Jurnalislam.com–Rumahnya masih tetap gubuk reyot di samping Masjid Nabawi. Kamar, pakaian, dan alas tidur serba memprihatinkan. Perabotan hanya tergeletak beberapa bejana, dan penggiling gandum. Pun untuk sebuah piring, tak pernah dinikmati sepotong makanan di atasnya. Bilik istrinya pun yang ada sembilan begitu sederhana.
Dengan berpondasikan batu gunung, berkeramik tanah liat, dan beratap rumbia yang kata seorang tabi’in putera budak Ummu Salamah, Hasan Al Bashri,” tanganku dapat menjangkau atap bilik nabi.” Rumah yang begitu memilukan, melihat sang nabi sedang tertidur pulas, dengan tikar kasar dan ruangan sangat sempit. Tak ada lampu rumah, apalagi bel dan pos penjaga untuk masuk berjumpa sang pemimpin Negara.
Di tengah kesederhanaannya, sang Nabi masih bisa menyisihkan hartanya. Bahkan, sebagian besar hartanya digunakan untuk berbagi kepada kaum papa. Tak hanya harta, seluruh hidupnya merupakan milik umat. Setiap saat, umat dapat menemuinya, mencurahkan isi hatinya.
Waktu, tenaga, pikiran dan jiwa hanya untuk umatnya. Bahkan, menjelang wafat, sang Nabi masih memikirkan kita, umatnya. Soal harta tak perlu ditanya. Ibnu Abbas bilang, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling dermawan, dan kondisi beliau paling dermawan adalah di bulan Ramadhan di saat bertemu Jibril ‘Alaihis salam, di mana Jibril ‘alaihis salam sering bertemu beliau pada setiap malam dari bulan Ramadhan, lalu Jibril mengajarkannya al-Qur`an, dan sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia paling (cepat) dermawan dengan kebaikan daripada angin yang berhembus (HR Bukhari dan Muslim).
Lihatlah bagaimana para sahabat menggambarkan sang Nabi apabila berbagi, “Tidaklah pernah sama sekali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diminta suatu (harta) lalu beliau berkata tidak,” kata Jabir radiallahuanhu.
Khadimah sang Nabi, Annas radhiallahu’anhu pernah bercerita, bahwa setiap sang Nabi diminta sesuatu, ia akan memberikannya. “Sungguh, seseorang telah datang kepada beliau, lalu beliau memberikan kepadanya domba yang berada di antara dua gunung, kemudian orang tersebut kembali kepada kaumnya seraya berkata, ‘Wahai kaumku, masuklah kalian ke dalam Islam, karena Muhammad itu memberikan pemberian kepada orang yang tidak takut akan kemiskinan’.” (HR. Muslim)
Pernah, seorang wanita datang kepada sang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa suatu pakaian, berupa mantel yang terukir pada ujung-ujungnya.
Kemudian wanita itu berkata, ‘Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, saya datang kepada anda untuk memberikan ini untuk anda’, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambilnya, di mana beliau memang sangat membutuhkannya hingga beliau memakainya, kemudian mantel itu dilihat oleh seseorang dari para sahabat beliau, seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, betapa indahnya mantel tersebut, maka berikanlah mantel itu kepadaku?’
Beliau berkata, ‘Ya’, dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beranjak untuk memberikannya, para sahabat yang lain mencela orang tersebut seraya berkata, ‘Engkau tidak bersikap baik ketika melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil mantel itu dari wanita tadi karena membutuhkannya, lalu engkau memintanya padahal engkau tahu bahwa tidaklah beliau itu dimintai sesuatu lalu beliau menolaknya’.
Dia berkata, ‘Demi Allah, tidaklah ada faktor yang mendorong saya melakukan itu melainkan karena saya berharap keberkahannya ketika telah dipakai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan saya berharap agar saya dikafani dengan mantel tersebut.
Ibnu Mas’ud berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati Bilal, sedangkan di sisinya ada setumpuk gandum, lalu beliau bersabda, ‘Apa ini wahai Bilal?’ Dia menjawab, ‘Saya menyiapkannya untuk tamu-tamumu’. Beliau bersabda, ‘Tidakkah engkau takut bahwa engkau memiliki masakan di Neraka Jahanam? Infakkan wahai Bilal dan janganlah engkau takut kemiskinan dari Dzat Yang memiliki Arsy’.”
Ketika rasa sulit berbagi hinggap, Rasulullah selalu menguatkan. Beliau pernah bersabda, “Dan janganlah engkau takut kemiskinan dari Dzat Yang memiliki Arsy”, adalah merupakan bentuk keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, berprasangka baik kepadaNya dan bertawakal kepadaNya diiringi dengan melakukan sebab-sebabnya.
Diriwayatkan Ibnu Abbas bercerita, bahwa suatu saat sang Nabi pernah memegang tangan Abu Dzar Al Ghifari dan berkata,”‘Wahai Abu Dzar, saya tidak suka memiliki emas dan perak sebesar gunung Uhud lalu saya infakkan di jalan Allah lalu saya meninggal pada saat ajalku dengan meninggalkan sedikit harta.’
Saya bertanya, ‘Bagaimana dengan harta yang banyak?’ Beliau bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, saya memilih yang sedikit sedangkan engkau memilih yang lebih banyak, saya menghendaki akhirat sedangkan engkau menghendaki dunia, cukuplah bagimu harta sedikit saja’, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya sebanyak tiga kali kepadaku’.” (Dikeluarkan oleh ath-Thabrani semisalnya, dan al-Bazzar, serta al-Haitsami berkata, “Isnad al-Bazzar hasan.”)
Itulah berbagi ala sang Nabi. Tak ada yang tersisa, kecuali balasan di akhirat kelak. (Disarikan dari buku Dr. Nizhar Abazhah, Bilik-bilik Cinta Muhammad/*mru)