WASHINGTON (jurnalislam.com)– Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, memberikan tenggat waktu dua minggu untuk memutuskan apakah Negeri Paman Sam akan ikut bergabung dalam perang antara Israel dan Iran. Langkah ini diambil untuk memberi ruang bagi upaya diplomasi sebelum konflik meluas ke skala yang lebih besar, demikian pernyataan dari Gedung Putih pada Kamis (19/6/2025).
Keputusan ini muncul setelah pernyataan terbuka Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, yang menyatakan bahwa perubahan rezim di Iran menjadi tujuan perang mereka. Dalam kunjungan ke rumah sakit Soroka di Beersheba yang menjadi sasaran rudal Iran, Katz menyebut bahwa Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei, “tidak boleh dibiarkan hidup.”
“Khamenei telah secara terbuka menyerukan penghancuran Israel dan memerintahkan serangan langsung ke rumah sakit. Orang seperti itu tidak boleh dibiarkan ada,” tegas Katz di hadapan wartawan.
Israel, yang sebelumnya hanya menargetkan situs militer dan fasilitas nuklir Iran, kini mulai menyerang target-target nonmiliter seperti stasiun penyiaran nasional yang disebut Katz sebagai “simbol rezim.”
Serangan rudal Iran ke rumah sakit Soroka sendiri tidak menimbulkan korban jiwa karena pasien dan staf telah berlindung di tempat aman. Namun, kerusakan bangsal dan suasana panik yang terjadi memicu kemarahan publik Israel.
Rudal lainnya menghantam wilayah sekitar Tel Aviv, menyebabkan lebih dari 200 orang terluka, termasuk empat luka berat. Salah satu rudal menghantam dasar gedung pencakar langit di Ramat Gan, hanya 200 meter dari pusat perdagangan berlian Israel.
“Rasanya seperti bom atom. Seperti gempa bumi,” kata Asher Adiv (69), warga sekitar. Adiv, yang memiliki darah Yahudi Iran dan fasih berbahasa Persia, menyampaikan harapan agar rakyat Iran bangkit menentang rezim Ayatullah.
“Kami berjuang bukan hanya untuk Israel, tapi untuk dunia. Kami minta Trump untuk turun tangan dan selesaikan ini,” ujarnya.
Sementara itu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mencoba meredam ketegangan dengan menyatakan bahwa perubahan rezim Iran “bukanlah tujuan resmi” dari operasi militer mereka.
Namun, tekanan dari dalam Israel terhadap AS untuk terlibat secara langsung terus meningkat. Terutama karena hanya Amerika Serikat yang memiliki senjata konvensional sekuat bom penghancur bunker GBU-57, yang diyakini mampu menembus situs nuklir Iran yang paling terlindungi seperti Fordow, yang terkubur lebih dari 100 meter di bawah gunung dekat kota suci Qom.
Netanyahu dan para pejabat senior Israel terus mendorong Trump agar tidak hanya mendukung dari belakang, tetapi ikut serta dalam serangan langsung ke jantung program nuklir Iran. Sumber di pemerintahan AS menyebutkan bahwa rencana serangan sudah disusun, namun Trump masih menunggu kemungkinan kesepakatan terakhir dari Teheran untuk menghentikan pengayaan uranium.
Fordow bukan satu-satunya sasaran. Situs Natanz yang sudah beberapa kali diserang sebelumnya dan reaktor air berat lainnya juga dianggap sebagai target utama karena potensinya dalam menghasilkan plutonium, bahan baku alternatif untuk senjata nuklir.
Iran sendiri bersikeras bahwa program nuklirnya semata-mata untuk tujuan damai. Meski demikian, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) sebelumnya telah mengecam Iran karena memperkaya uranium hingga 60%, hanya satu langkah teknis menuju tingkat senjata nuklir.
Ironisnya, Israel yang menuduh Iran, justru merupakan satu-satunya kekuatan nuklir di kawasan meski tidak pernah secara resmi mengakui memiliki senjata tersebut. Negara Zionis itu juga belum pernah menandatangani perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT).
Di tengah meningkatnya eskalasi, sejumlah negara mulai bersiap mengevakuasi warganya dari Iran dan Israel. Pemerintah Israel juga tengah mengupayakan pemulangan puluhan ribu warganya yang terdampar di luar negeri, sementara bandara utama Israel tetap ditutup sejak gelombang serangan pertama terhadap Iran dimulai. (Bahry)
Sumber: The Guardian