Ratusan Keluarga Badui Dievakuasi dari Suwayda di Tengah Konflik Berdarah

Ratusan Keluarga Badui Dievakuasi dari Suwayda di Tengah Konflik Berdarah

SURIAH (jurnalislam.com)- Ratusan keluarga Badui telah dievakuasi dari Provinsi Suwayda, Suriah selatan, di tengah meningkatnya kekerasan antar kelompok. Banyak pihak menilai tindakan ini sebagai bentuk pemindahan paksa.

Pemerintah Suriah mengklaim bahwa evakuasi tersebut merupakan relokasi sementara. Namun, operasi ini memicu kekhawatiran akan potensi pengusiran permanen dan upaya rekayasa demografi.

“Saya tidak percaya mungkin saya takkan pernah kembali ke rumah saya,” ujar Nasser al-Mahmoud, salah satu pengungsi, kepada Al-Araby Al-Jadeed, media afiliasi The New Arab.

“Kejahatan apa yang dilakukan warga sipil? Mereka bukan bagian dari konflik… Banyak keluarga kini tidak punya tempat tinggal.”

Evakuasi ini terjadi setelah bentrokan mematikan yang pecah sejak 13 Juli antara kelompok Druze lokal dan komunitas Badui di dalam dan sekitar Suwayda. Pertempuran tersebut telah menewaskan ratusan orang.

Upaya awal untuk mencapai gencatan senjata melalui mediasi regional dan internasional gagal, setelah kelompok suku Badui mengumumkan mobilisasi umum. Mereka menuduh milisi Druze melakukan berbagai pelanggaran setelah pasukan keamanan pemerintah ditarik dari wilayah tersebut.

Menurut sumber lokal, sekitar 300 orang telah dievakuasi pada Senin (21/7) ke tempat penampungan sementara di wilayah timur Provinsi Daraa yang bersebelahan.

Keluarga-keluarga ini sebelumnya dikepung selama beberapa hari oleh kelompok bersenjata yang loyal kepada Syekh Hikmat al-Hijri, salah satu pemimpin spiritual komunitas Druze. Kantor berita resmi Suriah, SANA, melaporkan bahwa total sekitar 1.500 orang akan direlokasi.

“Mereka membunuh istri dan anak laki-laki saya,” kata Khalil al-Nayef, pengungsi lainnya.

“Saya melarikan diri bersama putri saya, yang menjadi korban penyiksaan. Ini adalah pengungsian paksa.”

Laporan media dan kesaksian warga menggambarkan situasi mencekam selama pengepungan, termasuk penjarahan, pembakaran rumah, dan pemutusan akses makanan.

“Mereka menghancurkan dan membakar rumah kami. Selama beberapa hari kami tidak punya makanan,” ujar seorang perempuan korban pengusiran.

Seorang guru senior di Suwayda mengatakan kepada televisi pemerintah, “Saya mengajar semua orang di provinsi ini… tetapi penghinaan yang kami alami membuat kami mustahil untuk kembali.”

Di tengah proses evakuasi, Menteri Informasi Suriah Hamza al-Mustafa menuding empat negara—tanpa menyebutkan namanya—telah memicu sektarianisme di Suriah melalui penyebaran narasi palsu di media sosial. Ia menyalahkan kelompok-kelompok yang didukung pihak asing atas krisis di Suwayda, serta memperingatkan adanya upaya pembentukan “kanton sektarian”. Ia justru menyerukan persatuan dan rekonsiliasi.

Dr. Yahya al-Aridi, akademisi asal Suwayda, menyebut bahwa evakuasi terhadap warga Badui—yang mayoritas Sunni—dari provinsi yang didominasi komunitas Druze, telah dimanfaatkan untuk mengobarkan ketegangan sektarian.

“Aktor-aktor tertentu dan geng memanfaatkan warga Badui untuk menyalahkan masyarakat Suwayda atas pengusiran ini,” ujarnya.

“Provinsi ini memang telah keluar dari kendali rezim, tetapi bukan keluar dari negara. Itu perbedaan penting.”

Samer al-Bakkour, peneliti dari Pusat Arab untuk Studi Suriah Kontemporer, menyatakan bahwa evakuasi ini adalah bagian dari pola pemindahan paksa dalam konteks konflik politik lokal, yang bertujuan mengusir suku Badui dari wilayah padang rumput Suwayda. Ia menyebut operasi tersebut melanggar Pasal 49 Konvensi Jenewa Keempat, yang melarang pemindahan paksa warga sipil.

Sementara itu, Program Pangan Dunia (WFP) melaporkan bahwa lebih dari 100.000 orang telah mengungsi akibat kekerasan di Suwayda. Bersama Bulan Sabit Merah Arab Suriah, WFP menyalurkan makanan siap saji dan tepung bagi keluarga terdampak di Suwayda dan Daraa.

Konvoi bantuan pertama—berisi lebih dari 40 truk—telah tiba di Suwayda, dengan bantuan tambahan dalam perjalanan.

Peneliti politik Ahmad al-Qurbi memperingatkan bahwa dampak dari konflik ini akan melampaui wilayah Suwayda.

“Ini akan memengaruhi demografi, hak kepemilikan, dan dokumentasi,” ujarnya.

“Peristiwa ini juga akan memperkuat proyek separatis dan memperdalam perpecahan sosial. Krisis di Suwayda hanya akan memperburuk ketidakstabilan politik dan sosial di Suriah.” (Bahry)

Sumber: TNA

Bagikan