PALESTINA (Jurnalislamcom) – Para pemimpin Palestina memuji hasil pemungutan suara di PBB yang menolak pengakuan sepihak AS atas Yerusalem sebagai ibukota Israel, Palestina menyebutnya sebagai bukti dukungan internasional untuk “keadilan”.
“Masyarakat internasional telah secara tegas membuktikan bahwa mereka tidak bisa diintimidasi atau diperas, dan anggotanya akan mempertahankan peraturan hukum global,” kata Hanan Ashrawi, seorang anggota senior Organisasi Pembebasan Palestina, dalam sebuah pernyataan setelah pemungutan suara pada hari Kamis (21/12/2017).
Tapi bagi banyak orang di lapangan, resolusi yang disetujui oleh Majelis Umum PBB tersebut tidak lain hanyalah tindakan simbolis.
“Ini adalah tindakan yang sia-sia,” Amany Khalifa, seorang aktivis politik di Yerusalem, mengatakan kepada Al Jazeera.
“Otoritas Palestina (PA) harus mengevaluasi seluruh proses diplomatiknya mengenai merujuk ke PBB. Pengalaman yang kami alami adalah bahwa selama beberapa dekade resolusi ini tidak mengubah apapun.”
Baca juga: 128 Negara Tolak Veto AS dan Tantang Ancaman Donald Trump
Melanggar kebijakan Amerika selama berpuluh-puluh tahun yang berpihak pada solusi dua negara, Presiden Donald Trump pada 6 Desember mengatakan secara sepihak bahwa Washington secara resmi akan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan akan memulai proses pemindahan kedutaannya ke kota tersebut.
Deklarasi itu merupakan pukulan bagi kepemimpinan Palestina, yang selama lebih dari dua dasawarsa telah berusaha untuk mendirikan sebuah negara Palestina dengan Yerusalem sebagai ibukotanya.
Ketika veto AS di Dewan Keamanan PBB awal pekan ini memblokir resolusi rancangan yang sama, PA memutuskan untuk membawa masalah ini ke Majelis Umum, di mana resolusi tersebut tidak mengikat secara hukum.
“Kami akan mengambil tindakan politik, diplomatik dan hukum terhadap deklarasi Trump mengenai Yerusalem,” kata Mahmoud Abbas, presiden PA.
Tapi Khalifa percaya bahwa “satu-satunya yang masih berbicara tentang solusi dua negara adalah PA.”
Ini adalah “kepentingan mereka untuk mempertahankan wacana ini”, katanya.
“Jika mereka tidak melakukannya, mereka tidak akan ada lagi.”
PA, yang mengelola wilayah kantong Tepi Barat yang dijajah, mengatakan bahwa satu-satunya jawaban atas konflik berusia 70 tahun tersebut adalah pembentukan sebuah negara Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya, di samping wilayah Israel yang ada.
Baca juga: Sidang Darurat PBB: AS Kalah Jumlah 14 Banding 1
Namun sejak penandatanganan Persetujuan Oslo pada tahun 1993, dimaksudkan untuk mengarah pada pembentukan negara Palestina di Tepi Barat, Jalur Gaza dan Yerusalem Timur, penjajahan Israel atas wilayah-wilayah ini malah semakin meningkat, sehingga menyulitkan orang-orang Palestina untuk membayangkan hal tersebut sebagai sebuah solusi.
Saat ini, antara 600.000 sampai 750.000 warga yahudi Israel – atau 11 persen penduduk Israel – tinggal di wilayah pendudukan.
Dijaga oleh tentara zionis bersenjata berat, mereka telah menguasai sebagian besar tanah dan wilayah milik pribadi warga Palestina. Sedikitnya 12 pemukiman semacam itu dibangun di sekitar dan di jantung lingkungan Palestina di Yerusalem.
Di tengah kenyataan ini, serta berkurangnya harapan Israel untuk menarik pemukimnya, ada yang bilang inilah saatnya untuk pendekatan yang berbeda.
“Orang-orang sudah hidup dalam realitas permukiman dan mereka melihat bahwa solusi semacam itu tidak mungkin dicapai di lapangan,” kata Khalifa.
“Kita perlu menerima bahwa ada satu negara zionis – dan kemudian kita dapat berbicara tentang menemukan cara lain untuk bertahan – tidak berpegang hanya pada solusi dua negara,” tambahnya.
‘Oslo menghancurkan kita’
Pentingnya nilai religius kota Yerusalem bagi umat Islam, Kristen dan Yahudi membuat masalah Yerusalem bukan hanya sekedar masalah lokal, tapi dunia.
Bagi banyak orang di luar, terutama di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, deklarasi Trump atas Yerusalem sangat memalukan. Sejak keputusannya, telah terjadi protes keras di kota-kota besar internasional, dengan puluhan ribu hingga jutaan orang bergerak untuk melakukan aksi bela Yerusalem dan meminta Trump untuk membatalkan keputusannya.
