GAZA (jurnalislam.com)– Sedikitnya tiga orang tewas dan puluhan lainnya terluka ketika ribuan warga Palestina yang kelaparan berdesakan demi bantuan pangan di Rafah, Gaza selatan, Selasa (27/5/2025). Kekacauan ini terjadi saat Yayasan Kemanusiaan Gaza (Gaza Humanitarian Foundation/GHF), organisasi baru kontroversial yang didukung Israel dan Amerika Serikat, mulai menyalurkan bantuan.
Warga Palestina yang dilanda kelaparan ekstrem akibat blokade Israel selama lebih dari tiga bulan, memanjat pagar dan menerobos kerumunan di bawah panas terik matahari demi mendapatkan bantuan. Kerusuhan terjadi di tengah suara tembakan dan helikopter militer Israel yang berputar-putar di atas lokasi.
“Kami sekarat karena kelaparan. Kami harus memberi makan anak-anak kami. Tidak ada pilihan lain,” ujar seorang ayah Palestina kepada Al Jazeera.
Kantor Media Pemerintah Gaza menuduh pasukan Israel melepaskan tembakan langsung ke warga sipil yang kelaparan.
“Insiden ini membuktikan kegagalan total pendudukan Israel dalam menangani bencana kemanusiaan yang mereka ciptakan sendiri. Apa yang terjadi di Rafah adalah pembantaian yang disengaja dan kejahatan perang,” tegas pernyataan tersebut.
Pihak militer Israel membantah menembaki warga sipil, mereka mengaku hanya melepaskan tembakan peringatan ke area luar. Mereka mengklaim situasi telah terkendali dan distribusi bantuan akan tetap dilanjutkan.
𝗚𝗛𝗙 𝗗𝗶𝗽𝗲𝗿𝘁𝗮𝗻𝘆𝗮𝗸𝗮𝗻: 𝗧𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗡𝗲𝘁𝗿𝗮𝗹, 𝗠𝗶𝗻𝗶𝗺 𝗣𝗲𝗻𝗴𝗮𝗹𝗮𝗺𝗮𝗻
GHF, yang bermarkas di Swiss, dibentuk pada Februari 2025 melalui pertemuan rahasia antara pejabat-pejabat Israel dan tokoh bisnis Amerika. Organisasi ini ditunjuk Israel sebagai distributor utama bantuan di Gaza, menggantikan peran PBB dan LSM internasional yang kini diblokade masuk.
Namun GHF menuai kritik keras. Kelompok ini dianggap tidak memiliki kapasitas memadai dan tak mematuhi prinsip-prinsip kemanusiaan seperti netralitas dan imparsialitas. Mantan pimpinan GHF bahkan mengundurkan diri awal pekan ini dengan alasan lembaga tersebut gagal menjaga independensinya.
Menurut laporan The New York Times, GHF didirikan oleh jaringan pejabat militer dan pengusaha pro-Israel. Warga Palestina juga menyoroti penggunaan sistem biometrik seperti pengenalan wajah dalam distribusi bantuan, yang mereka nilai sebagai bentuk pengawasan dan penindasan baru.
“Ini bukan cara memberi bantuan,” kata Ahmed Bayram dari Dewan Pengungsi Norwegia.
“Yang terjadi hari ini adalah akibat dari rencana yang sembrono dan tidak manusiawi.” imbuhnya.
𝗗𝗶𝘀𝘁𝗿𝗶𝗯𝘂𝘀𝗶 𝗠𝗶𝗻𝗶𝗺 𝗱𝗮𝗻 𝗧𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗟𝗮𝘆𝗮𝗸
Berbeda dengan jaringan distribusi PBB yang memiliki lebih dari 400 titik, GHF hanya mengoperasikan empat lokasi di seluruh Gaza. Ransum yang dibagikan pun dinilai sangat minim dan tidak layak.
Seorang jurnalis Al Jazeera di Deir el-Balah melaporkan bahwa satu paket bantuan hanya berisi 4 kg tepung, sedikit pasta, dua kaleng kacang, teh, biskuit, dan lentil.
“Ini jelas tidak cukup, apalagi untuk semua penghinaan yang dialami warga Palestina saat menerima paket makanan ini,” katanya.
PBB sendiri mengaku prihatin atas kekacauan tersebut.
“Kami dan mitra kami memiliki rencana distribusi yang prinsipil dan operasional. Bantuan harus masuk tanpa hambatan, dan disalurkan oleh lembaga profesional,” kata juru bicara PBB, Stephane Dujarric.
𝗞𝗲𝗹𝗮𝗽𝗮𝗿𝗮𝗻 𝗦𝗲𝗯𝗮𝗴𝗮𝗶 𝗦𝗲𝗻𝗷𝗮𝘁𝗮 𝗣𝗲𝗿𝗮𝗻𝗴
Menurut laporan terbaru Integrated Food Security Phase Classification (IPC), sekitar 93 persen penduduk Gaza setara 1,95 juta orang menghadapi krisis pangan akut. Para pengamat kemanusiaan menuding Israel menggunakan kelaparan sebagai senjata perang.
“Solusinya sederhana: buka gerbang dan biarkan bantuan masuk,” tegas Bayram. (Bahry)
Sumber: Al Jazeera