Oleh: Harits Abu Ulya, Direktur CIIA & Pengamat Terorisme
Paska BNPT dengar pendapat dengan Komisi III DPR-RI dan ditempat terpisah antara Polri (Baintelkam) dengan unsur MUI pusat akhirnya memantik pro kontra terkait substansi yang mereka ekspos yaitu rencana pemetaan masjid dalam upaya pencegahan radikalisme dan terorisme.
Alangkah bijaknya rencana ini dikaji ulang seperti halnya amanah UU, bahwa dalam upaya pencegahan perlu memperhatikan prinsip perlindungan hak asasi manusia dan prinsip kehati-hatian (pasal 43a ayat 2 UU No 5 tahun 2018).
Mengabaikan prinsip kehati-hatian bisa potensial melahirkan produk kebijakan dan implementasi lapangan yang kontra produktif dan blunder.
Terorisme kita harus hapus di bumi NKRI, namun demikian idealnya pada tataran konsep, cara dan prosesnya semaksimal mungkin juga harus bisa menihilkan dampak kontraproduktifnya.
Agar rencana pemetaan masjid tidak melahirkan mudhorot lebih besar daripada maslahatanya, perlu pihak terkait paling tidak mencermati beberapa point berikut;
Pertama, total masjid di Indonesia kurang lebih 900 ribu. Langkah teknis pemetaan rasionalnya akan membutuhkan jumlah SDM yang cukup besar. Baik dilakukan oleh BNPT, Polri, BIN, BAIS dan atau melibatkan unsur Pemda, masarakat, ormas, akademisi.
Otomatis memunculkan nomenklatur anggaran baru dan kebutuhan dana cukup besar. Tentu bisa menambah beban APBN, APBD diluar dana hibah yang ada.
Yang pasti monitoring masjid ketika berjalan akan membutukan waktu cukup lama dan terus menerus. Akan menyasar saat khutbah jumat, pengajian rutin atau isidentil di masjid, bahkan pembelajaran terhadap santri TPA/TPQ yang di masjid menjadi target monitoring.
Dan itu semua berlangsung sampai kapan? Jika ada masjid yang di vonis terkait terorisme dan radikalisme apa tindakan legalnya? Bagaimana juga rehabilitasinya di kemudian hari? Banyak point harus di jawab tuntas dan transparan.
Kedua, diksi “pemetaan masjid” sangat bisa dimaknai bahwa upaya perang melawan terorisme dan radikalisme telah mengunci umat Islam sebagai target atau obyek. Lahirnya tuduhan proyek islamophobia sedang digelar di NKRI menjadi beralasan karena sebab di atas.
Masjid di curigai sebagai sumber potensial radikalisme dan terorisme berkembang di Indonesia. Ini cenderung bisa dianggap fitnah keji.
Padahal fakta empirik seperti yang di sebut dalam UU, bahwa internet dan sosial media adalah media paling besar berkontribusi penyebaran beragam konten-konten destruktif termasuk paham terorisme. Bahkan metode rekrutmen yang dilakukan oleh kelompok teror secara efektif mereka lakukan via sosial media, Bukan masjid!.
Ketiga, pemetaan masjid membutuhkan konsep dasar terkait parameter penilaian.
Parameter dan indikasi sebagai standart penilaian terhadap satu masjid itu seperti apa dan bagaimana? Bisa dipastikan akan memantik perdebatan karena ada ambiguitas.
Siapa yang memiliki otoritas merumuskan indikator dan parameter penilaian? Dan metodologi penalarannya seperti apa? Ini perlu terbuka dan harus bisa dipertanggungjawabkan.
Keempat, jika pemetaan masjid berjalan maka potensial timbul fitnah antara umat islam. Masjid yang bangun umat Islam dengan beragam latar belakangnya. Bisa saja kelompok A akan memfitnah satu masjid hanya karena tidak sejalan sepemikiran dengan kelompok B yang bangun dan memakmurkan masjid tersebut.
Atau antar jamaah masjid sendiri akan saling curiga, saling fitnah, tentu hal ini akan mencederai kerukunan internal umat Islam. Dan jelas ini akan mengoyak prinsip dan doktrin persatuan yang wajib ditegakkan umat Islam.
Bahkan bisa saja umat islam makin engan untuk hadir di masjid dengan aktifitas kajian keislaman yang ada dengan alibi kuwatir di fitnah dicurigai terkait radikalisme.
Kelima, kenapa dalam proses kontra radikalisme dan terorisme tidak fokus menyelesaikan faktor akar dari terorisme dan radikalisme.? Diluar Law enforcemen (penegakkan hukum), perlu ekstra serius melangkah untuk
Tingkatkan kesejahteraan rakyat, tingkatkan kwalitas pendidikan dan SDM Indonesia, tegakkan keadilan untuk semua rakyat Indonesia. Itu sebagai imunitas internal rakyat indonesia agar tidak terpengaruh nilai-nilai destruktif yang demikian massif berkembang via dunia maya.
Indonesia butuh damai, tapi tidak perlu dengan memposisikan rakyat khususnya umat Islam laksana musuh bagi pemerintah atau negara.[]