Demonstrasi juga terjadi di wilayah Palestina, menyusul seruan para pemimpin politik, dengan sedikitnya 10 orang tewas oleh tentara penjajah Israel.
Namun, orang-orang di lapangan mengatakan bahwa aksi protes di dunia tidak sekuat demonstrasi yang terjadi di Yerusalem seperti pada bulan Juli terhadap pemasangan detektor logam Israel di pintu masuk ke kompleks Masjid Al-Aqsha.
“Jika Anda meminta salah satu dari mereka untuk memprotes, mereka akan memberi tahu Anda: ‘Trump bukanlah berita baru untuk kami’,” Mariam Barghouti, seorang penulis dan aktivis politik Tepi Barat mengatakan kepada Al Jazeera setelah menghadiri sebuah aksi protes keras pada hari Rabu (20/12/2017), menambahkan bahwa para demonstran sebagian besar berafiliasi dengan PA.
Alasan untuk ini, kata Nora Sub Laban, penduduk Kota Tua – yang menjadi tuan rumah bagi situs utama keagamaan Yerusalem – adalah bahwa keputusan Trump mencerminkan kenyataan yang sudah ada namun menyakitkan.
“Ketika pimpinan kami mengatakan akan menerima solusi dua negara, apa yang tersisa untuk kita katakan? Oslo menghancurkan kita. Kita dikelilingi oleh permukiman Yahudi dari semua sisi dan tidak ada yang tersisa untuk kita di Yerusalem ini,” Sub Laban, yang berjuanng dengan Pertarungan hukum yang panjang dengan pemukim illegal Israel yang ingin mengambil alih rumahnya, ia mengatakan kepada Al Jazeera.
Baca juga: Erdogan Kembali Ajak Dunia untuk Dukung Palestina Lawan Veto AS
Dia menjelaskan bahwa dia tidak percaya Yerusalem bisa dibelah bagi sebuah negara Israel dan Palestina. Banyak juga yang telah kehilangan harapan dan akan menerima apapun yang bisa mereka dapatkan.
“Tuntutan kami terus menurun seiring berjalannya waktu. Dan masyarakat internasional hanya membiarkan Israel tumbuh lebih kuat – dari tahun 1948 sampai hari ini,” tambahnya, mengacu pada tahun pendirian Israel, yang dikenal orang Palestina sebagai Nakba – ketika lebih dari 750.000 orang Palestina dipaksa keluar dari tanah air mereka untuk memberi jalan bagi negara zionis Yahudi tersebut.
Isu Yerusalem telah menjadi inti konflik sejak awal.
Ketika PBB mengusulkan untuk membagi Palestina yang bersejarah menjadi negara “Yahudi” dan “Islam” pada tahun 1947, Yerusalem dimaksudkan untuk tetap berada di bawah kendali PBB karena kepentingan agamanya.
Tapi setahun kemudian, negara Israel yang baru didirikan merebut bagian barat kota tersebut dan menyatakan kepemilikan mereka atas wilayah itu.
Pada tahun 1967, Israel mencaplok bagian timur kota tersebut dan mengklaimnya sebagai bagian dari Israel – tidak seperti Tepi Barat, yang secara fisik mereka tempati tapi tidak mereka klaim.
Mayoritas masyarakat internasional tidak mengakui kepemilikan Israel atas Yerusalem. Akibatnya, semua kedutaan di Israel berada di Tel Aviv.
Baca juga: Inilah Negara-negara yang Tolak Veto AS, Indonesia Termasukah?
Terlepas dari posisi internasional, Israel hanya mengkonsolidasikan penguasaannya atas kota tersebut.
Pada tahun 2002, mulai dibangun dinding pemisah yang memotong 3,1 juta orang Palestina di Tepi Barat yang diduduki dari Yerusalem. Banyak yang belum bisa memasuki kota lebih dari satu dekade dan telah berhenti berusaha, karena pembatasan yang diberlakukan oleh tentara Israel.
Selain itu, PA tidak mengizinkan kehadiran atau otoritas apapun atas bagian timur kota tersebut, di mana sekitar 420.000 orang Palestina tinggal dalam keadaan limbo – bukan warga negara Israel, juga bukan warga Palestina.
“Masyarakat internasional hanya mempercayai hak-hak warga Palestina di atas kertas – tidak pada kenyataannya,” Mohammad Abu al-Hummos, seorang aktivis yang berafiliasi dengan Fatah di Yerusalem, mengatakan kepada Al Jazeera.
“Tidak ada satu keputusan pun yang diambil terhadap Israel yang benar-benar telah diterapkan di lapangan,” tambahnya.
“Beberapa dari kita percaya pada solusi dua negara – dan para pemimpin meyakinkan kita akan hal itu – tapi sayangnya, jika Anda melihat situasi hari ini disini, tidak ada gunanya mempercayai hal itu.”