungkin bisa mencapai apa yang ia inginkan, ditambah mentalitas tidak terbentuk, pada titik ini bunuh diri dapat diambil.

Mentalitas yang harusnya melekat dalam diri adalah ketahanan dalam penderitaan, ketahanan menjalani kesulitan saat berusaha, serta ketahanan untuk menghadapi tantangan.

Mentalitas ini merupakan faktor internal yang mempengaruhi seseorang dalam hidup.
Rapuhnya mentalitas generasi saat ini karena generasi sekarang hidup di alam teknologi yang semua serba memudahkan dan instan. Sisi negatifnya adalah munculnya generasi- generasi yang ingin kemudahan tanpa melalui proses yang berat dan melelahkan.

Mindset Hidup

Adanya faktor pemicu baik interal maupun eksternal yang mempengaruhi mental seseorang, maka penanaman mindset yang benar dalam diri sangatlah penting. Mindset berupa keyakinan bagaimana menghadapi situasi sesulit apa pun pasti ada kemudahan, serta ikhtiar atau usaha harus dilakukan dengan sepenuhnya serta totalitas.

Disinilah pentingnya pengajaran agama yang tak sekedar menanamkan aspek ubudiah dan akhlak semata, namun juga pembentukan kerangka berpikir yang kokoh sehingga agama berpengaruh dalam membangun mentalitasnya.

Ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala “wala taiasu min rauhillah” (jangan berputus asa terhadap rahmat Allah), “inna ma’al ‘usri yusro” (dalam kesulitan pasti datang kemudahan) dan sebagainya, penting sekali untuk di-introduce-kan kepada anak-anak muda bahwa mereka harus memiliki mentalitas yang kuat. Sebab, tidak ada cita-cita yang mudah, tidak ada hidup yang mudah, serta tidak ada persoalan yang tidak terselesaikan.

Sampai akhirnya, pemahaman yang benar menghantarkan pada titik kerangka berpikir agama sampai pada kesimpulan bahwa bunuh diri itu haram dan tidak mungkin dilakukan. Memahami haram berarti perbuatan yang kalau ia lakukan akan mendatangkan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala yang risikonya sangat besar di akhirat nanti.

Menanamkan sebuah keyakinan, bahwa selama masih hidup, pasti ada peluang, setiap susah akan berubah menjadi senang. Selama masih ada napas, maka peluang meraih keberhasilan terbuka lebar.

Sedangkan jika ia memilih untuk mengakhiri hidupnya, berarti ia sendiri telah menutup peluang serta kemungkinan bagi perubahan di dalam hidupnya.

Oleh karena itu, penting anak-anak dibina dengan tauhid agar bisa membaca semuanya dalam kerangka akhirat. Tauhid yang menghantarkan seseorang mempunyai ketahanan dalam menghadapi banyak persoalan hidup.

Dengan memahami tauhid, seseorang akan memahami makna ma’iyyatullah bahwa Allah bersama hamba-Nya.

Orang yang sabar akan mendapat ma’iyyatullah khashah. Kalau kita punya kualifikasi sabar, muhsin, muttaqin, maka akan mendapatkan nashrullah. Pertolongan dan dukungan Allah berupa kemudahan dalam berbagai urusan, jalan keluar atas berbagai persoalan. Ini akan membangun optimisme dalam hidup bahwa hidup selalu ada harapan.

Penanaman agama yang memiiki peran penting dalam mengokohkan mental masyarakat harus disadari juga oleh pemangku kebijakan, sehingga membangun mental yang kuat tak hanya menjadi tugas individu rakyat, namun negara juga mengokohkannya dalam kurikulum pendidikan yang mendukung.

Bagikan