PALESTINA (jurnalislam.com)– Pasukan pendudukan Israel dilaporkan menculik seorang perempuan Palestina, Fidaa Assaf, pada 24 Februari 2025. Ia ditangkap saat dalam perjalanan pulang dari Kompleks Medis Ramallah menuju desanya di Kafr Laqif, Provinsi Qalqilya, Palestina.
Assaf, seorang ibu dan penderita kanker, disebut mengalami pelecehan verbal dan penggeledahan berulang oleh aparat Israel. Ia ditahan di sel yang tidak higienis, dipenuhi serangga, dan tidak diberi makanan maupun air selama beberapa hari.
Pejabat Palestina menyatakan Assaf saat ini ditahan di Penjara Damon — salah satu penjara paling kejam di Israel — bersama sekitar 42 tahanan perempuan lainnya. Beberapa di antaranya adalah perempuan hamil seperti Zahraa Kawazbeh dan Doaa Kawazbeh yang juga dilaporkan mengalami penyiksaan dan pengabaian medis.
Penahanan massal warga Palestina oleh Israel bukanlah hal baru. Menurut laporan terbaru American Muslims for Palestine yang dirilis pada Kamis (3/7/2025), sistem penjara Israel telah menjadi “tulang punggung pendudukan” atas Palestina. Sejak 1967, sekitar satu juta warga Palestina telah dipenjara — rata-rata 47 orang per hari selama 58 tahun.
Per Mei 2025, Israel tercatat menahan 10.068 warga Palestina. Dari jumlah itu, 1.455 telah dijatuhi hukuman, 3.190 masih menunggu persidangan, dan 3.577 ditahan tanpa dakwaan melalui mekanisme penahanan administratif, sebuah praktik yang dikritik luas sebagai bentuk pelanggaran HAM.
Laporan itu juga mencatat lonjakan tajam dalam penggunaan penahanan administratif sejak agresi militer Israel ke Gaza pada 2023. Angkanya melonjak dari 350 menjadi lebih dari 2.300 tahanan per bulan — setara sepertiga dari seluruh tahanan Palestina saat ini.
“Penahanan digunakan secara sistematis sebagai alat represi dan dominasi,” tulis laporan berjudul The Carceral History of Occupied Palestine itu.
𝗞𝗼𝗻𝗱𝗶𝘀𝗶 𝗠𝗲𝗻𝗰𝗲𝗸𝗮𝗺 𝗱𝗶 𝗧𝗲𝗽𝗶 𝗕𝗮𝗿𝗮𝘁
Data menunjukkan, militer Israel telah melakukan 3.384 operasi penangkapan di Tepi Barat yang diduduki hanya pada paruh pertama tahun 2024. Bahkan, pada April 2025 saja, tercatat 530 penangkapan termasuk 60 anak-anak dan 18 perempuan.
Laporan juga menyoroti amandemen undang-undang Israel tahun 2024 yang mengizinkan hukuman seumur hidup bagi anak-anak berusia 12 tahun, serta diberlakukannya hukuman kolektif.
Hingga kini, terdapat hampir 900 pos pemeriksaan, gerbang, dan blokade jalan militer di Tepi Barat — meningkat dari 645 titik pada tahun 2023 — yang sangat membatasi mobilitas warga sipil Palestina.
𝗞𝗲𝘁𝗲𝗿𝗹𝗶𝗯𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗔𝗺𝗲𝗿𝗶𝗸𝗮 𝗦𝗲𝗿𝗶𝗸𝗮𝘁
Laporan itu juga menyoroti peran Amerika Serikat sebagai pendukung utama sistem represi Israel terhadap warga Palestina. Dikatakan bahwa Washington telah memberikan bantuan militer sebesar $383,75 miliar (disesuaikan dengan inflasi) sejak 1948, termasuk bantuan tahunan minimal $3,8 miliar sejak 2016.
Pada April 2025, Kongres AS kembali menyetujui paket bantuan militer senilai $14,1 miliar untuk Israel, yang oleh American Muslims for Palestine disebut sebagai bentuk dukungan terhadap genosida di Gaza.
“Uang dan senjata dari AS memperkuat sistem penjara Israel, pengadilan militernya, penyiksaan, deportasi, dan penahanan anak-anak. Dukungan ini harus dihentikan untuk menegakkan hukum internasional dan hak asasi warga Palestina,” tegas laporan itu.
Mereka menambahkan bahwa meskipun tidak semua warga Palestina ditahan secara resmi, “setiap orang yang hidup di bawah pendudukan Israel telah menjadi target dari sistem pemenjaraan ini dalam berbagai bentuk.”
American Muslims for Palestine menegaskan bahwa sistem penahanan massal ini bukan sekadar instrumen hukum, melainkan strategi politik yang disengaja untuk melemahkan semangat perlawanan rakyat Palestina. Selama sistem ini tetap dibiarkan dan didanai oleh kekuatan asing, terutama Amerika Serikat, maka penderitaan rakyat Palestina akan terus berlanjut tanpa keadilan yang pasti. (Bahry)
Sumber: TRT