GAZA (jurnalislam.com)– Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) menyatakan keprihatinan mendalam terhadap kondisi jurnalis di Gaza yang kini menghadapi kelaparan parah di tengah pengepungan Israel yang terus berlangsung. Pernyataan tersebut disampaikan CPJ pada Rabu (23/7), bersamaan dengan lebih dari 100 lembaga kemanusiaan yang menyerukan diakhirinya blokade Israel yang menyebabkan jutaan warga Gaza terancam kelaparan.
Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, lebih dari 100 orang, mayoritas anak-anak, telah meninggal dunia akibat kelaparan. Israel diketahui menghentikan seluruh aliran bantuan ke Gaza sejak Maret lalu.
Meski sempat sedikit melonggarkan blokade pada akhir Mei melalui program distribusi makanan yang dikelola Gaza Humanitarian Foundation (GHF) – yang didukung AS dan Israel – skema tersebut justru menuai kritik tajam dari PBB dan organisasi kemanusiaan internasional. Mereka menyebutnya sebagai “jebakan maut” akibat kekacauan dan kekerasan yang terjadi di lokasi distribusi.
Dilaporkan lebih dari 1.000 warga Palestina tewas saat mencoba mendapatkan bantuan dari titik distribusi GHF karena ditembaki oleh tentara Israel.
𝗝𝘂𝗿𝗻𝗮𝗹𝗶𝘀 𝗞𝗲𝗹𝗮𝗽𝗮𝗿𝗮𝗻, 𝗧𝗮𝗸 𝗟𝗮𝗴𝗶 𝗠𝗮𝗺𝗽𝘂 𝗠𝗲𝗹𝗶𝗽𝘂𝘁
Direktur Regional CPJ, Sara Qudah, menyatakan bahwa jurnalis di Gaza kini tak hanya terancam keselamatannya, tetapi juga menderita kelaparan parah.
“Israel membuat jurnalis Gaza kelaparan hingga bungkam. Mereka bukan sekadar reporter, mereka adalah saksi garis depan, yang kini terlantar karena media internasional ditarik keluar dan ditolak masuk,” ujar Qudah.
“Dunia harus bertindak sekarang: lindungi mereka, beri mereka makan, dan biarkan mereka pulih. Keberanian mereka dalam meliput perang selama lebih dari 650 hari tidak boleh dibalas dengan kelaparan,” tegasnya.
Lembaga-lembaga berita internasional seperti AFP, AP, BBC News, dan Reuters juga menyampaikan keprihatinan mereka dalam pernyataan bersama, menyebut jurnalis mereka di Gaza kini kesulitan memenuhi kebutuhan dasar hidup.
“Selama berbulan-bulan, para jurnalis independen ini telah menjadi mata dan telinga dunia di Gaza. Kini mereka menghadapi ancaman kelaparan,” tulis mereka. Mereka juga mendesak otoritas Israel untuk mengizinkan jurnalis masuk dan keluar dari Gaza serta memastikan akses pangan yang memadai.
𝗔𝗻𝗰𝗮𝗺𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗿𝗵𝗮𝗱𝗮𝗽 𝗝𝘂𝗿𝗻𝗮𝗹𝗶𝘀 𝗔𝗹 𝗝𝗮𝘇𝗲𝗲𝗿𝗮
Sementara itu, reporter Palestina Anas al-Sharif, yang bekerja untuk Al Jazeera, mengaku menjadi target kampanye hasutan oleh militer Israel. Dalam pernyataan di platform X, juru bicara militer Israel untuk dunia Arab, Avichay Adraee, menuduh Al-Sharif sebagai bagian dari “mesin militer Hamas” dan menuding Al Jazeera sebagai saluran media yang memutarbalikkan fakta.
Menanggapi tudingan itu, Al-Sharif menulis:
“Saya, Anas Al-Sharif, adalah seorang jurnalis tanpa afiliasi politik. Satu-satunya misi saya adalah melaporkan kebenaran dari lapangan apa adanya, tanpa bias.”
Ia juga meminta organisasi hak asasi manusia dan kebebasan pers untuk memberi perlindungan atas ancaman yang diterimanya.
𝗝𝘂𝗿𝗻𝗮𝗹𝗶𝘀 𝗛𝗮𝗺𝗶𝗹 𝗧𝗲𝘄𝗮𝘀 𝗕𝗲𝗿𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗞𝗲𝗹𝘂𝗮𝗿𝗴𝗮𝗻𝘆𝗮
Di hari yang sama, jurnalis Palestina Walaa al-Jaabari tewas dalam serangan udara Israel yang menghantam rumahnya di Kota Gaza. Al-Jaabari, yang tengah hamil, meninggal dunia bersama suami dan empat anaknya dalam serangan tersebut.
Ia dikenal sebagai jurnalis lepas yang pernah bekerja dengan sejumlah media lokal. Dalam unggahan terakhirnya di media sosial, ia menulis:
“Saya tidak takut mati kelaparan… Saya khawatir akan patah hati jika perang gila ini tidak berakhir!”
Kantor Media Pemerintah di Gaza menyatakan bahwa jumlah jurnalis yang tewas sejak 7 Oktober 2023 telah mencapai 232 orang. Kantor tersebut mengecam pembunuhan terhadap Al-Jaabari, menyebutnya sebagai bagian dari upaya sistematis Israel untuk membungkam suara dan menghalangi pelaporan kejahatan perang yang sedang berlangsung. (Bahry)
Sumber: Al Jazeera