GAZA (jurnalislam.com)- Di tengah gemuruh perang yang tak kunjung padam, harapan seakan menjadi barang langka di Gaza. Namun, bagi Haitham Abu Daqa dan keluarganya, harapan itu sempat tumbuh meski hanya sekejap ketika putri mereka yang baru berusia lima bulan, Nevine, berhasil menjalani operasi jantung terbuka di Yordania.
Dengan tubuh mungil yang masih rapuh, Nevine menjadi bagian dari sekelompok anak Palestina yang dievakuasi untuk mendapatkan perawatan medis. Ibunya menyertainya, menyingkir sementara dari reruntuhan dan debu perang demi sebuah kesempatan hidup yang lebih baik bagi anaknya.
Namun, usai operasi yang berjalan sukses, secercah cahaya itu seakan dipadamkan. Ketika sang ibu memohon kepada otoritas Yordania agar diizinkan tinggal demi pemulihan sang buah hati, jawabannya tegas: mereka harus pulang.
“Bagaimana saya bisa merawat gadis itu sementara saya tinggal di tenda, dan pada saat yang sama, pengeboman tidak berhenti,” isak Daqa.
“Beraninya mereka mengirimnya kembali? Jika ada perawatan di Gaza untuk kasusnya, mengapa mereka membawanya sejak awal?”
Nevine hanyalah satu dari 17 anak Palestina yang dipulangkan setelah menerima pengobatan di Amman. Sebuah keputusan yang mengundang keprihatinan dari kelompok hak asasi manusia, karena memulangkan anak-anak ke wilayah perang disebut melanggar hukum internasional. Di tempat di mana rumah sakit menjadi sasaran, dan fasilitas kesehatan hampir lumpuh, bagaimana mungkin seorang anak bisa pulih?
Negeri-negeri Arab pun gamang. Yordania yang telah lama menampung jutaan pengungsi Palestina menolak memberikan suaka permanen. Alasan mereka bukan tanpa dasar: keseimbangan demografi yang rawan, perekonomian yang goyah, dan ketakutan akan hilangnya hak kembali para pengungsi ke tanah air mereka.
Namun, bagi keluarga Daqa, kepulangan itu bukanlah jalan kembali menuju rumah. Itu adalah perjalanan ke medan luka yang belum sembuh. Pada hari ketika istri dan putrinya menyeberang kembali ke Gaza, rumah sakit tempat mereka akan bernaung justru luluh lantak dihantam bom.
Menurut Dr. Reyad Al-Sharqawi, Nevine telah dalam kondisi sangat baik saat dipulangkan. Ia dan tiga anak lainnya kembali dengan biaya hidup yang ditanggung rumah sakit hingga kepergian mereka. Tapi bahkan perawatan terbaik pun tak bisa bertahan menghadapi deru pesawat tempur dan kelangkaan obat-obatan.
Inisiatif pengobatan ini diluncurkan oleh Raja Abdullah II, sekutu dekat Amerika Serikat. Sebuah janji kemanusiaan di tengah diplomasi yang rumit. Tapi kebijakan tak selalu sejalan dengan nurani. Seorang pejabat Yordania mengakui, “Kami tidak akan membiarkan warga Palestina mengungsi ke luar Gaza,” menegaskan bahwa misi mereka hanya memberikan perawatan, bukan perlindungan permanen.
Bagi kelompok hak asasi manusia, tindakan ini adalah sebuah ironi tragis. “Ada larangan mutlak untuk mengembalikan mereka ke tempat di mana mereka akan mengalami perlakuan yang kejam, merendahkan martabat, atau tidak manusiawi, apalagi yang membahayakan nyawa mereka,” kata Omer Shatz, pengacara hak asasi manusia dari Paris.
Sementara itu, ketakutan akan pengulangan sejarah 1948 saat ratusan ribu warga Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka masih menghantui. Kini, generasi keturunannya hidup tersebar di kamp-kamp pengungsi, jumlah mereka mencapai enam juta jiwa.
Perjalanan pulang dari Yordania ke Gaza bukan sekadar perjalanan geografis. Itu adalah jalan berliku yang melewati pos pemeriksaan bersenjata, tempat tentara menyita ponsel dan uang para pengungsi. Kembali ke tanah yang belum tentu menyambut mereka dengan aman.
Arafat Yousef adalah satu dari sedikit ayah yang tak punya pilihan baik. Putranya yang berusia 12 tahun kehilangan kaki akibat serangan udara. Ia harus menanti delapan bulan di Yordania untuk mendapatkan kaki palsu. Namun, enam anak lainnya menantinya di Gaza.
“Saya ingin anak saya menyelesaikan pengobatannya,” ucap Yousef. “Namun di saat yang sama, saya ingin kembali ke tanah air saya. Saya tidak ingin meninggalkan anak-anak saya sendirian di tengah pengeboman ini.”
Di antara langit yang dipenuhi suara dentuman dan tanah yang tak menjanjikan perlindungan, anak-anak Gaza terus berjuang. Mereka adalah tubuh-tubuh kecil yang dipaksa tumbuh dalam bayang-bayang kehancuran. Tapi dalam tatapan Nevine yang mungil, mungkin masih tersisa harapan harapan bahwa dunia tak akan terus memalingkan wajah. (Bahry)
Sumber: TNA