Sejoli itu saling menatap. H-a-r-u. Sepasang bola mata saling berhadapan. Sudah lama. Lama sekali, mereka tak bersua. Matanya berkaca-kaca. Sesekali bulir bening yang melewati pipi itu diusap lembut. Sudah lama. Lama sekali, mereka tak saling berpandangan.
Sejoli itu saling memandang. Pandangan yang dirindukan. Bagaimana tidak rindu? Berhari-hari, pasangan suami istri itu dipisahkan paksa oleh sel jeruji hingga tembok yang menjulang tinggi.
Kini, mereka bersua kembali setelah memendam rindu. Walau, jeruji besi itu masih membatasi.
Itu kali pertama Erma Sriharjani dan Endro Sudarsono kembali saling memandang setelah berhari-hari jarak dan tembok tebal memisahkan mereka. Tiga bocah kecil malu-malu melihat Abi mereka, yang masih terhalang jeruji besi.
Suasana sempat membisu. Mereka saling menatap syahdu. Tangis pecah. Air mata kian meruah. Tak ada yang bisa dilakukan kecuali saling menatap. Jemari-jemari itu kini bertaut. Genggaman yang erat, genggaman yang begitu berkesan.
Sederhana memang, hanya saling menggenggam erat, sejoli itu merasa sangat bersyukur.
“Setelah besuk kedua saya baru bisa bertemu anak dan istri secara fisik barulah rasa kangen itu tersampaikan, walaupun masih terbatas oleh kawat atau pagar, sehingga saya benar-benar bersyukur walau hanya dengan menempelkan tangan dan anak serta Istri dengan dibatasi dengan pembatas,” kenang Endro Sudarsono, Humas Laskar Umat Islam Solo (LUIS) kepada Jurnalislam.com beberapa waktu lalu.
Tak pernah terbayangkan dalam benak Endro, ia akan mendekam dalam penjara terhadap tudingan yang ia tak lakukan sama sekali. Ia dan beberapa aktivis LUIS dan juga seorang jurnalis Panjimas.com Ranu Muda ditangkap karena dituding merusak Social Kitchen, walau kemudian tak terbukti dan divonis bebas oleh Majelis Hakim.
Namun, lima bulan 12 hari di balik jeruji tanpa kesalahan bukanlah sesuatu yang ringan bagi istri dan ketiga anak Endro. “Maka bagi kami yang telah ditahan selama 5 bulan 12 hari itu adalah perbuatan dzalim,” lirih Endro.
Sang belahan jiwa, Erma Sriharjani masih ingat betul 5 bulan 12 hari silam, ketika petaka malam itu terjadi. Hari masih larut. Ia bersama sang suami dan ketiga anaknya masih terlelap dalam selimut malam.
Selasa dini hari (20/12/2016) tiga mobil berisi anggota polisi bersenjata laras panjang datang ke rumah mereka di Ngruki, RT 7 RW16, Cemani, Grogol, Sukoharjo.
“Duk..duk..duk..” suara keras dari balik pintu sana membangunkan tidur mereka. Suara ribut-ribut menyeruak. Endro keluar dari kamar, berjalan dan membukakan pintu rumah.
Begitu pintu dibuka, seorang polisi tanpa ba-bi-bu datang berteriak-teriak meminta Endro menandatangani surat penangkapannya. “Saya kaget saat menuju ke ruang tamu ternyata ada empat polisi membawa senjata duduk di kursi tamu,” kata Erma.
Menurut Erma, penangkapan suaminya mirip Densus 88 yang sedang melakukan penggrebekan teroris. Saat itu, bocah mungilnya, Adib Bisbahuddin al Bahir yang baru berusia 15 bulan menangis histeris melihat ribut-ribut di dini hari itu.
Panik. Erma yang saat itu masih belum bersiap karena terlihat auratnya meminta polisi agar menunggu di luar. Namun, Endro malah ditodong senjata dari belakang dan diminta masuk ke mobil.
“Saya teriak-teriak mbok diluar saja to pak, lha pas gitu anak saya nangis terus” kata Erma. Erma pun ditinggal sendirian setelah Endro ditangkap. Tak lama, polisi kembali lagi meminta HP Endro diserahkan.
“Salah seorang anggota Polda Jateng memberikan surat penangkapan. Saya kaget isi surat itu status suami saya sebagai tersangka dalam kasus perusakan dan pengeroyokan di Resto Social Kitchen,” kata Erma.
Detik itu pula, ia yakin bahwa suaminya merupakan korban kriminalisasi. Erma sangat mengenal bahwa suaminya tak akan bertindak di luar koridor hukum. Ia yakin bahwa sang belahan jiwa sama sekali tak bersalah, dan hal ini yang akan ia perjuangakan. Dan perjuangannya berbuah manis. Endro bebas!

