Oleh: Bahry Bahruddin, ST
Setiap 17 Agustus, momen bersejarah kemerdekaan Indonesia dirayakan dengan penuh khidmat di Istana Negara. Namun, tahun ini, upacara pengibaran bendera Merah Putih akan digelar untuk pertama kalinya di Ibu Kota Nusantara (IKN), lokasi baru yang menandai era baru bagi Indonesia. Pasukan Paskibraka, sebagai penjaga kehormatan, memiliki tanggung jawab mulia untuk melaksanakan tugas ini. Namun, mereka dihadapkan pada sebuah aturan yang mengejutkan: melepaskan hijab saat upacara.
Aturan ini ditetapkan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) melalui Surat Keputusan Kepala BPIP Nomor 35 Tahun 2024 tentang Standar Pakaian, Atribut, dan Sikap Tampang Pasukan Pengibar Bendera Pusaka, yang diterbitkan oleh Kepala BPIP, Yudian Wahyudi, di Jakarta pada 1 Juli 2024.
Surat keputusan tersebut melampirkan dua gambar standar pakaian untuk Paskibraka Putra dan Paskibraka Putri. Pada gambar pakaian Paskibraka Putri, tidak ada gambar yang memperlihatkan pakaian dengan jilbab. Keputusan ini menimbulkan kontroversi dan kritik, terutama karena dianggap bertentangan dengan hak-hak individu untuk mengenakan hijab sebagai bagian dari identitas keagamaan mereka.
Keputusan ini tampaknya bertolak belakang dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh pahlawan wanita Indonesia seperti Syaikhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyyah, Hajjah Rangkayo Rasuna Said, Siti Walidah, Opu Daeng Risaju, dan para mujahidah lainnya.
Mereka adalah ikon perjuangan kemerdekaan yang dikenal dengan integritas dan dedikasi mereka, banyak di antaranya mengenakan hijab sebagai simbol identitas dan keyakinan mereka.
Syaikhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyyah adalah ulama dan pendidik yang mengajarkan pentingnya ketaatan agama, termasuk penggunaan hijab. Ia tercatat sebagai salah seorang pertama yang mengibarkan bendera Merah Putih di Sumatera Barat. Hajjah Rangkayo Rasuna Said, seorang aktivis kemerdekaan, berjuang untuk hak-hak perempuan dan kebebasan beragama.
Siti Walidah atau atau Nyai Ahmad Dahlan adalah seorang pendidik dan aktivis yang mendukung hak-hak wanita dan pendidikan. Menariknya lagi, dalam buku yang berjudul Muhammadiyah yang terbit di tahun 1934, terkuak bahwa Siti Walidah sudah memperkenalkan tutorial hijab sejak lama. Ia menggambarkan tahapan mengenai hijab melalui ilustrasi gambar.
Kala itu, ia memilih gambar perempuan berkebaya yang sedang mempraktekkan cara memakai hijab yang sesuai dengan syariat Islam. Salah satunya, harus menutup bagian dada. Sementara Opu Daeng Risaju dikenal sebagai pahlawan berhijab yang paling frontal melawan NICA.
Penggunaan hijab tidak bertentangan dengan Pancasila. Sila-sila dalam Pancasila, khususnya Sila Pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa), Sila Kedua (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab), dan Sila Ketiga (Persatuan Indonesia), mendukung hak individu untuk menjalankan keyakinan agama mereka, termasuk mengenakan hijab. Prinsip-prinsip ini menghargai keberagaman dan kebebasan beragama sebagai bagian dari identitas bangsa.
Lebih lanjut, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga menjamin kebebasan beragama. Pasal 28E Ayat (1) menyatakan, “Setiap orang berhak untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, serta berhak untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Ini menggarisbawahi bahwa kebebasan untuk mengenakan hijab sebagai bagian dari identitas keagamaan merupakan hak yang dilindungi oleh konstitusi.
*Namun, kebijakan terbaru yang melarang Paskibraka putri mengenakan hijab* pada saat upacara pengibaran bendera menimbulkan sejumlah pertanyaan. Beberapa pihak menganggap peraturan ini sebagai langkah mundur dalam menghargai hak-hak individu dan keberagaman.
Ada dugaan bahwa kebijakan ini mungkin diambil untuk menciptakan keseragaman dalam upacara kenegaraan, tetapi hal ini justru bisa dianggap sebagai pengabaian terhadap prinsip-prinsip Pancasila yang mendukung kebebasan beragama dan keberagaman.
Menarik untuk dicatat bahwa dahulu, penjajah Belanda juga pernah melarang penggunaan hijab bagi wanita pribumi. Kebijakan kolonial ini bertujuan untuk mengontrol dan mengasimilasi budaya lokal, termasuk memaksakan aturan yang membatasi kebebasan beragama dan ekspresi diri. Sejarah menunjukkan bahwa larangan hijab oleh penjajah Belanda adalah bagian dari upaya untuk menekan identitas budaya dan agama pribumi.
Ironisnya, kebijakan BPIP yang melarang penggunaan hijab pada Paskibraka putri seolah-olah mengulang kebijakan kolonial tersebut, mundur sebelum Indonesia merdeka dan mengikuti jejak kolonial Belanda dalam membatasi kebebasan individu.
Kritik terhadap peraturan BPIP ini juga menyasar pada aspek legalitasnya. Sebagai lembaga yang ditugaskan untuk pembinaan ideologi Pancasila, BPIP seharusnya memperhatikan keselarasan setiap kebijakan dengan UUD 1945. Adanya peraturan yang melarang hijab dalam konteks upacara kenegaraan, jika bertentangan dengan konstitusi, menimbulkan pertanyaan serius tentang apakah BPIP dapat membuat kebijakan yang melanggar hak-hak fundamental yang dijamin oleh UUD.
Hal ini memicu perdebatan tentang bagaimana regulasi dari lembaga seperti BPIP harus sejalan dengan prinsip-prinsip konstitusi dan hak asasi manusia.
Mengapa aturan ini diterapkan? Mungkin ada pertimbangan administratif atau simbolis yang ingin dicapai, namun hal ini seharusnya tidak mengabaikan hak-hak individu untuk mengekspresikan keyakinan mereka. Peraturan semacam ini bisa jadi mencerminkan ketidaksesuaian dalam menerjemahkan prinsip-prinsip dasar negara kita ke dalam praktik sehari-hari.
Di tengah-tengah kontroversi ini, penting untuk mengingat kembali semangat perjuangan para pahlawan wanita yang telah memberikan kontribusi besar dalam merebut kemerdekaan dan hak-hak kita. Mereka telah menunjukkan bahwa keberagaman dan kebebasan beragama adalah bagian integral dari identitas bangsa Indonesia yang kita cintai.