Seharusnya saat itu Endro merasa senang karena itu kali pertama dia dibesuk oleh sang istri Erma Sriharjani (36) dan tiga buah hatinya : Haura Fadia Qurrota A’yun (6), Fathin Rahma Adila (4) dan Adib Bisbahuddin al Bahir (2). Sudah berhari-hari ia memendam rindu.
Hari pertama ia dibesuk, Endro berharap dapat secara langsung bersua. Namun apa daya? Ia hanya dapat memendam rindu. Bahkan tak bisa saling bercakap. Bola matanya yang mulai berair hanya dapat melihat sosok-sosok yang dicintainya di balik layar sana.
Wajah yang begitu dirindu. Endro lambaikan tangan. Sosok di seberang layar sana dengan mata berkaca hanya bisa melambai balik. Hati Endro bak teriris. Ia bertanya-tanya, mengapa tak bisa bersua dengan istri dan anaknya sendiri? Padahal, sudah lama ia tak bertemu mereka.
“Kemudian kami setelah di besuk pertama di minggu-minggu pertama barulah kami bisa dibesuk keluarga hanya saja belum bisa bertemu fisik kami hanya melambaikan tangan melalui CCTV. Saya hanya bisa melihat anak dan keluarga dari CCTV. Di situlah saya merasakan bahwa saya dizalimi karena kami sudah ditahan anak jauh Istri jauh tetapi kami tidak bisa bertemu secara fisik,” kenang Endro.
Barulah kekangenan itu berbalas pada pertemuan berikutnya, ketika mereka saling berpandangan dan meruahkan segala isi hati yang memuncah di dada. Walau hanya saling menatap, saling menempelkan jemari dalam genggaman yang erat. Tangis yang pecah disusul untaian kata rindu.
Pertemuan usai. Endro pun kembali ke balik jeruji. Erma, terus menyuarakan bahwa suaminya tak bersalah. “Dari keluarga istri tahu, untuk ke anak harus menjelaskan ini ujian dan takdir dari Allah, Abi ini tidak bersalah,” kenang Endro.
Bahkan, sang anak sampai menyanyikan lagu bahwa ayah mereka tak bersalah. Haura Fadia Qurrota A’yun, dengan lancar melafalkan syair lagu pembelaan pada ayahnya.
Wahai Bapak Kejari
Jangan Bohongi Kami
Tolong bawa pulang Abi yang Baik Hati

Berkali-kali ia nyanyikan saat sidang Endro untuk menyemangati sang Abi. Dengan dukungan penuh kelurga, Endro pun optimis bahwa dirinya akan bebas karena ia sama sekali tak melakukan apa yang dituding jaksa.
“Sejak awal pembacaan dakwaan kami optimis. Dakwaan tidak menguraikan apa yang kami lalukan, pasal-pasalnya jelas,” kata Endro. Karenanya, ia menjalani kehidupan di penjara dengan optimis dan menganggap bahwa kriminalisasi terhadap dirinya dan kawan-kawannya merupakan ujian dari Allah.
Sejak kali pertama menginjakkan kaki di penjara, lalu dibawa ke Lapas Kedungpane Semarang, Endro selalu meminta polisi untuk menyediakan mushaf al Quran, karena bagi LUIS, kalam Ilahi lah yang akan menjadi pelipur lara mereka saat mereka dizalimi.
“Karena sesuatu yang kami belum pernah kita temui sebelumnya terus kami menemui Polisi untuk menyediakan mushaf al Quran,” kata Endro.
Di dalam lapas pun, rupanya Endro menghidupkan kegiatan keislaman seperti shalat berjamaah, tausiyah, kajian bahkan sebelum bebas, ia melakukan tarawih berjamaah.
“Kami lakukan kultum setiap bada maghrib. Kami lakukan Jum’atan di dalam Blok kemudian setiap hari juga ada One Day One Juz (ODOJ) oleh Bapak WaDir Tahanan DITTAHTI kami sebagai pembimbing baik itu Iqro’ ataupun Al Qur’an,” kenang Endro sambil tersenyum.
Ia berharap, walaupun di balik jeruji, ia dan kawan-kawannya tetap dapat beribadah dan terus beramal. Tak jarang, saat dalam malam yang sunyi, ia tetiba saja menangis.
Air matanya meleleh begitu saja. Apalagi saat dirinya membaca Al Qur’an karena teringat kisah-kisah para Nabi terdahulu yang dizalimi. Doa dalam ruang sel 2,5 x 3 m itu membuat Endro benar-benar luluh di hadapan sang Maha. Bahwa masih ada harapan akan keadilan di negeri ini.
“Kalau berdo’a membaca Al Qur’an tiba-tiba kami menangis. Doa khas yang kami baca adalah doa khas Nabi Musa “Robbi Shrohli Shodri, wa ya shirli amri wahlul Uqdantan min lisani…..” itu doa yang wajib kami baca berulang-ulang, kemudian kami juga membaca surat Al Baqarah ayat yang terakhir ” La yukalifu….. “ itu menjadi penyejuk hati ataupun Tombo Ati Bahwa Allah bersama kami. Ujian selalu terjadi kepada hambanya pada suatu masa,” kenangnya dengan mata berkaca-kaca.

Dan kini, Endro sudah kembali menghirup udara bebas dan menyesap sinar mentari senja. Kembali bersua bersama sang belahan jiwa dan buah hati. Walau dizalimi, Endro berharap kejadian kriminalisasi terhadap aktivis Islam, ulama dan ormas Islam tidak terjadi kembali di negeri ini.
“Semoga ini menjadi yang terakhir. Sebab, menurut sejarah, kita lihat bagaimana kehancuran rezim-rezim yang zalim. Insya Allah akan selalu ada pertolongan bagi umat Islam walau kezaliman itu datang. LUIS tidak akan pernah berhenti untuk melakukan amar maruf nahi munkar. Mohon doanya,” tutup Endro kembali beraktivitas.
Penulis: Mazaya